
JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kembali menunda sidang pembacaan eksepsi peradilan yang diajukan keenam Tahanan Politik (Tapol) Papua secara tidak sopan dan sangat diskriminatif terhadap budaya Papua.
Kuasa hukum TAPOL Papua, Michael Himan mengatakan hakim tidak bisa menilai bahwa orang yang memakai koteka dianggap tidak sopan. Berdasarkan apa tata cara sopan santun di ruangan persidangan berlangsung? Standar nilai siapa dan apa?
Perempuan Aceh juga tidak dilarang memakai jilbab di pengadilan kan? Apa salahnya para terdakwa orang Papua memakai koteka dan salahnya di mana? Kata dia, justru mereka menghargai persidangan sehingga memakai Koteka, seharusnya patut diapresiasi. Apakah Identitas kultural ada kaitannya dengan standar adab?
“Bhineka tunggal ika yang selama ini diterapkan lewat upacara kenegaraan, lewat televisi, diajarkan di sekolah dan kantor-kantor bahkan terpampang di pengadilan. Kalau begitu, simbol bhineka tunggal ika ganti aja, cuma jargon doang,” tegasnya kepada suarapapua.com saat dihubungi melalui telepon genggam, Selasa (13/1/2020).
Lanjut dia, berbangsa dulu baru bernegara. Berbangsa itu artinya apa? Bernegara semua sudah paham dengan pendekatan linear. Mengapa Gusdur disebut sebagai bapak bangsa, dan bukannya bapak negara? Ada alasan kuat.
What does it mean by nation? Budaya dan adat istiadat boleh diterapkan, mengapa tidak dengan budaya Papua? Orang karena memiliki identitas, budaya, adat serta ideologi yang sama, sehingga menjadi negara Indonesia, mengapa dalam peradilan ini tidak bisa menerima perbedaan ini?
“Kalau pemahaman berbangsa sudah jelas, maka otomatis tidak ada lagi larangan cupet kayak gitu,” tuturnya.
Lambang garuda dengan simbol Bhineka Tunggal Ika pasti dipasang di ruang sidang, tepat di atas foto presiden dan wakil presiden. Apakah Hakim Dan Jaksa paham seutuhnya lambang dan simbol Bhineka Tunggal Ika itu?
Kalau tidak, percuma hanya pajangan saja. Apakah bisa dibayangkan perempuan Aceh dipaksa membuka hijabnya seperti para terdakwa TAPOL Papua yang dipaksa agar membuka Koteka dengan alasan tidak sopan.
Menurutnya, pelucutan harkat martabat orang Papua khususnya di Wamena, manakah yang lebih berat, ditembak mati atau dibiarkan hidup tanpa martabat? Koteka itu jati diri orang Papua.
“Malah para terdakwa sopan dan menghargai, tetapi dalam proses persidangan hari ini sangat mengecewakan sekali,” ujarnya.
Menanggapi penundaan tersebut, Juru Bicara (Jubir) TAPOL Papua, Suarbuayan Nahardian mengatakan hakim membatalkan sidang dan tidak mau melanjutkan, karena Dano dan Ambros memakai koteka. Dan menurut hakim itu tidak sopan.
“Hakim itu rasis. Rasisme yang diselubungi oleh alasan sopan santun. Buat hakim yang disebut sopan adalah yang sesuai dengan standar jawa,” pungkasnya.
Pewarta : Yance Agapa
Editor: Arnold Belau
NB:
- Pada berita ini sebelumnya disebutkan PN Jakarta Selatan. Yang benar bahwa PN Jakarta Pusat.
- Atas kekeliruan ini redaksi meminta maaf.