BeritaVanuatu dan PNG Angkat Isu Penentuan Nasib Sendiri West Papua dan HAM...

Vanuatu dan PNG Angkat Isu Penentuan Nasib Sendiri West Papua dan HAM di PBB

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Perdana Menteri Republik Vanuatu, Bob Loughman ketika berpidato di depan debat umum Sidang ke-76 Majelis Umum PBB mengatakan bahwa di wilayah Pasifik masih ada daerah-daerah yang masih berjuang untuk menentukan nasib mereka sendiri.

“Di wilayah regional saya, seperti Kaledonia Baru, Polinesia Prancis dan Papua Barat masih berjuang untuk penentuan nasib sendiri,” tugas Bob Loughman dalam pidato video rekaman di sidang Majelis Umum PBB, New York, Amerika, Minggu (26/9/2021).

Loughman mengatakan, sidang majelis umum PBB (UNGA) adalah organ pembuat kebijakan utama Organisasi. Terdiri dari semua negara anggota yang menyediakan forum unik untuk diskusi multilateral tentang spektrum masalah internasional yang tercakup dalam piagam PBB. Masing-masing dari 193 Negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa memiliki hak suara yang sama.

“Saat kita melihat ke depan, ke masa depan yang kita inginkan, kita harus membayangkan dunia yang bebas – yang bebas dari dominasi kekuasaan kolonial, penganiayaan dan pelanggaran hak asasi manusia,” kata Loughman.

Baca Juga:  Sekjen Amnesty International Memantau Situasi HAM dan Maraknya Praktik Otoriter di Indonesia

Dengan memperhatikan prinsip “kesamaan hak dan penentuan nasib sendiri rakyat” sebagaimana diatur dalam Piagam PBB. Penting bagi PBB dan komunitas internasional untuk terus mendukung wilayah terkait, memberi mereka kesempatan yang sama untuk menentukan nasib mereka sendiri.

Sebagai contoh kata Loughman, dengan hasil referendum baru-baru ini di Kaledonia Baru, dibandingkan dengan hasil 2018. Saat ini ada selisih suara yang lebih sempit antara mereka yang memilih dan menentang kemerdekaan. Oleh karena itu penting bahwa referendum harus tetap bebas, adil dan transparan dan terus di bawah pengawasan PBB.

“Dalam hubungan inilah kami terus mengingatkan diri sendiri di Vanuatu tentang hubungan budaya kami yang kuat dengan pulau-pulau Umaenupne dan Umaeneag, yang biasa disebut dalam bahasa Inggris sebagai Kepulauan Matthew dan Hunter.”

Baca Juga:  SP dan SMKS YPK Paulus Terbitkan Tabloid SEPA, Siswa Mengaku Puas dan Senang

“Soal dekolonisasi Vanuatu, kami berharap proses yang dipimpin PBB menarik jalan yang jelas untuk mencapai penyelesaian damai di pulau-pulau yang disengketakan ini. Pelanggaran hak asasi manusia terjadi secara luas di seluruh dunia. Di wilayah saya, masyarakat adat Papua Barat terus menderita oleh pelanggaran hak asasi manusia.”

Oleh sebab itu, permintaan Forum Pasifik dan pemimpin ACP di antara para pemimpin lainnya yang telah meminta Pemerintah Indonesia untuk mengizinkan Kantor Komisaris Hak Asasi Manusia PBB untuk mengunjungi Provinsi Papua Barat dan untuk memberikan penilaian independen terhadap situasi hak asasi manusia yang dilakukan.

Baca Juga:  Mahasiswa Papua di Manado Minta Komnas HAM RI Investigasi Kematian Goliat Sani di Intan Jaya

Namu katanya, sejauh ini hanya ada sedikit kemajuan di bidang ini. “Saya berharap masyarakat internasional melalui proses yang dipimpin oleh PBB dengan serius memperhatikan masalah ini dan menanganinya secara adil.”

Sebelumnya, pada 25 September 2021, pidato serupa disampaikan Perdana Menteri Papua New Guinea, James Marape di sidang majelis umum PBB di New York Amerika.

“Saya juga kembali menyerukan terkait seruan pimpinan Pasifik Islands Forum (PIF) tahun 2019 yang meminta kunjungan Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB untuk melihat situasi HAM di wilayah tetangga terdekat kami,” kata Marape.

Menurut Marape, “kunjungan ini sangat penting untuk memastikan perdamaian dengan prespektif kedaultan rakyat dengan hak-hak mereka yang sesuai budaya mereka sepenuhnya.”

 

Editor: Elisa Sekenyap

Terkini

Populer Minggu Ini:

Dinilai Tabrak Aturan, Aktivis di PBD Soroti Kebijakan Walkot Sorong

0
"Jangan-jangan ada penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan di sini. Hal ini bisa jadi bara api. Orang Papua sudah cukup sabar, tapi kalau hak dasarnya terus diabaikan, jangan salahkan kalau ada reaksi. Pemerintah harus peka, ini soal martabat dan keadilan bagi kami."

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.