BeritaJelang Otsus Berakhir, APAP Desak Pemkab Nabire Bangun Pasar

Jelang Otsus Berakhir, APAP Desak Pemkab Nabire Bangun Pasar

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Asosiasi Pedagang Asli Papua (APAP) Nabire mendesak pemerintah daerah agar membangun pasar yang layak bagi Mama-mama asli Papua.

Mikael Kudiai, juru bicara APAP Nabire, mengungkapkan, selama 19 tahun Otonomi Khusus (Otsus) diterapkan di Tanah Papua, tak ada perhatian dan prioritas keberpihakan ekonomi terhadap Orang Asli Papua (OAP) di kabupaten Nabire.

“Otsus sudah mau berakhir juga orang Papua dan mama-mama pedagang asli Papua masih terpinggir. Tidak ada perhatian. Salah satu buktinya, sampai hari ini tidak ada pasar yang dibangun khusus untuk mama-mama asli Papua,” jelasnya, Kamis (29/10/2020).

Dengan Undang-Undang Otsus tahun 2001, kata dia, sebaiknya sebagian dana dialokasikan khusus untuk pembangunan OAP, baik bidang UMKM, koperasi maupun pasar mama-mama pedagang asli Papua.

“Pasar-pasar sentral masih dikuasai oleh pedagang migran. Orang Papua masih tersingkir karena dianggap tidak produktif. Mama-mama masih berjualan di pinggir-pinggir jalan emperan,” bebernya.

Baca Juga:  Oknum Militer Diduga Menyiksa Warga Sorong yang Mengakibatkan Meninggal Dunia

Data APAP Nabire, sampai Otsus mau berakhir pemerintah daerah di seluruh Tanah Papua belum bangun pasar khusus OAP. Alasan pemerintah provinsi dan kabupaten, pemerintah pusat berikan uang tanpa kebijakan dan wewenang.

“Perspektif pemerintah dan masyarakat elit umum selalu memandang mama-mama masih tersingkir karena kesalahan mama-mama sendiri. Itu salah besar. Mama-mama selalu dipandang sebelah mata, karena hanya selalu melihat dari sisi mama-mama sewa tempat di pasar, hanya ingin cepat jadi dan dibeli di pinggir-pinggir jalan, kurang berpendidikan dan pengetahuan, dan lain-lain,” tutur Mikael.

Di Nabire, ia akui bupati ganti bupati masih belum mampu mengubah kondisi ekonomi mama-mama pedagang asli Papua.

Baca Juga:  Mahasiswa Puncak di Gorontalo Desak Panglima TNI Usut Kasus Mutilasi Tarina Murib

“Walaupun ada pasar yang telah dibangun, pemerintah tidak jadikan prioritas bagi orang asli Papua. Akhirnya mama-mama tidak mampu berjualan dan bersaing dengan pedagang migran.”

Melalui program Nawacita, presiden Joko Widodo memprogramkan 5000 pasar di seluruh Indonesia. Tetapi pasar yang dibangun dan dikelola BUMD di pasar sentral Kalibobo, kata Mikael, tidak kontekstual. Mama-mama tidak harus dipaksakan sama seperti pedagang-pedagang lain.

“Kondisi pasar sentral Oyehe juga mama-mama pedagang asli Papua berjualan di terminal, dekat tumpukan sampah, dan di tempat yang berdebu. Begitupun di pasar sentral Karang Tumaritis,” katanya.

Mikael menyatakan, hingga hari ini mama-mama tak mendapatkan hak dan prioritas yang sama dengan banyak pedagang umumnya.

“Ini membuat ekonomi OAP, terutama pedagang asli Papua tersinggir dan dan tertindas di tanahnya sendiri,” lanjut Kudiai.

Baca Juga:  YBA Papua Gelar Simposium Perencanaan Pembuatan Perda Masyarakat Adat

Robertha Muyapa, pendiri APAP Nabire, menyayangkan kondisi miris yang selalu dialami mama-mama pedagang asli Papua.

Ia juga mengkritisi sistem pengelolaan dan manajemen koperasi UMKM yang hingga kini masih jauh dan masih belum memprioritaskan OAP.

“Selama ini sistem pengelolaan koperasi yang modern dan pengembangan UMKM tidak ada bimbingan, pembinaan, dan pelatihan buat mama-mama pedagang asli Papua dan secara umum OAP. Semua masih belum memprioritaskan orang asli Papua,” urai Muyapa.

Menjawab kondisi tersebut, APAP Nabire mendesak pemerintah daerah segera bangun pasar tradisional khusus OAP yang layak bagi mama-mama dan semua pedagang asli Papua untuk membangun ekonomi mandiri.

Desakan berikut, bantuan dan pengembangan UMKM dan koperasi untuk mama-mama dan semua pedagang asli Papua harus diprioritaskan.

Pewarta: Yance Agapa
Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

TPNPB Kodap VIII Menyatakan Akan Menembak Mati TNI-Polri yang Masuk Zona...

0
“Pemerintah Indonesia tanpak abaikan dengan situasi yang terjadi di tanah Papua, tetapi kami akan tunjukkan kepada mereka sikap perjuangan kami bahwa kami ingin berjuang untuk merdeka,” tukasnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.