Sejumlah warga dari distrik Bibida sedang mengungsi ke Gereja Katolik Paroki Salib Suci Madi, distrik Paniai Timur, kabupaten Paniai, Papua Tengah. (Ist)
adv
loading...

Oleh: Marselino Pigai

)* Aktivis Papua, mantan koordinator Chapter Amnesty Universitas Papua (Unipa) periode 2021-2023

Terjadi kontak senjata antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB OPM) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di antara kampung Piyaibo dan kampung Kugapa, distrik Bibida, kabupaten Paniai, provinsi Papua Tengah, pada tanggal 1 Mei 2024. Kontak tembak terjadi ketika satuan TNI melakukan patroli di distrik Bibida.

Patroli TNI ditanggapi TPNPB OPM adalah sebagai upaya menakut-nakuti masyarakat sipil setempat (wagadei.id, 2024).

Meskipun setelah kejadian itu keamanan situasi kondusif kembali. Tanggal 21 Mei 2024, TPNPB OPM kembali beraksi melakukan pembakaran fasilitas dan pembangunan sekolah YPPGI Kepas Kopo dan 12 kios warga di Uwibutu, distrik Paniai Timur. Kejadian tersebut ditanggapi satuan TNI Polri yang bertugas di Paniai. Pada tanggal 22 Mei 2024, pasukan TNI Polri dan Satgas Operasi Damai Cartenz melakukan penyerangan dan menembak satu anggota TPNPB OPM, Basoka Lewiya Kogoya.

ads

Pada tanggal 26 Mei 2024, TNI menempati dan menduduki lantai tiga rumah sakit umum daerah (RSUD) kabupaten Paniai. Penempatan tersebut dilaksanakan dengan “perintah atasan” untuk melindungi gangguan fasilitas kesehatan dari TPNPB.

Akibat pendudukan tersebut, tenaga kesehatan dan pasien yang sedang menjalani perobatan di RSUD Paniai terganggu dan ketakutan. Lebih dulu sebelum ada perintah, sebagian pasien memilih dipulangkan paksa terutama pasien berumur remaja dan dewasa berjenis kelamin laki-laki. Sementara sisanya pulang setelah ada pengosongan dan 4 pasien lainnya dipindahkan dengan memberikan rujukan paksa untuk dilanjutkan pengobatan di RSUD Deiyai.

Pada tanggal 26-29 Mei, RSUD Paniai ditutup. Kejadian tersebut ditanggapi masyarakat sipil Paniai dan mendesak, menuntut pemerintah kabupaten Paniai untuk melakukan upaya-upaya penyelesaian. Sehingga pemerintah berhasil mengajak satuan TNI mengosongkan RSUD Paniai.

Pasien yang dipindahkan, pada 29 Mei kembali dan melanjutkan pengobatan di RSUD Paniai.

Setelah beberapa hari kemudian, 11 Juni 2024 TPNPB OPM menembak mati seorang sopir, yang diduga sebagai Intel TNI, di depan balai kampung Papato, distrik Paniai Timur. Jenazah korban dan mobilnya dibakar.

Peralatan dan Satuan Tempur Operasi Militer

Operasi pengejaran terhadap TPNPB OPM belum dilakukan kalaupun ada insiden pembakaran fasilitas sekolah satu atap SD SMP dan kios warga.

Salah satu masyarakat menjelaskan saat diwawancarai, “Pagepota make miyoto ukayago ke masuk tigo kegai” (Aparat keamanan hanya sampai di Pagepota).

Setelah ada pelaporan salah seorang kepala kampung, seperti dialasankan komandan pasukan Satgas Operasi Damai Cartenz, melakukan operasi pengejaran terhadap TPNPB OPM.

Pada tanggal 14 Juni 2024, Satgas Operasi Damai Cartenz dan gabungan TNI-Polri dari Kodam XVII Cenderawasih dan Polda Papua melakukan operasi penyerbuan terhadap TPNPB OPM yang ada di distrik Bibida.

Menurut laporan komandan Satgas Operasi Damai Cartenz, pengejaran dilakukan terhadap kelompok Undius Kogoya, TPNPB OPM Kodap VIII Intan Jaya.

Satgas Operasi Damai Cartenz dan gabungan TNI-Polri menguasai distrik Bibida. Menurut warga sipil, pada saat operasi militer memasuki distrik Bibida melalui transportasi jalur darat menggunakan truk Dalmas dan lainnya, mobil Patroli, dan kendaraan roda empat lainnya yang dilengkapi dengan senjata api. Selain itu, melalui jalur udara menggunakan helikopter.

Baca Juga:  Nasionalisme Papua Tumbuh Subur di Tengah Penjajahan

Keterangan warga sipil, helikopter mendarat dan menjadikan halaman Gereja Katolik Kugapa dan halaman kantor distrik Bibida sebagai lapangan helikopter.

Akhirnya, Satgas Operasi Damai Cartenz dan gabungan TNI-Polri  benar-benar menguasai seluruh wilayah distrik Bibida.

Warga sipil, nama samaran Domin mengatakan, aparat keamanan yang beroperasi menduduki dan menempati fasilitas umum Puskesmas Bibida. Selain itu, menyebar ke beberapa kampung mulai dari kampung Piyaibo, Kugapa, Ugidimi, dan termasuk bagian hutan. Dari sumber yang sama menyatakan, operasi militer dilakukan tanpa ada pemberitahuan sebelumnya untuk mengajak masyarakat sipil mengamankan diri.

Masyarakat Sipil Mengungsi

Masyarakat sipil di Paniai masih belum pulih dari trauma masa lalu akibat operasi militer. Maka, tanggal 1 Mei 2024, setelah kontak senjata pertama, masyarakat sipil ketakutan.

Kemudian ditambah dengan ketika ada peristiwa pembakaran sekolah satu atap SD SMP dan kios warga, masyarakat sudah siap meninggalkan kampung halaman karena diduga akan ada penyerbuan dari aparat keamanan Indonesia.

Masyarakat sipil mengungsi beberapa gelombang setelah kontak senjata. Menurut Pastor Paroki Madi, Pater Herman Betu, “masyarakat mengungsi sepanjang peristiwa itu terjadi”.

Pada tanggal 21-22 Mei 2024, masyarakat sipil mengungsi gelombang pertama. Mereka dari beberapa kampung dari distrik Bibida.

Aiko sasaran dako, tika koda mengungsi, edoga nago koda make,” (pusat sasaran sudah lebih dulu mengungsi saat peristiwa pertama) kata seorang pengungsi juga termasuk guru sekolah di Bibida, pada saat wawancara di Enarotali, 14 Juni 2024.

Selain itu, berdampak juga pada masyarakat sipil dari distrik Paniai Timur yakni kampung Kopo, kampung Timida, kampung Papato. Masyarakat sipil yang mengungsi dari kampung yang termasuk distrik Paniai Timur, “mereka lebih dulu mengungsi,” kata Pastor Paroki saat diwawancarai di Madi, 18 Juni 2024.

Jumlahnya belum diketahui, tetapi sebagian kurang dari gelombang kedua.

Masyarakat sipil mengungsi gelombang kedua mulai dari tanggal 14 Juni 2024. Gelombang kedua dimulai ketika secara tiba-tiba satuan aparat keamanan dari distrik Bibida menyerang dan mengepung Bibida, markas atau pos yang ditempati TPNPB OPM. Masyarakat diperintahkan kosongkan dan mengungsi ke luar dari distrik Bibida. Sehingga masyarakat sipil berkumpul di Gereja Katolik Kugapa dan langsung keluar, selain itu mengungsi ke hutan.

Masyarakat sipil yang mengungsi keluar, jumlah lebih banyak menempati di gedung Gereja Katolik Paroki Madi, distrik Paniai Timur, kabupaten Paniai. Menurut keterangan Pastor Paroki setempat, jumlah pengungsi pada awal datang adalah 31 jiwa (tiga puluh satu). Mereka tiba 14 Juni 2024. Tetapi kemudian semakin bertambah, hanya jumlah belum dipastikan oleh karena banyak keluar masuk dari tempat penampungan dan yang lebih memilih tinggal di keluarga.

Oleh karena itu, jumlah pengungsi terutama yang menempati di gedung Gereja Katolik Madi belum dipastikan secara jelas. Pastor Paroki Madi memperkirakan jumlah pengungsi, “kami hitung itu ribuan orang”. Sedangkan jumlah pengungsi yang menempati di luar termasuk wilayah kabupaten Paniai belum terdata sejauh ini.

Ruang Gerak Sipil

Sejak kejadian kontak senjata, pembakaran bangunan sekolah dan kios warga, keadaan menjadi tegang dan ketakutan timbul dalam lingkungan masyarakat sipil. Situasi diperparah ketika pendudukan aparat keamanan di RSUD Paniai dalam tiga hari.

Baca Juga:  Papua Menuju Puncak Kemenangan Iman

“Kehadiran aparat menciptakan ketakutan yang luar biasa” kata Pastor Paroki saat diwawancarai.

Pemuda dan orang tua laki-laki terpaksa menghindari mendapatkan pelayanan kesehatan. Dimana akhirnya pelayanan kesehatan dihentikan dan diliburkan terpaksa.

Selain itu, pemutusan jembatan kecil berukuran lebar dua meter dan panjang 4-5 meter pada badan jalan sekitar lingkungan balai kampung Kopo. Juga pemalangan jalan yang terjadi sepanjang badan jalan tersebut. Itu semua menjadi penghambat dan mobilitas sosial terganggu. Angkutan transportasi umum tidak dapat diakses terutama jurusan Enarotali-Bibida.

Warga sipil menjelaskan ketika ada operasi pengejaran dilakukan aparat keamanan Indonesia yang melakukan wilayah distrik Bibida, telah terputus aktivitas yang biasanya dilakukan sebelumnya. Masyarakat tidak bisa berkunjung ke rumah, mengelola kebun di sekitar rumah dan termasuk di bagian hutan, melakukan ibadah di Gereja. Masyarakat sipil dibatasi komunikasi melalui handphone. Ada kecurigaan yang timbul baik dari pihak TPNPB OPM dan TNI Polri. Selain itu, jaringan komunikasi melalui handphone terputus.

Aktivitas lainnya seperti kegiatan pendidikan di SD YPPK dan SMP YPPK Timida terpaksa dipindahkan luar di Madi. Sedangkan SD YPPK Kugapa dan sekolah lain di Ugidimi tidak melaksanakan kegiatan proses belajar mengajar dalam bulan Mei yang terjadi konflik.

Menurut keterangan kepala sekolah SD YPPK Kugapa saat diwawancarai, “Tidak melakukan ulangan karena kontak senjata yang terjadi. Guru tidak hadir selama satu minggu, sementara sebagian anak mengungsi sejak 11 Juni 2024”.

Semua anak sekolah perempuan sekitar 30 orang mengungsi ke Nabire dibawa angkut sekitar 3 unit mobil.

“Mereka ingin sekolah, tetapi keadaan jadi sudah jalan”. Sambil menangis disampaikan kepala sekolah Kugapa saat diwawancarai.

“Siswi perempuan diungsikan karena mereka menjadi korban pertama dalam keadaan konflik termasuk situasi sekarang,” kata kepala sekolah.

Secara keseluruhan jumlah siswa SD YPPK Kugapa adalah 205 siswa, diantara 104 perempuan dan 100 anak dari SD kelas satu sampai kelas enam.

Korban Tembak dan Korban Lainnya

Masyarakat sipil telah kehilangan sumber penghidupan yang mandiri ketika terjadi sepanjang perpindahan paksa diterima sejak operasi penyerbuan. Masyarakat sipil yang mengungsi hanya membawa tas dan pakaian secukupnya. Mereka tinggalkan makanan, lupakan kebun, ternak, air bersih yang mengalir dari gunung, dan berbagai kebutuhan lainnya.

Salah satu warga melaporkan, “aniya kelinci idikima bokada to titogai” (saya punya kelinci semuanya mati). Warga tersebut alasankan karena tidak memberikan makanan sejak mengungsi dan tidak bisa lagi mendapatkan akses kembali ke rumah.

Saya juga mendapatkan keterangan, keluhan warga sipil lantaran kebun yang selama ini sebagai sumber pangan ekonomi keluarga telah dirusak oleh ternak babi. Babi yang terlantar diurus pemilik yang juga mengungsi dan ditinggalkan. Sehingga warga sipil ketiadaan stok pangan kebutuhan pribadi, termasuk rumah tangga.

Selain itu, dalam operasi penyerbuan yang dilakukan, Satgas Operasi Damai Cartenz dan gabungan TNI-Polri dari Kodam XVII Cenderawasih dan Polda Papua telah menembak mati dua orang asli Papua.

Baca Juga:  Operasi Militer: Kejahatan HAM dan Genosida di Papua

Kedua korban, menurut komandan Satgas Operasi Damai Cartenz menyebutkan sebagai bagian dari kelompok kriminal bersenjata. Korban tersebut adalah Danis Murib (DM) ditembak dan Pilemon Gobai (PG). Diduga korban ditembak sejak 14 Juni dan 15 Juni 2024, tetapi mayat korban ditemukan dan dikabarkan pada tanggal 17 Juni 2024 Waktu Papua.

Korban atas nama PG, menurut sejumlah informasi yang diterima melalui wawancara dengan sejumlah pihak, terbukti sebagai seorang warga sipil.

Kike kidani kii beumee naki wagipai” (dia ini bukan orang yang harus ditembak) kekesalan disampaikan seorang warga ketika diwawancarai di Madi, 18 Juni 2024.

Sementara anak dari korban menjelaskan “kiikaa kito beu” (dia bukan). Membantah alasan korban sebagai bagian dari TPNPB OPM.

Suara sama Pastor Paroki Madi klaim korban sebelumnya sebagai umatnya, yang tidak termasuk sebagai TPNPB OPM.

Misi Ekspansi Militer

Kalaupun tidak secara gamblang muncul ada upaya pembangunan pos militer di Bibida ketika muncul serangkaian operasi. Tetapi mulai tampak pasca operasi itu. Justru operasi tersebut menjadi peluang yang baik hadirnya pos militer. Karena sebelumnya ada kerumitan yang barangkali tidak dapat diadaptasikan. Sehingga beberapa tahun sebelumnya, pos Kodim yang rencana dibangun di Bibida belum terjadi dan mengambil gedung serbaguna Uwata Wogi Yogi Enarotali sebagai pos Kodim Bibida yang berlokasi di kota kabupaten Paniai.

Pada 29 Juni 2024, pihak TNI mengklaim mendapatkan hibah tanah seluas 100×100 M² dari masyarakat setempat.

Dandim Deiyai Letkol lnf l Wayan Dedi Suryanto, SE, seperti dilansir Odiyaiwuu.com, mengatakan, “Saya datang ke sini untuk mendengar dan berbicara, bermusyawarah tentang hibah tanah yang akan diberikan oleh masyarakat kepada kami pihak Kodim 1703/Deiyai.”

Penyerahan tanah tersebut kendatipun belum ada komentar kontra dalam forum tersebut, belakangan suara kontra semakin vokal di ruang media sosial WhatsApp sejumlah grup. Seperti di TiruuTV dan Relawan Paniai-Ani, ditulis komentar bernada protes. “Kepada yang terhormat Pj Bupati Kabupaten Paniai dan kepala distrik Bibida yang sepihak memberikan hibah tanah adat di distrik Bibida kepada TNI Kodim 1703 Deiyai tanpa diketahui oleh akar rumput masyarakat Bibida. Kami akar rumput masyarakat Weyandoga mengutuk keras pihak pemerintah kabupaten Paniai dan kaki tangannya“.

Selain itu, ada protes keras yang berargumen konflik kepemilikan tanah yang diserahkan.

Seperti yang disampaikan melalui media sosial WhatsApp Grup Relawan Paniai-ANI, beberapa pihak menentang penyerahan lokasi pembangunan Koramil. “Jangan seenaknya mau lepaskan lokasi ini, hak ulayat masih ada. Kalau tidak nanti ada masalah yang besar itu“.

Di grup WA yang sama, salah satu anggota grup mengomentari sejumlah pihak yang terlibat dalam penyerahan dan mengklaim sebagai pemilik ulayat lokasi tersebut.

Tanah dan lokasi 10 (sepuluh) hektar itu bukan orang Moni punya. Pihak TNI harus mencari tahu dulu ya. Kami semua punya hukum adat. Dan lokasi itu bukan mereka punya hak untuk menentukan ke siapa-siapa. Mereka hanya hak garapan (garap), bukan hak ulayat,” tulisnya. (*)

Artikel sebelumnyaGereja Main Tambang?
Artikel berikutnyaSatu Anggota Bawaslu Papua Tengah Dipecat DKPP