JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Forum Pemilik Hak Sulung (FPHS) yang merupakan perwakilan dari masyarakat 3 (tiga) Kampung Tsingwarop (Tsinga, Waa/Banti dan Arwanop), sangat menyayangkan dan menolak rencana pengembangan dan perluasan wilayah baru untuk tambang ‘bawah tanah’ dan ‘terbuka’ unsur tembaga dan emas oleh PT. Freeport Indonesia.
Kuasa Hukum Masyarakat Tsingwarop, Haris Azhar mengatakan dalam beberapa minggu terakhir telah terjadi upaya penyusunan Analisi Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) di lokasi 3 kampung sebagaimana disebutkan diatas, yang diwakili oleh FPHS.
“Ketiga kampung adalah kampung asli yang dihuni secara turun temurun oleh Masyarakat Asli. Mereka hidup dengan ekosistem alam yang ada. Upaya perluasan wilayah tambang, untuk meningkatkan jumlah produksi justru memberikan tambahan catatan dan pertanyaan,” katanya kepada media ini, Sabtu (15/8/2020).
Sekertaris FPHS, Yohan Zonggonau meyakini saat ini tidak tepat dilakukan rencana perluasan tersebut. Sebab, kata dia, pihaknya akan mempertimbangkan lima hal pokok dengan mengingat pada;
- Sejauh ini tidak ada pemenuhan hak-hak dasar masyarakat adat di 3 kampung. Bahkan janji Perusahaan sejak awal, sejak 53 tahun lalu, seperti penyediaan rumah sakit dan sekolah tidak terealisasi secara patut, layak dan transparan.
- Terjadi berbagai peristiwa kekerasan selama masa beroperasinya perusahaan, dilokasi kampung terhadap warga 3 kampung. Bahkan hingga saat ini, sebagian besar warga kampung masih mengungsi akibat operasi keamanan.
- Masih belum jelas transisi dan alih pembagian saham dari Freeport Indonesia ke PT. Inalum. Sampai saat ini pembagian saham di tingkatan daerah belum tuntas.
- Baru baru ini terjadi longsor disalah satu kampung. Tidak ada resmi dari Pemerintah Pusat maupun daerah yang otentik berdasarkan temuan scientific menjelaskan penyebab bencana tersebut. Namun FPHS menyakini peristiwa tersebut akibat dari praktik bisnis tambang yang tidak sensitif pada aspek lingkungan hidup.
- Ditambah lagi masih ada sejumlah masalah-masalah lain, secara komulatif, bisa sisebut sebagai hutang besar perusahaan dan Pemerintah, untuk memperbaiki dan menyelesaikan hal-hal seperti hak para tenaga kerja yang di PHK sebanyak 8300 orang lebih, belum dibayarkannya Pajak Air akibat limbah Tailing, masalah pencemaran sungai yang menjadi tempat pembuangan limbah beracun seperti di sungai aghawagon, otomona ajkwa, penanganan tailing yang berdampak serius terhadap perairan.
Proses konsultasi yang saat ini dilakukan, dalam bentuk sosialisasi, tidak memiliki daya dukung dari masyarakat adat di 3 kampung tersebut.
“Kami khawatir dukung hanya diambil secara simbolis dan tidak memiliki otentifikasi yang berbasis pada struktur dan legitimasi adat,” pungkas Haris.
Sebagai Kuasa Hukum, dia menambahkan jika sosialisasi ini diteruskan tanpa menyelesaikan masalah-masalah diatas, hanya akan mengakibatkan konflik alias adu domba di antara masyarakat. Sangat disayangkan.
Pewarta: Yance Agapa
Editor: Arnold Belau