PolhukamHAMLima Tuntutan Mahasiswa dan Keluarga Korban Mutilasi

Lima Tuntutan Mahasiswa dan Keluarga Korban Mutilasi

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Menanggapi putusan terakhir terhadap 4 pelaku sipil yang akan digelar besok, Selasa (6/6/2023) di Pengadilan Negeri Timika, mahasiswa bersama keluarga korban mutilasi menyatakan sikapnya demi keadilan hukum di Tanah Papua.

Sedikitnya lima pernyataan disampaikan mahasiswa Nduga se-Indonesia dan mahasiswa Papua lainnya menyuarakan desakan keluarga korban mutilasi dalam jumpa pers, 5 Juni 2023.

Pertama: Kami mendesak kepada Pengadilan Negeri Timika dan pihak Polres Mimika agar hentikan tindakan perlakuan diskriminasi terhadap keluarga korban dalam mengikuti jalannya proses persidangan di Pengadilan Negeri Timika.

Kedua: Kami mendesak proses putusan harus sesuai dengan tuntutan JPU nomor 7/Pid./B/2023/PN.Tim, terdakwa 1 Andre Pujianto Lee, terdakwa 2 Dul Uman, terdakwa 3 Rafles Lasaka dan termasuk Roy Marthen Howay sesuai Pasal 340 KUHP Jo 55 ayat (1) ke-1 dalam dakwaan primair dengan tuntutan seumur hidup.

Mahasiswa Nduga se-Indonesia menyampaikan pernyataan sikap jelang sidang putusan terakhir terhadap 4 pelaku sipil kasus mutilasi yang akan digelar Selasa (6/6/2023) di Pengadilan Negeri Timika. (Ist)

Ketiga: Kami mendesak Majelis Hakim Banding Pengadilan Tinggi Militer III Surabaya agar tinjau ulang putusan pengurangan hukuman penjara seumur hidup menjadi 15 tahun terhadap Mayor Helmanto Fransiskus Dahki, karena tidak sesusi dengan gelar perkara dan fakta persidangan bahwa Mayor Helmnto Fransiskus Dahki merupakan otak yang mengatur perencanaan kasus mutilasi bersama lainnya dan wajib diberikan hukuman seumur hidup.

Baca Juga:  Operasi Brutal di Kampung Yuguru, Abaral Wandikbo Disiksa Hingga Tewas

Keempat: Kami mendesak semua pelaku sipil wajib diberikan putusan hukuman seumur hidup sesuai dengan perbuatan, agar menjunjung tinggi keadilan bagi setiap orang dan hukum yang tidak diskriminasi.

Kelima: Kami mendesak dan menuntut kepada Mahkamah Agung RI, Komnas HAM RI, agar memantau dan meninjau setiap persidangan yang merugikan rakyat sipil asli Papua.

Pernyataan desakan dan tuntutan itu dibacakan Naik Yimin Tabuni, Laorens Kereba, dan Pinus Nirigi, sebagai penanggung jawab aksi se-Jawa Bali.

Mahasiswa Nduga se-Indonesia menyampaikan pernyataan sikap jelang sidang putusan terakhir terhadap 4 pelaku sipil kasus mutilasi yang akan digelar Selasa (6/6/2023) di Pengadilan Negeri Timika. (Ist)

Diskriminasi

Kasus pembunuhan disertai mutilasi terhadap empat warga sipil Nduga terjadi pada 22 Agustus 2023 di kawasan Satuan Pemukiman 1, distrik Mimika Baru, kabupaten Mimika. Korbannya: Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Atis Tini, dan Lemaniel Nirigi. Pelakunya: 6 oknum anggota TNI aktif dengan melibatkan 4 warga sipil. Para pelaku menembak, membunuh dan memutilasi setiap bagian tubuh korban.

Mahasiswa Nduga se-Indonesia bersama mahasiswa Papua serta keluarga korban mutilasi dalam siaran pers membeberkan, perbuatan tidak terpuji itu telah mencederai harkat dan martabat kemanusiaan dan terus menambah daftar panjang kekerasaan di Tanah Papua. Untuk kesekian kalinya perbuatan ini berasal dari oknum militer yang saling berafiliasi. Tindakan-tindakan kekerasaan yang terus dipelihara dan dilanjutkan merupakan bagian dari proses pembiaran dari negara.

Baca Juga:  Aliansi Perempuan dan Rakyat Melawan: Tuntut Keadilan dan Kesetaraan!

Sebelumnya, enam terdakwa prajurit tentara aktif dari kesatuan Brigade Infanteri Raider 20/Ima Jaya Keramo telah diputus bersalah oleh Pengadilan Militer. Tiga diantaranya divonis seumur hidup yakni Pratu Rahmat Amin Sese, Robertus Putra Clinsman, dan Mayor Inf Helmanto Fransiskus Dhaki. Serta dua Pratu dan Praka lainnya divonis 20 tahun dan 15 tahun penjara serta dipecat.

Kemudian pada 24 Januari 2023 lalu, Majelis Hakim Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya yang telah memvonis Mayor Inf Helmanto penjara seumur hidup dan pemecatan. Kemudian Mayor Inf Helmanto mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Militer III Surabaya. Upaya bandingnya diterima dan diputus majelis hakim banding Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya pada 12 April 2023. Putusan banding itu telah membatalkan putusan pidana penjara seumur hidup. Dan mengurangi pidana penjara menjadi 15 tahun dan pemecatan. Hal ini dinilai telah melecehkan rasa keadilan bagi keluarga dan masyarakat Papua pada umumnya. Apalagi peran seorang mayor dalam kasus ini sangat aktif dalam merencanakan semua aksi.

Baca Juga:  Kantor Tempo Kembali Diteror Dengan Dikirimi Bangkai Tikus
Mahasiswa Nduga se-Indonesia menyampaikan pernyataan sikap jelang sidang putusan terakhir terhadap 4 pelaku sipil kasus mutilasi yang akan digelar Selasa (6/6/2023) di Pengadilan Negeri Timika. (Ist)

Selanjutnya pada 4 Mei 2023, Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Mimika telah menuntut terdakwa sipil atas nama RMH (Roy Marten Howay), APL (Andre Pudjianto Lee), DU (Dul Uman), dan RF (Rafles Laksana) dituntut penjara seumur hidup pada persidangan yang telah digelar di Pengadilan Negeri Timika. Para terdakwa dinilai bersalah melakukan tindak pidana. Mereka melakukan, yang menyuruh melakukan perbuatan dan serta turut melakukan perbuatan dengan sengaja dan dengan terencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain sesuai dengan Pasal 340 KUHP junto pasal 55 ayat (1) ke (1).

Pengakuan keluarga korban, demikian ditulis dalam siaran pers, sejak berlangsungnya persidangan sipil banyak perlakuan berbeda atau diskriminasi terhadap keluarga korban di PN Mimika. Tidak seperti biasanya, hampir semua anggota keluarga korban mendapatkan pemeriksaan yang ketat oleh aparat keamanan Polres Mimika.

Jumlah peserta persidangan khususnya keluarga korban pun dibatasi dan pengamanannya super ketat dengan menenteng senjata lengkap dalam jumlah berlebihan. Hal itu juga diakui sesuai temuan ketua Komnas HAM pada 31 Mei 2023. []

Terkini

Populer Minggu Ini:

Solidaritas Merauke Desak Komnas HAM Terbitkan Rekomendasi Hentikan PSN

0
“Masyarakat terdampak langsung maupun organisasi lingkungan hidup tidak dilibatkan sejak awal pembahasan kerangka acuan dan penilaian AMDAL dan belum mendapatkan informasi dokumen lingkungan,” ujar Franky Samperante.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.