Tanah PapuaAnim HaHilangnya Keadilan di PTTUN, Suku Awyu Kasasi ke MA

Hilangnya Keadilan di PTTUN, Suku Awyu Kasasi ke MA

SORONG, SUARAPAPUA.com — Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Manado menolak banding gugatan lingkungan dan perubahan iklim yang dilayangkan Hendrikus Woro bersama masyarakat adat suku Awyu.

Perjuangan masyarakat adat suku Awyu mempertahankan hutan adat terus menemui rintangan. Ini setelah 1 Maret 2024, PTTUN Manado menolak banding gugatan dari Hendrikus Woro. Putusan tersebut menambah daftar panjang kabar buruk bagi masyarakat adat.

Majelis hakim PTTUN Manado menolak gugatan lantaran menganggapnya sudah melewati batas waktu. Katanya, gugatan telah melebihi tenggat 90 hari sejak diketahuinya objek sengketa, yakni izin lingkungan hidup yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu (DPMPTSP) provinsi Papua untuk perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (IAL).

Gugatannya terkait izin kelayakan lingkungan kepada PT IAL di atas tanah adat seluas 36.096,4 hektare di distrik Mandobo dan distrik Fofi, kabupaten Boven Digoel, provinsi Papua Selatan.

Masyarakat adat suku Awyu mengaku izin tersebut diterbitkan tanpa sepengetahuan mereka. Karenanya, Hendrikus Woro selaku pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu mendaftarkan gugatan di PTUN Jayapura pada 13 Maret 2023.

Aksi gugatan masyarakat adat suku Awyu di PTUN Jakarta, 9 Mei 2023. (Dok. Greenpeace Indonesia)

Respons Tim Advokasi

Dalam siaran pers tim advokasi pada 14 Maret 2024, Tigor Gemdita Hutapea, anggota tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua, mengkritisi putusan majelis hakim PTTUN Manado.

Baca Juga:  PMKRI Kecam Tindakan Biadap Oknum Anggota TNI Siksa Warga Sipil di Papua

Menurut Tigor, perhitungan hari oleh majelis hakim patut dipertanyakan sebab mengabaikan Peraturan Mahkamah Agung nomor 1 tahun 2023 tentang pedoman mengadili perkara lingkungan hidup dan kalender khusus yang ditetapkan Gubernur Papua yang memiliki libur Natal lebih panjang ketimbang kalender nasional. Gugatan juga telah melalui proses pemeriksaan dismissal di PTUN Jayapura, dinyatakan diterima, dan tak melewati batas waktu kedaluwarsa.

“Ihwal batas waktu pengajuan gugatan, Pasal 18 ayat 2 Perma 1 tahun 2023 memuat frasa “atau sejak mengetahui adanya potensi atau terjadinya dampak lingkungan”. Artinya, sebenarnya ada banyak pilihan bagi majelis hakim untuk menafsirkan tenggat waktu pengajuan gugatan. Hakim TUN (tata usaha negara) merujuk surat edaran Mahkamah Agung nomor 1 tahun 2017, semestinya mengutamakan keadilan substantif daripada keadilan formal. Sebab, fungsi hukum formal atau hukum acara adalah untuk menegakkan kaidah hukum material/substantif,” ujarnya.

Tigor menyebut putusan majelis hakim belum berani mempertimbangkan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam penanganan perkara, yakni prinsip pencegahan bahaya lingkungan, prinsip pembangunan berkelanjutan, keberlanjutan ekosistem dan daya dukung lingkungan, prinsip pengakuan, dan pemberdayaan hak masyarakat adat.

“Pengabaian prinsip tersebut dan pembiaran izin merusak hutan dan lingkungan hidup akan dapat beresiko meningkatnya permasalahan iklim dan konflik sosial,” ujar Tigor.

Baca Juga:  Panglima TNI dan Negara Diminta Bertanggung Jawab Atas Penembakan Dua Anak di Intan Jaya
Masyarakat adat Awyu, aktivis dan mahasiswa ketika gelar aksi di depan PTUN Jayapura, Kamis (6/7/2023). (Dok. Pusaka)

Idealnya, kata Tigor, pengadilan dapat menjadi benteng dalam mewujudkan urgensi tindakan iklim mengatasi permasalahan krisis iklim yang dihadapi manusia dan lingkungan hidup sebagaimana tujuan sustainable development goals ke-13.

“Jika hakim benar memiliki perspektif lingkungan, seharusnya mereka memilih ketentuan yang paling membuka peluang akses keadilan lingkungan. Pilihan hakim menggunakan ketentuan yang paling mudah justru menutup peluang keadilan lingkungan dan menunjukkan posisi hakim yang tidak memiliki perspektif perlindungan lingkungan,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota tim kuasa hukum suku Awyu.

Bahkan menurut Emanuel Gobay, anggota tim kuasa hukum suku Awyu dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, bukan cuma tak memiliki perspektif perlindungan lingkungan, tak satu pun anggota majelis hakim PTTUN Manado yang mengadili perkara tersebut memiliki sertifikasi hakim lingkungan.

Ditegaskan hal ini juga bertentangan dengan surat keputusan ketua Mahkamah Agung nomor 36 tahun 2013 tentang pemberlakuan pedoman penanganan perkara lingkungan hidup.

“Ini artinya ada cacat formil dalam penanganan gugatan Hendrikus Woro, sebab seharusnya minimal satu dari tiga majelis hakim memiliki sertifikasi hakim lingkungan hidup,” kata Gobay.

Kuasa hukum pengugat dari marga Woro dan suku Awyu, tampak berdiri di hadapan hakim usai sidang, Kamis (27/7/2023). (Supplied for SP)

Upaya Kasasi

Tidak ada kata mundur ataupun berhenti meski telah mengalami kekalahan berulang kali, Hendrikus Woro dan kuasa hukumnya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

Baca Juga:  Desak Pelaku Diadili, PMKRI Sorong Minta Panglima TNI Copot Pangdam Cenderawasih

Tigor mengatakan, masyarakat adat suku Awyu telah menyerahkan memori kasasi ke PTUN Jayapura pada Kamis (14/3/2024).

Pengajuan kasasi ke MA ditandai dengan penyerahan memori kasasi dikawal aksi damai dari sejumlah pemuda adat di depan kantor PTUN Jayapura.

“Kasasi menjadi pertarungan selanjutnya bagi masyarakat adat Awyu untuk mempertahankan hutan adat mereka. Mahkamah Agung harus melihat gugatan ini dengan mengacu pada pedoman mengadili perkara lingkungan hidup yang mereka buat sendiri, agar dapat memberikan putusan yang adil bagi masyarakat adat Awyu,” kata Tigor.

Emanuel Gobay menambahkan, tim advokasi sangat kecewa dengan putusan banding PTTUN Manado itu.

“Kami sangat kecewa dengan putusan hakim PTTUN Manado. Setelah kami telusuri, rupanya tiga majelis hakim memeriksa perkara itu tidak berlisensi hakim lingkungan. Harus ada evaluasi di tingkat Mahkamah Agung, karena pengadilan tinggi tidak ada hakim lingkungan yang memeriksa perkara lingkungan hidup,” bebernya.

Gobay berharap majelis hakim MA yang memeriksa permohonan kasasi masyarakat adat suku Awyu memberikan putusan yang adil.

“Saya mohon dalam pemeriksaan tingkat kasasi, hakim lebih serius,” pintanya dengan serius. []

Terkini

Populer Minggu Ini:

Ribuan Data Pencaker Diserahkan, Pemprov PBD Pastikan Kuota OAP 80 Persen

0
“Jadi tidak semua Gubernur bisa menjawab semua itu, karena punya otonomi masing-masing. Kabupaten/Kota punya otonomi begitu juga dengan provinsi juga punya otonomi. Saya hanya bertanggung jawab untuk formasi yang ada di provinsi. Maka ini yang harus dibicarakan supaya apa yang disampaikan ini bisa menjadi perhatian kita untuk kita tindaklanjuti. Dan pastinya dalam Rakor Forkopimda kemarin kita juga sudah bicarakan dan sepakat tentang isu penerimaan ASN ini,” ujarnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.