JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Dampak dari penegakkan hukum yang diterapkan pasukan keamanan di distrik Bibida dan Paniai Timur, kabupaten Paniai, Papua Tengah, memaksa lebih dari 5.000 orang masyarakat adat Moni dan Mee meninggalkan rumah mereka.
Demikian update dari Human Rights Monitor (HRM) yang dirilis 17 Juni 2024 di website resminya.
Jumlah pengungsi internal itu, tulis HRM, merupakan warga yang berdomisili di 15 desa di distrik Bibida dan Paniai Timur sejak 14 Juni 2024. Hanya orang lanjut usia yang tidak bisa berjalan dan orang sakit yang dilaporkan tinggal.
Pihak Gereja telah berusaha menghentikan operasi militer di desa-desa yang terkena dampak. Secara bersamaan, aparat gabungan TNI dan Polri mendirikan pos pemeriksaan dan pengendalian kendaraan yang lewat di kota Enarotali dan desa Madi pada 12 Juni 2024.

Distrik Bibida dan Paniai Timur dihuni oleh suku Moni dan Mee. Masyarakat meninggalkan rumah mereka karena takut dengan operasi pasukan keamanan dan kekerasan bersenjata antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dan pasukan keamanan Indonesia. Operasi tersebut dilancarkan setelah anggota TPNPB menembak mati seorang sopir di desa Kopo, distrik Paniai Timur, pada 11 Juni 2024.
Menurut informasi dari sumber setempat, aparat keamanan memasuki distrik Bibida dengan sepuluh truk sekitar pukul 08.00 dan mulai menggeledah rumah. Operasi tersebut diiringi empat helikopter yang terbang di atas Bibida. Salah satu dari mereka dilaporkan melepaskan beberapa tembakan selama penggerebekan yang menyebabkan ribuan orang dari desa Bibida, Ugidimi, Kugaisiga, Kugapa, Kolaitaga, dan Damadama, meninggalkan rumah mereka.
Dari distrik Paniai Timur, masyarakat yang terdampak berasal dari desa Odiyai, Papato, Tuwakotu, Amougi, Timida, Kopo, Wouyebutu, Uwibutu, Madi, Ipakiye, dan Pudotadi.

Tentang Human Rights Monitor
Sekadar diketahui, HRM adalah lembaga nirlaba internasional independen yang mempromosikan hak asasi manusia melalui dokumentasi dan advokasi.
Dalam mencapai visinya, HRM yang berbasis di Eropa dan aktif sejak 2022 itu biasanya mendokumentasikan pelanggaran; meneliti konteks kelembagaan, sosial dan politik yang mempengaruhi perlindungan hak dan perdamaian; dan berbagi kesimpulan dari pekerjaan pemantauan berbasis bukti.
Didukung tim kerja di dalam dan luar Uni Eropa, serta secara lokal, dalam pekerjaannya berkolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil, gereja, pengacara, pembela hak asasi manusia, dan jurnalis untuk memverifikasi informasi. []