BeritaBerhentikan 36 Kakam, Bupati Paniai Digugat di PTUN Jayapura

Berhentikan 36 Kakam, Bupati Paniai Digugat di PTUN Jayapura

PANIAI, SUARAPAPUA.com — Bupati kabupaten Paniai digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura, provinsi Papua, terkait dugaan pelanggaran penyalahgunaan wewenang memberhentikan beberapa kepala kampung (Kakam) dari sejumlah distrik di kabupaten Paniai belum lama ini.

Frederika Korain, kuasa hukum penggugat, menjelaskan, keputusan bupati memberhentikan para kepala kampung bertentangan dengan Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa. Karena itu materi gugatan kliennya telah didaftarkan di PTUN Jayapura.

“Sebanyak 39 kepala kampung dari kabupaten Paniai telah mengajukan gugatan terhadap keputusan bupati Paniai Meki Nawipa ke PTUN atas pemberhentian para para klien kami dari jabatan kepala kampung dengan orang lain,” ujarnya melalui siaran pers yang diterima suarapapua.com, Rabu (5/5/2021).

Korain mengutip laporan yang disampaikan kliennya, gugatan diajukan lantaran bupati diduga telah melanggar penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Desa.

Baca Juga:  Calon DPRP dan DPRK Jalur Pengangkatan Tidak Gadaikan Tanah Adat

“Kami menduga pemberhentian dilakukan secara sewenang-wenang. Di dalam konsideran putusan itu, pemberhentian klien kami karena alasan penyalahgunaan alokasi dana kampung, sementara tidak pernah ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang menyatakan klien kami terbukti menyalahgunakan alokasi dana kampung,” urainya.

Korain mengungkapkan, mekanisme pemberhentian kepala kampung telah diatur secara jelas dan tegas dalam UU Desa serta peraturan turunannya. Ditegaskan dalam UU Desa, dasar dan alasan pemberhentian kepala desa yaitu berakhir masa jabatan, tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan (berhalangan tetap) berturut-turut selama enam bulan, tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon kepala desa, atau melanggar larangan sebagai kepala desa, dan serta seterusnya.

Baca Juga:  Feki Mobalen, Pegiat HAM dan Pejuang Masyarakat Adat Tutup Usia

“Klien kami selama menjabat sebagai kepala kampung tidak pernah menyandang status sebagai tersangka, terdakwa maupun terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Menurut hemat kami, pemberhentian klien kami melanggar peraturan hak asasi dalam pemerintahan yang baik,” bebernya.

Untuk membuktikan, kata Rika, akan diuji di pengadilan baik segi kewenangan, prosedural maupun substansi dari surat keputusan bupati yang menjadi objek sengketa.

“Bila keputusan bupati itu terbukti cacat hukum kewenangan, prosedural maupun substansi, maka keputusan tersebut tidak sah, batal atau dapat dibatalkan secara hukum,” imbuh Rika.

Sementara itu, Esau Boma, ketua tim peduli Undang-Undang Desa kabupaten Paniai, menyatakan, pemberhentian kepala kampung tanpa dasar dan alasan yang sah merupakan praktik penyalahgunaan kekuasaan yang tak boleh dibiarkan dan prinsip dasar kekuasaan tak boleh digunakan sewenang-wenang.

Baca Juga:  Mahasiswa Moni Tolak Pemekaran dan Mendesak Aparat Adili Pelaku Penembakan Goliat Sani

“Semua keputusan atau tindakan pemerintah harus selalu didasarkan pada hukum, bukan pada pertimbangan-pertimbangan politis praktis,” ujar Boma.

Jika kemudian terbukti pemberhentian para kepala kampung tanpa dasar dan alasan sah, ia menyatakan, tindakan tersebut harus menjadi pelajaran bagi masyarakat Paniai bahwa pemimpin yang tak jalan dalam koridor hukum tak layak menjadi pemimpin karena masyarakat yang akan menjadi korban dari setiap pengambilan keputusan.

“Keputusan para kepala kampung menempuh upaya jalur hukum ini harus dilihat sebagai upaya penegakkan supremasi hukum dan harus diapresiasi,” imbuhnya.

Ditulis diakhir siaran pers, Boma berharap, majelis hakim dapat arif dan bijak dalam menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya.

Pewarta: Stevanus Yogi
Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

Diduga Aparat Militer Menggunakan Bom Udara Menyerang TPNPB di Sinak dan...

0
Antara tanggal 28 dan 30 Maret, serangan udara dilaporkan terjadi di beberapa wilayah sipil, termasuk desa-desa Soanggama, Janamba, Hitadipa, Eknemba, dan Titigi, yang terletak di distrik Sugapa dan Hitadipa, Intan Jaya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.