Sejumlah warga masyarakat sipil dari distrik Serambakon dan Oksop, kabupaten Pegunungan Bintang, Papua Pegunungan, berkumpul di salah satu tempat pengungsian, 4 Desember 2024. (Dok. TPNPB)
adv
loading...

PENGALAMAN paling pahit yang tidak mudah dilupakan orang-orang Ndugama di kabupaten Nduga kembali terulang. Anak-anak Tuhan di distrik Oksop, kabupaten Pegunungan Bintang, provinsi Papua Pegunungan, tidak merasakan bahagianya merayakan hari Natal tahun ini.

Ya, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Keceriahan mereka menanti datangnya Sang Juruselamat dalam kehidupan sehari-hari, tidak bisa dirasakan dari rumah, dari kampung halaman mereka seperti biasanya.

Sungguh, situasi yang tidak dibayangkan sebelumnya, situasi amat buruk itu harus dialami di saat mereka sedang bersiap-siap merayakan Natal.

“Seharusnya ada damai menjemput hari kelahiran Yesus. Hari raya Natal kali ini kami tidak rasa bahagia untuk merayakan dengan penuh sukacita. Ini kado Natal paling buruk dari tahun-tahun sebelumnya bagi umat Katolik dan Protestan di sini.” Begitu salah satu umat dari denominasi gereja Protestan menuturkan dari lokasi pengungsian.

Ribuan orang mengungsi ke hutan begitu pasukan militer tiba di ibu kota distrik Oksop. Apalagi bunyi tembakan terdengar makin menggelegar di seluruh penjuru Oksop.

ads

Situasi itu tentu saja bikin mereka sangat marah. Situasi tak damai yang terjadi tiba-tiba. Mengotori bulan Desember yang nota bene hari besar bagi umat Nasrani. Warga distrik Oksop seluruhnya Kristiani: Katolik dan Protestan.

Para Pendeta dan Katekis terpaksa melayani umat Tuhan dari lokasi pengungsian. Ibadah pagi dan sore dibuat dari sana. Begitupun pada hari Minggu, mereka beribadah dari satu gubuk yang ditentukan. Layaknya gereja, mereka menumpahkan semua kegelisahan dan ketidaktentraman akibat situasi yang tidak nyaman itu dalam lagu dan doa.

Kampung mereka benar-benar berubah. Tidak aman bagi mereka. Jangankan kembali ke rumah. Untuk ke kebun dekat hutan saja mereka takut. Sebab aparat militer sudah berjaga-jaga di pinggir bahkan tengah hutan. Banyak titik dikuasai pasukan tentara bersenjata lengkap.

Di tengah kebingungan masyarakat kampung dengan hadirnya pasukan militer hingga melepaskan rentetan tembakan ke segala penjuru, muncul isu bahwa targetnya adalah hendak membasmi kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) yang bermarkas di Pegunungan Bintang.

Jika memang mengejar pimpinan dan anggota TPNPB, pertanyaannya, mengapa warga sipil yang justru jadi korban?.

Seharusnya, masyarakat sipil diayomi dan diberi jaminan keamanan agar tidak timbul kekhawatiran. Tetapi, ketika keganasan pasukan penjaga negara makin brutal, tentu saja rasa takut itu akan muncul. Wajarlah, trauma mendalam masyarakat belum sirna. Trauma berkepanjangan dengan berbagai rangkaian pengalaman tragis sebelumnya.

Banyak kisah pahit belum lepas dari ingatan orang Papua. Apalagi pemberlakuan daerah operasi militer (DOM) dalam waktu cukup panjang, menyisakan trauma mendalam. Jikapun status DOM telah dicabut, dalam kenyataannya, banyak aksi brutal dilakukan pasukan bersenjata berkedok mengejar kelompok separatis, tetapi warga sipil yang malah jadi korban. Tidak saja trauma yang ditimbulkan dari operasi militer, tindakan penyiksaan dan pembunuhan menimpa orang-orang tidak berdosa yang sama sekali tidak tahu menahu dengan aktivitas TPNPB.

Seperti halnya 106 orang warga sipil dari kampung Banfot, distrik Fef dan kampung Bamuswaiman, distrik Bamusbama, kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya, masyarakat kampung Oksop, Mimin, Bumbakon, Alutbakon, Oktumi, Atenor, dan Ngangom, distrik Oksop, kabupaten Pegunungan Bintang, juga dalam situasi sama di pengungsian.

Begitupula warga enam kampung di distrik Koroptak, kabupaten Nduga. Tercatat 2.000 orang telah mengungsi sejak operasi militer dimulai 7 Desember 2024, atau dua hari setelah Panglima TNI kunjungi Keneyam, ibu kota kabupaten Nduga.

Sayang, mereka tidak bisa rayakan Natal tahun ini dari rumah seperti biasanya.

Kita tahu dari laporan Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) melalui Pdt. Jimmy Koirewoa, ketua Departemen Hukum dan HAM GIDI, bahwa warga sipil dari distrik Oksop yang mengungsi sebanyak 3.318 orang. Belum terdata semua akibat situasi keamanan dan jangkauan jarak ke titik lokasi pengungsian lainnya.

Banyak anak, balita, ibu hamil dan lansia dari berbagai kampung sedang bertahan di hutan. Mereka mengungsi sejak 4 Desember lalu. Sudah empat minggu mereka tinggalkan rumah. Sangat kesulitan dengan bahan makanan, juga air minum. Sukar pula untuk berobat.

Masih bertahan di belantara rimba, mereka tak tahu kapan akan pulang ke rumah. Ratusan orang benar-benar kehilangan rasa bahagia sebagai umat Kristiani merayakan hari Natal ini.

Makna tema Natal nasional 2024 “Marilah sekarang kita pergi ke Betlehem” (Luk. 2: 15) tak dapat mereka resapi dari rumah, seperti tahun-tahun sebelumnya. Mereka kini dengan penuh kecemasan sambut bayi Natal dari tengah hutan. ***

Artikel sebelumnyaAkui Kinerja Terbaik, KPU Deiyai Diberi 5 Piagam Penghargaan
Artikel berikutnyaYan Christian Warinussy Minta Polda PB Segera Tetapkan OU Sebagai DPO