Rilis PersPVRI Menilai Demokrasi Indonesia di Ujung Tanduk

PVRI Menilai Demokrasi Indonesia di Ujung Tanduk

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Lembaga kajian demokrasi Public Virtue Research Institute (PVRI) menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penetapan batas usia minimal calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) berpotensi memicu konflik politik yang serius dalam Pemilu 2024 dan membuat demokrasi Indonesia berada di ujung tanduk.

Public Virtue Research Institute (PVRI) menilai putusan itu menambah daftar kemunduran demokrasi di Indonesia.

Mahkamah Konstitusi pada, Senin (16/10/2023) menetapkan batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden paling rendah adalah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah. Putusan ini menguatkan ketentuan soal batas usia capres-cawapres yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Direktur Eksekutif PVRI, Yansen Dinata mengatakan, dalam sistem ketatanegaraan, MK memiliki kewenangan untuk memutus perselisihan pemilu, termasuk dugaan pelanggaran oleh Presiden yang sedang berkuasa.

Baca Juga:  YLBHI: Revisi UU TNI Mengkhianati Amanat Reformasi, Demokrasi dan Ancaman Serius Bagi HAM

“Pemilu yang adil memerlukan kekuasaan kehakiman yang berani melakukan check and balances atas penyelenggara negara eksekutif. Dengan kondisi MK saat ini, maka sulit berharap adanya putusan yang berkeadilan jika ada sengketa politik peserta Pemilu,” kata Yansen dalam pernyataanya kepada suarapapua.com, Senin (22/10/2023).

Dinata menjelaskan, putusan MK yang meloloskan putra sulung Jokowi melengkapi rangkaian pelemahan demokrasi yang intens selama lima tahun terakhir.

“Pelemahan demokrasi dan kebebasan sipil membesar jika Pilpres 2024 memenangkan dinasti. Ini bagian dari rentetan peristiwa yang menandai kemunduran demokrasi. Ini juga merupakan bentuk pewajaran praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Di mana publik disuguhi pasangan dinasti era Soeharto dan era Jokowi,” jelasnya.

Baca Juga:  Yuguru Bukan Tempat Perang, Warga Nduga Tolak Kehadiran Tim Taipur

Serupa disampaikan pengurus PVRI Anita Wahid yang mana mengatakan, penentuan Bacapres yang dimuluskan MK mengabaikan secara terang-terangan etika politik.

“Ini membuat demokrasi Indonesia ada di ujung tanduk. Kondisi saat ini mengkhawatirkan. Rangkap jabatan kembali lumrah. Pembuatan kebijakan terang-terangan mengabaikan masyarakat. Lembaga pemberantasan korupsi dilemahkan dengan retorika anti radikalisme.” jelas Anita yang juga merupakan puteri ke-3 Presiden ke-4 KH. Abdurrahman Wahid.

PVRI menyadari, budaya politik Indonesia telah lama lekat dengan KKN, namun preseden kali ini terlalu mempertaruhkan bangunan masa depan demokrasi Indonesia. Oleh karena itu, PVRI berusaha mencegah agar berbagai fenomena politik yang mengarah pada politik otoritarianisme dan oligarkisasi harus dicegah.

Yansen dan Anita merupakan aktivis yang ikut mendukung Maklumat Juanda, pernyataan sikap yang didukung ratusan aktivis, tokoh masyarakat, budayawan, seniman, akademisi, ahli ekonomi dan ahli hukum.

Baca Juga:  Berangus Kebebasan Pers dan Demokrasi, KKJ Tolak Perpol 3/2025

Mereka menyesalkan putusan MK. Mereka merilis Maklumat itu hanya satu jam usai putusan MK. Mereka menyatakan situasi politik Indonesia saat ini telah mengembalikan Reformasi ke titik nol.

Oleh sebab itu PVRI mengajak masyarakat Indonesia untuk mendukung Maklumat Juanda dan mengimbau agar masyarakat tidak takut menyuarakan pendapat kritis, serta melakukan aksi kolektif untuk melawan kemunduran demokrasi.

Kutipan Maklumat Juanda; jika Reformasi kembali ke titik nol. Mundurnya Reformasi ditandai dengan merosotnya demokrasi dan diperburuk oleh fenomena politik dinasti. Reformasi dan Demokrasi yang kita tegakkan bersama dalam 25 tahun terakhir, dikhianati.

Terkini

Populer Minggu Ini:

YKKMP Beberkan Banyaknya Korban Konflik Bersenjata di Tanah Papua

0
“Hingga di awal tahun 2025, eskalasi konflik terus meningkat. Hal ini tentu sangat mengganggu kenyamanan hidup orang asli Papua dan warga non Papua akibat konflik kekerasan bersenjata yang terus terjadi di seluruh Papua khususnya di daerah-daerah konflik bersenjata antara TPNPB dan TNI/Polri,” ujar Theo Hesegem.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.