BeritaTim MRP Dihadang di Wamena, DAP: Itu Mempermalukan Diri Sendiri!

Tim MRP Dihadang di Wamena, DAP: Itu Mempermalukan Diri Sendiri!

WAMENA, SUARAPAPUA.com — Dewan Adat Papua (DAP) mengaku sangat heran dengan tiadanya pengawalan terhadap Majelis Rakyat Papua (MRP) yang merupakan lembaga negara saat tiba di bandar udara Wamena, kabupaten Jayawijaya, Minggu (15/11/2020) kemarin, dalam rangka menjalankan amanah Undang-undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 Pasal 77 yakni agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP) tentang penilaian efektifitas pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) di Tanah Papua.

Aksi sekelompok orang dari Lembaga Masyarakat Adat (LMA), Barisan Merah Putih (BMP) dan komplotannya menghadang rombongan MRP dengan maksud menggagalkan agenda RDP di wilayah adat Lapago justru dibiarkan berlanjut.

Kejadian tersebut disesalkan Dominikus Surabut, ketua DAP, saat diwawancarai wartawan di Wamena, Senin (16/11/2020).

Ia menegaskan, tindakan LMA dan BMP menghadang dan menyandera tim MRP yang hendak menggelar agenda RDP di Wamena, seharusnya tak perlu terjadi jika lebih dewasa dalam menyikapi situasi untuk menyampaikan pendapatnya.

Di lain sisi, katanya, pemerintah termasuk aparatus negara tak netral bahkan terkesan tak melindungi MRP.

“Kami dari masyarakat adat menilai itu negara mempermalukan diri sendiri atau menampar wajah sendiri. Karena kelompok oplosan yang tidak masuk dalam badan sistem negara, tetapi kok negara melindungi dan memfasilitasi mereka dengan memberikan makan minum dan memberikan uang. Ini termasuk Bupati, Kapolres, Dandim, BIN dan BAIS, memfasilitasi kelompok yang tidak masuk dalam sistem negara ini,” ujarnya.

Dominikus berpendapat, pemerintah dan semua lembaga negara seharusnya berwenang memberi rasa aman kepada anggota MRP yang tengah menjalankan mandat Undang-undang Otsus.

“Tetapi justru MRP dibiarkan dan kelompok tidak jelas yang dikawal. Itu artinya negara secara sadar memainkan teori-teori defide et impera dan sedang memainkan yang namanya teori konflik. Bagaimana mereka membuang umpan lalu masyarakat dengan masyarakat konflik,” tandasnya.

Beberapa kejanggalan dipantau terjadi dalam aksi sekelompok orang itu. Menurut dia, hal tersebut mau memperlihatkan perbedaan perlakuan negara terhadap rakyat Papua. 

Baca Juga:  Sikap Mahasiswa Papua Terhadap Kasus Penyiksaan dan Berbagai Kasus Kekerasaan Aparat Keamanan

“Secara tegas saya sampaikan bahwa aksi kemarin itu adalah babak awal. Nanti mulai besok, kita akan lihat siapa yang akan rugi dan siapa yang akan untung. Karena negara, pemerintah daerah hingga pusat, secara sepihak mencederai wajahnya sendiri,” ujarnya.

Surabut mengaku sangat kesal dengan tindakan tak teruji itu. Artinya, kata dia, jika LMA dan BMP mau menerima Otsus jilid II, ada ruang atau panggungnya.

“MRP kan sudah siapkan undangan untuk LMA, BMP dan kelompok lain yang berafiliasi dengan mereka. Pasti dikasih undangan, jadi datang dan sampaikan materi dalam forum secara tenang, tertulis dan bermartabat serta bertanggungjawab.”

Jika itu tak dilakukan, ia bilang, gaya mafia masih diterapkan aparatus negara Indonesia di era modern ini.

“Gaya begini ini tidak baik. Gaya mafia. Negara ini negara hukum, makanya harus melalui aturan dan mekanisme hukum itu harus dijaga. Tetapi para pelaku atau pelaksana hukum sendiri mencederai hukumnya sendiri. Itu sangat memalukan dari pandangan masyarakat adat,” tegas Surabut.

Secara terpisa, Aman Jikwa, koordinator MRP wilayah Lapago, mengatakan, perlu dipilahkan antara RDP Otsus dan bentuk kegiatan lain.

“Semua pihak harus pahami bahwa ini bukan Musrenbang dalam pelaksanaan Otsus. Tetapi negara kasih Otsus selama 20 tahun itu sudah habis, sehingga rakyat Papua harus duduk bersama bicara untuk dilanjutkan atau tidak,” jelasnya.

MRP menurutnya melaksanakan agenda RDP berdasarkan regulasi yang jelas.

“Untuk evaluasi itu MRP sesuai perintah Pasal 77 Undang-undang Otsus melakukan RDP. Jadi, perintahnya bahwa bukan Gubernur, bukan DPR, bukan Bupati. Perintah undang-undang itu, masyarakat melalui MRP karena representasi masyarakat itu ada di MRP,” tegas Jikwa.

Tindakan penghadangan dan penyanderaan tim MRP oleh segelintir orang di Wamena disesalkan Yan Christian Warinussy, advokat dan pembela hak asasi manusia (HAM) di Tanah Papua.

“Saya sangat sedih dan prihatin sekaligus menyesalkan atas sikap penolakan yang dilakukan sekelompok orang di Wamena pada hari Minggu kemarin, terhadap kehadiran para anggota MRP untuk menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP),” tuturnya, Senin (16/11/2020).

Baca Juga:  Peringatan IWD Menjadi Alarm Pergerakan Perempuan Kawal Segala Bentuk Diskriminasi Gender

Direktur eksekutif LP3BH Manokwari ini mengaku heran dengan masih adanya sekelompok kecil yang sepertinya digerakkan oleh negara untuk melakukan upaya perlawanan secara tidak prosedural terhadap hak kebebasan menyampaikan pendapat dan berekspresi.

Padahal, kata Warinussy, semua sudah diakui dan dilindungi di dalam Pasal 24 dan Pasal 25 dari UU RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Ditegaskan, MRP merupakan salah satu nafas penting dari pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua dan juga Papua Barat. Sebab hal itu terbukti dalam peraturan mengenai MRP di dalam undang-undang.

“Itu terdapat dalam 7 pasal yaitu pada pasal 19 sampai dengan pasal 25,” sebutnya.

Berdasarkan amanat pasal 20, 21, 22, dan 23 UU Otsus Papua, ia meyakini kehadiran para anggota MRP di Wamena dan keempat wilayah adat di provinsi Papua merupakan suatu hak dan kewajiban.

“Jika diragukan oleh siapapun termasuk para penghalang di Wamena terhadap kehadiran para anggota MRP dalam melakukan RDP, maka ukurannya sudah ada di dalam keempat pasal itu,” urai Warinussy.

Mahasiswa asal kabupaten Jayawijaya di kota studi Jayapura bahkan mengutuk keras sikap sekelompok orang yang diduga berasal dari LMA dan BMP.

Menurut Albert Kalolik, ketua HPMJ se-kota studi Jayapura, sekelompok orang tersebut tak boleh mengatasnamakan rakyat Papua membatalkan agenda RDP terhadap Otsus Papua, saat 47 orang rombongan MRP tiba di bandar udara Wamena, Minggu (15/11/2020) kemarin.

“Kami mahasiswa Jayawijaya mengutuk keras segelintir orang yang menolak RDP dari MRP, karena wilayah Lapago itu bukan hanya milik mereka,” tegasnya saat dihubungi melalui telepon seluler, Senin (16/11/2020).

Kegiatan RDP menurutnya agenda resmi MRP sesuai amanat UU Otsus dan MRP menetapkan untuk beberapa kabupaten yang ada di wilayah Lapago dipusatkan di Wamena.

Baca Juga:  ULMWP Mengutuk Tindakan TNI Tak Berperikemanusiaan di Puncak Papua

“RDP harus dilaksanakan untuk menjaring aspirasi masyarakat akar rumput,” imbuhnya.

Benyamin Lagowan, intelektual muda Jayawijaya, juga mengutuk aksi penghadangan dan penyanderaan tim MRP yang tiba di bandar udara Wamena. Sebab menurutnya, sikap sekelompok orang itu sangat memalukan.

“Itu tindakan memalukan. Hanya karena sekelompok oknum yang mengatasnamakan masyarakat Lapago dari BMP dan LMA, masa agenda UU harus gagal, itu tidak masuk akal,” ujarnya.

Ia menyayangkan sikap tidak dewasa yang diperlihatkan sekelompok ormas yang memaksa tim RDP dari MRP harus pulang ke Jayapura.

“Sangat lucu, karena RDP itu agenda UU. Kenapa aparat tidak fasilitasi dan amankan tim RDP dari MRP untuk bisa adakan kegiatan di Wamena?. Padahal yang demo itu hanya segelintir orang saja.”

Lagowan menilai peristiwa kemarin merupakan pembodohan nalar publik. Sebab baru hari ini, ia menyebut aparat bisa dengar sekelompok oknum ini.

“Padahal aksi tidak pakai izin dan juga hari minggu lagi. Ini mengundang banyak tanda tanya dan keheranan semua pihak di Papua,” ujar Lagowan.

Sebelumnya, John NR Gobai, sekretaris II DAP, menegaskan, tidak boleh ada pihak yang melarang atau menolak kegiatan RDP. Biarkan rakyat bicara, sebab bicara tidak membunuh.

“Yang mau kontra kah, pro kah, masuk saja, tidak perlu bertengkar dan bakalai hanya karena beda pendapat, bicara saja,” kata John kepada suarapapua.com ketika diminta tanggapan, Senin (16/11/2020).

John berpendapat, RDP bukan ruang mengambil keputusan dan bukan mempunyai kewenangan membuat keputusan, melainkan jaring aspirasi masyarakat.

“Saya harap kita harus bisa pilah soal, apakah ini bahas soal konflik sosial atau politik. Sebab beda, sosial ranahnya adat dan politik ranahnya negara. Artinya, sampaikan saja apa yang mau disampaikan, tapi harus tepat sesuai agenda,” ujarnya. 

Pewarta: Onoy Lokobal
Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

ULMWP Himbau Rakyat Papua Peringati 1 Mei Dengan Aksi Serentak

0
“ULMWP sebagai wadah koordinatif gerakan rakyat, siap bertanggung jawab penuh atas semua rangkaian aksi yang dilakukan dalam bentuk apa pun di hadapkan kolonialisme Indonesia dan dunia Internasional.”

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.