BeritaAdvokat Papua Sesalkan Aksi Ormas di Wamena Gagalkan Agenda MRP

Advokat Papua Sesalkan Aksi Ormas di Wamena Gagalkan Agenda MRP

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Advokat dan pembela hak asasi manusia (HAM) di Tanah Papua menyayangkan sikap organisasi kemasyarakatan (Ormas) yang melakukan penyanderaan terhadap rombongan Majelis Rakyat Papua (MRP) di Wamena, ibukota kabupaten Jayawijaya, Minggu (15/11/2020) kemarin.

“Saya sangat sedih dan prihatin sekaligus menyesalkan atas sikap penolakan yang dilakukan sekelompok orang di Wamena pada hari Minggu kemarin, terhadap kehadiran para anggota MRP untuk menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP),” kata Yan Christian Warinussy direktur eksekutif LP3BH Manokwari, melalui pesan elektronik, Senin (16/11/2020).

Ia mengaku heran dengan masih adanya sekelompok kecil yang sepertinya digerakkan oleh negara untuk melakukan upaya perlawanan secara tidak prosedural terhadap hak kebebasan menyampaikan pendapat dan berekspresi.

Padahal, kata Warinussy, semua sudah diakui dan dilindungi di dalam Pasal 24 dan Pasal 25 dari UU RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Baca Juga:  Solidaritas Merauke Dideklarasikan, Ini Isinya!

Ditegaskan, MRP merupakan salah satu nafas penting dari pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua dan juga Papua Barat. Sebab hal itu terbukti dalam peraturan mengenai MRP di dalam undang-undang.

“Itu terdapat dalam 7 pasal yaitu pada pasal 19 sampai dengan pasal 25,” bebernya.

Berdasarkan amanat pasal 20, 21, 22, dan 23 UU Otsus Papua, ia meyakini kehadiran para anggota MRP di Wamena dan keempat wilayah adat di provinsi Papua merupakan suatu hak dan kewajiban.

“Jika diragukan oleh siapapun termasuk para penghalang di Wamena terhadap kehadiran para anggota MRP dalam melakukan RDP, maka ukurannya sudah ada di dalam keempat pasal itu.”

Baca Juga:  LBH Papua Desak Kapolri Proses Aparat Pelaku Kekerasan Saat Aksi Penolakan MBG

Karena itu, ia berharap, semestinya pemprov Papua di bawah pimpinan gubernur sesuai kewenangannya selaku wakil pemerintah pusat di daerah berdiri pada baris terdepan dalam mendorong berlangsungnya RDP.

“Ini penting agar bisa diperoleh aspirasi rakyat dalam menyikapi pemberlakuan kebijakan Otsus yang oleh mereka (rakyat Papua) dirasa sebagai ‘derita’ dari pada berkat selama hampir 20 tahun ini,” ujarnya.

Warinussy menambahkan, berbasis pada politik dan hukum dari lembaga representasi kultural, masih ada ruang bagi MRP untuk mempersoalkan peristiwa yang dialami di Wamena.

Sebelumnya, John NR Gobai, sekretaris II Dewan Adat Papua (DAP), menegaskan, tidak boleh ada pihak yang melarang atau menolak kegiatan RDP. Biarkan rakyat bicara, sebab bicara tidak membunuh.

Baca Juga:  MRP Papua Pegunungan Dukung Pemkab Jayawijaya Tertibkan Peredaran Miras dan Narkoba

“Yang mau kontra kah, pro kah, masuk saja, tidak perlu bertengkar dan bakalai hanya karena beda pendapat, bicara saja,” kata John kepada suarapapua.com ketika diminta tanggapan, Senin (16/11/2020).

John berpendapat, RDP bukan ruang mengambil keputusan dan bukan mempunyai kewenangan membuat keputusan, melainkan jaring aspirasi masyarakat.

“Saya harap kita harus bisa pilah soal, apakah ini bahas soal konflik sosial atau politik. Sebab beda, sosial ranahnya adat dan politik ranahnya negara. Artinya, sampaikan saja apa yang mau disampaikan, tapi harus tepat sesuai agenda,” ujarnya.

Pewarta: Yance Agapa
Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

Tong Bicara Tapi Dong Jalan Terus, Buku Analisis Tentang Lingkungan dan...

0
“Jadi buku ini ditulis melalui analisis kritis. Jadi disitu ada persoalan, tetapi A bilang saya tidak tahu, B bilang saya tidak tahu. Nah dibelakang ini siapa yang bermain. Misalnya otonomi khusus. Otsus itu sebuah paradikma baru. Jakarta bilang kami sudah kasih [dana] miliaran, tapi faktanya di Papua tidak sejahtera,” kata Prof. Levan.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.