
SORONG, SUARAPAPUA.com — Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, akhirnya angkat suara menanggapi gerakan “All Eyes on Papua” yang ramai di media sosial. Gerakan tersebut dibuat untuk menanggapi tuntutan suku Awyu dan suku Moi terkait hutan adat.
Ditayangkan di YouTube Kementerian Investasi, Bahlil Lahadalia mengaku paham bakal ada protes ketika ada pembangunan di daerah. Ia menilai protes itu biasanya datang dari pihak-pihak yang tidak ingin Indonesia maju.
“Kenapa sih orang lihat Papua? Gara-gara saya jadi ketua Satgas bikin tebu dan pangan? Saya ngerti betul juga, ada sebagian kelompok atau negara lain yang tidak ingin Indonesia ini maju,” klaim Bahlil saat konferensi pers di gedung BKPM, Jumat (7/6/2024).
Bahlil meminta masyarakat tidak terjebak sekelompok orang yang tidak ingin Indonesia maju. Ia menyebut hutan di Merauke bukan hutan adat yang mencakup hak pengusahaan hutan (HPH).
HPH merupakan hak mengusahakan hutan termasuk kegiatan penebangan kayu, pemeliharaan hutan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan sesuai rencana kerja pengusahaan menurut ketentuan berlaku serta berdasarkan asas kelestarian hutan dan asas perusahaan.
“Yakinlah kita cinta negara ini, konsep saya bangun Papua yang dibangun adalah masyarakat adat yang punya wilayah kita jadikan subjek dan objek,” katanya.
Bahlil bercerita telah mengelilingi hutan tersebut selama 2,5 jam bersama bupati dan gubernur. Menurutnya, sebagian wilayah hutan merupakan eks Areal Penggunaan Lain (APL).
Ketua Satgas Swasembada Gula dan Bioetanol itu menargetkan Papua menuju swasembada pangan gula, sehingga menghasilkan bioetanol dan energi hijau.
“Jadi negara dapat hasil terhadap apa yang dibutuhkan terkait beras, terkait dengan etanol, terkait gula, tapi juga rakyat dan pengusaha ikut tumbuh bersama-sama,” kata Bahlil.
Di sisi lain, sub suku Moi Sigin menghadapi PT Sorong Agro Sawitindo (SAS), yang berencana membuka 18.160 hektare hutan adat Moi Sigin untuk perkebunan sawit.
Masyarakat adat suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan dan suku Moi di kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, mengajukan gugatan hukum melawan pemerintah dan perusahaan sawit demi mempertahankan hutan adat mereka. Gugatan itu kini telah sampai tahap kasasi di Mahkamah Agung (MA).
“Kami datang menempuh jarak yang jauh, rumit, dan mahal dari Tanah Papua ke Ibu Kota Jakarta, untuk meminta Mahkamah Agung memulihkan hak-hak kami yang dirampas dengan membatalkan izin perusahaan sawit yang kini tengah kami lawan ini,” ujar pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, Hendrikus Woro.
Fiktor Klafiu, perwakilan masyarakat adat Moi Sigin, juga mendesak MA untuk memberikan keadilan hukum bagi masyarakat adat.
“Hutan adat adalah sumber kehidupan kami. Jika hutan hilang, kami kehilangan segalanya,” ujar Klafiu. []