Fasilitas pendukung operasional perusahaan PT Zoomlion yang didatangkan awal bulan ini di lokasi penambangan emas ilegal di kampung Mogodagi, distrik Kapiraya, kabupaten Deiyai, Papua Tengah. (Supplied for Suara Papua)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Jaringan Doa Rekonsiliasi dan Pemulihan Papua (JDRP2) mengungkap berbagai permasalahan di distrik Kapiraya yang terletak di perbatasan kabupaten Mimika, Dogiyai dan Deiyai, Papua Tengah.

Berbagai masalah itu menurut Selpius Bobii, koordinator JDRP2, diantaranya penebangan hutan secara membabi buta, masuknya perusahaan tambang emas ilegal, serta sengketa tapal batas antara suku Mee dan Kamoro di distrik Kapiraya.

“Kami terdorong mengumpulkan data-data atas masalah-masalah itu. Semua data sudah kami kumpulkan dan dirumuskan dalam bentuk laporan,” kata Selpius, Kamis (23/5/2024).

Tertera dalam surat dengan nomor 01/JDRP2/V/24 tertanggal 23 Mei 2024, laporan tersebut dikirim ke berbagai pihak terkait untuk segera ditindaklanjuti.

Antara lain ketua Majelis Rakyat Papua Tengah, Pj Gubernur Papua Tengah, DPRP, Kapolda Papua, para ketua DPRD dan para penjabat bupati kabupaten (Deiyai, Dogiyai, Mimika), para pemimpin Agama di Papua, para pemimpin Dewan Adat di Papua, serta para aktivis kemanusiaan.

ads

“Kami sangat mengharapkan kepada pihak-pihak terkait untuk menindaklanjuti laporan ini untuk menyelesaikan beberapa masalah yang terjadi di distrik Kapiraya,” ujarnya.

Disebutkan dalam laporannya sejumlah permasalahan di distrik Kapiraya. Antara lain masuknya perusahaan tambang ilegal, sengketa tapal batas, dan penebangan hutan secara liar masif terjadi.

Baca Juga:  Masyarakat Dipaksa Meninggalkan Kampung Halaman Demi Eksplorasi Blok Wabu

Selpius menyampaikan beberapa saran sehubungan dengan persoalan di distrik Kapiraya.

Pertama, masalah tapal batas antara kabupaten Mimika, Deiyai dan Dogiyai harus segera dibahas dan ditentukan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya sebelum masalah ini meluas menjadi perang suku antara suku Kamoro, Kei, Mee dan Dani/Lani.

Kedua, perusahaan kayu yaitu PT Mutiara Alas Katulistiwa atau apapun namanya harus diusir dari Kapiraya karena perusahaan ini sedang merusak hutan dan habitatnya di Kapiraya.

Ketiga, perusahaan tambang emas ilegal yaitu PT Zoomlion atau apapun namanya harus diusir dari Kapiraya, dan kembalikan tambang emas kepada pemilik hak ulayat suku Mee dan suku Kamoro sebagai tambang rakyat dengan menggunakan peralatan sederhana (dulang emas tradisional).

Keempat, oknum-oknum tertentu dari suku lain yang sedang bergabung dengan oknum tertentu dari suku Kamoro yang sedang didorong oleh perusahaan ilegal, pengusaha ilegal dan dari oknum tertentu agar segera berhenti bangun koalisi yang berencana menciptakan konflik horizontal, dan kembalikan masalah ini kepada suku Mee dan Kamoro yang berdomisili di distrik Kapiraya agar diselesaikan di para-para adat yang difasilitasi oleh pihak eksekutif, legislatif, MRPT (Majelis Rakyat Papua Tengah), pimpinan Agama, Dewan Adat Papua, aktivis kemanusiaan, serta aparat Kepolisian.

Baca Juga:  PSN di Merauke Merampas Hak Hidup dan Meningkatkan Krisis Lingkungan

Beberapa rekomendasi juga disampaikan Selpius Bobii dalam laporannya.

Pertama, segera membentuk tim gabungan, baik dari pemerintah (Eksekutif, Legislatif, MRPT), Adat, Agama, Aktivis Kemanusiaan, dan Aparat Kepolisian) untuk meninjau langsung di distrik Kapiraya dan mengundang masyarakat suku Mee dan Kamoro yang berdomisili di Kapiraya agar segera berdamai.

Kedua, pihak Majelis Rakyat Papua Tengah (MRPT), Pemprov Papua Tengah dan DPRP segera mendorong Pemda dan DPRD kabupaten Mimika, Deiyai dan Dogiyai untuk segera membahas dan menentukan tapal batas antara kabupaten Mimika, Deiyai dan Dogiyai.

Ketiga, membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk melahirkan Perdasus tentang tambang rakyat di Papua dengan menggunakan peralatan sederhana oleh pemilik hak ulayat warga asli setempat.

“Hal ini sangat penting untuk segera ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait demi mewujudkan suasana rukun, aman, damai dan sejahtera, khususnya di distrik Kapiraya,” ujar Selpius.

Ketidakjelasan tapal batas diantara ketiga kabupaten merupakan celah bagi pihak tertentu seenaknya mengeruk kekayaan yang ada di Kapiraya. Ini disesalkan karena dampaknya dirasakan langsung warga di sana, baik suku Mee maupun suku Kamoro.

Baca Juga:  Dalam Konteks PSN, Uskup Mandagi Belum Memahami Konteks Pastoral Lokal

Faktanya, sampai Mei 2024, Pemkab Mimika, Deiyai dan Dogiyai belum menetapkan tapal batas meski DPRD Deiyai pernah audiensi dengan Mendagri di Jakarta.

Yanuarius Kotouki, tokoh pemuda distrik Kapiraya, menyatakan, sengketa tapal batas harus dituntaskan agar persoalan saat ini tidak berlanjut.

Masalah tapal batas menurutnya, pemicu masalah lain yakni maraknya aktivitas dari perusahaan emas dan perusahaan kayu di wilayah Kapiraya.

“Tapal batas harus jelas, cepat diselesaikan supaya yang lain bisa diatur. Masyarakat sedang tuntut hal ini,” ujar Kotouki.

Diharapkan, mesti ada pemahaman mendalam disertai langkah nyata dari DPRD bersama pemerintah daerah untuk mengamankan kepentingan ketiga pihak di kampung Mogodagi, kampung Kapiraya, dan kampung Wakia, distrik Kapiraya.

Kotouki menganggap sengketa tapal batas antara Mimika, Deiyai dan Dogiyai bukan hanya menjadi isu administratif, tetapi justru mengancam kerukunan antar suku di wilayah itu.

“Kami khawatirkan masalah ini bisa mempengaruhi hubungan kekerabatan diantara masyarakat tiga suku di Kapiraya. Tolong, DPRD dan Pemda tiga kabupaten segera ambil langkah tepat agar mengamankan semua pihak,” tandasnya sembari minta tindakan cepat demi mencegah potensi konflik horizontal. []

Artikel sebelumnyaCara WKRI Papua Tengah Rayakan 100 Tahun di Nabire
Artikel berikutnyaRapat Koordinasi DAP Wilayah Domberai Lahirkan Delapan Poin Penting