
SORONG, SUARAPAPUA.com — Tidak sedikit harapan dan kerinduan mengemuka terkait figur pemimpin kota Sorong, provinsi Papua Barat Daya, pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun 2024.
Seperti halnya masyarakat suku Kokoda di Km 8 dan jalan Victory yang merindukan sosok wali kota Sorong terpilih untuk periode berikut (2024-2029) harus suka melakukan pelayanan dan kunjungan ke masyarakat akar rumput.
Kunjungan sangat penting agar melihat secara langsung kehidupan warganya di setiap RT dan RW se-wilayah pemerintahan kota Sorong.
Sejumlah warga masyarakat suku Kokoda yang sedang berjualan batang kayu Mangrove di depan hotel Fave, Km 8 kota Sorong, mengungkapkan kerinduan yang nyaris sama.
Titus Sinopy (62), salah satu orang tua dari suku Kokoda yang pindah ke Sorong sejak tahun 2000, merasa perhatian para pimpinan kota Sorong kepada warga masyarakatnya selama ini kurang.
Karena itulah ia berharap, calon wali kota Sorong yang akan terpilih adalah figur pemimpin yang sering melakukan pelayanan dan kunjungan kepada masyarakat di RT/RW, kelurahan, dan distrik agar menyelami suka duka yang dihadapi masyarakat Papua di kota Sorong. Dalam bahasa Kokoda, “Eteke tegore, tarago kinano“, artinya layani baik-baik orang banyak.
“Calon wali kota Sorong setelah terpilih itu harus mampu melayani orang Papua. Mereka harus di depan masyarakat kecil. Harus turun ke masyarakat. Lihat masyarakat pu kehidupan secara langsung. Bina masyarakat. Jangan lihat masyarakat kecil dengan ekor mata. Itu stop. Itu bukan pemimpin. Lihat tidak ada, kasih kepada sesama,” tutur Titus saat ditemui Suara Papua, Sabtu (4/8/2024).
Secara jujur Titus menilai wali kota sebelumnya kurang memberikan perhatian kepada masyarakat suku Kokoda di kota Sorong. Pemimpin sebelumnya dinilai pilih suku dalam membangun dan memberdayakan masyarakat. Akibatnya, keadilan dan pemerataan dalam pembangunan sumber daya manusia di kota Sorong tidak seimbang.
Hal demikian bukan hanya dirasakan warga masyarakat suku Kokoda, tetapi juga suku lain, seperti dari Serui, Biak, dan lain-lain yang hidupnya di pinggiran kota dengan segala keterbatasan dan ketidakberdayaan. Bersyukur, mereka terus bekerja keras untuk tetap hidup di tengah kota Sorong.
“Kami masyarakat Kokoda sering dapat kata-kata kasar dari mantan wali kota. Dia pernah usir kami. Padahal kita ini juga ikut pilih dia untuk jadi wali kota Sorong. Tetapi dia balas begitu. Bantuan dan perhatian sangat kurang. Lambert Jitmau suka perhatikan dia punya orang saja. Maunya lihat orang-orang besar saja. Kami masyarakat kecil hidup susah di pinggiran kota, bantuan saja susah sekali. Ini kitong ada jalan cari uang untuk anak-anak sekolah. Memang susah, harus kerja keras. Belum lagi keluarga-keluarga dari Serui, Biak di pinggir pantai kota Sorong. Mereka juga hidup susah. Bantuan susah. Perhatian kurang. Kami di sini, kayu mangi-mangi ini sudah yang kitong jual dapat seribu dua ribu untuk bisa makan minum sehari-hari. Mau jalan kaki sekian kilo meter, tra naik taksi, tra pakai ojek juga. Kami tetap jalan. Mau dapat uang dari mana lagi,” tuturnya.
Titus mau banyak fakta tragis itu jangan terulang di periode berikut. Wali kota harus terbuka untuk semua suku. Bukan pilih keluarga atau sukunya saja.

Kekecewaan sama dilontarkan Mariam Tabakore, salah satu perempuan muda dari suku Kokoda yang juga mengaku sangat bosan dan lelah dengan para pemimpin di kota Sorong.
Kebanyakan pemimpin menurutnya suka umbar janji tanpa pembuktian kepada masyarakat.
Mama Mariam merasa pemimpin di kota Sorong hanya bicara tinggi tanpa kerja nyata bagi masyarakat kecil di pinggiran kota. Ia juga merasa tak ada perhatian Pemkot Sorong terhadap para perempuan dari suku Kokoda dalam pemberdayaan ekonomi dan lainnya.
Tanpa adanya perhatian pemerintah, mereka sendiri berusaha dalam segala keterbatasan.
Oleh karenanya, ia menyatakan sikap untuk menolak calon pemimpin yang berkarakter sama kembali berkuasa lima tahun berikut.
Tabakore tak mau sakit hati lagi. Sebab ia menilai wali kota selama 10 tahun hanya memperhatikan komunitas suku dari wilayahnya saja, juga kelompok berkepentingan lainnya.
“Bosan. Habis pencoblosan kasih tinggal masyarakat kecil. Dong hanya bicara-bicara saja. Dong itu tra liat kita masyarakat kecil di bawah. Dong orasi di panggung katanya anak-anak sekolah gratis. Tapi faktanya kitong kasih sekolah anak-anak setengah mati bayar SPP.”
Sembari mengupas kulit Mangrove, ia bertutur, “Rakyat kecil tidak banyak berharap, kecuali menghargai pemilik suara. Tapi tra pernah datang lihat suka duka mama-mama Kokoda. Kasih seribu dua ribu kah? Trada juga. Mantan wali kota hanya lihat dia punya orang saja. Biasa dong jalan dengan mobil kasih naik kaca gelap. Nanti datang dong pu susah atau waktu pemilihan lagi baru ke sini bicara tipu lagi sama masyarakat. Jangan duduk bagus baru lupa masyarakat kecil di bawah.”
Berapapun jumlahnya, para bakal calon yang akan bersaing di ajang Pilkada 2024 tentunya merupakan putra terbaik. Siapa pasangan kandidat terpilih tentu berpulang pada rakyat kota Sorong. Figur idaman rakyat yang akan memenangkan pesta demokrasi 27 November mendatang. []