Oleh: Okto Kapollulumki Apintamon)*
Okto Kapolulumki Apintamon, mahasiswa STFT “Fajar Timur” dan anggota Aplim Apom Research Group (AARG)
Mitos dalam “adat yang keramat”, sebelum mengenal agama merupakan awal dari satu rangkaian mitos besar yang hidup dalam kalangan masyarakat awal (arkhais). Mitos merupakan dasar kehidupan sosial dan kebudayaan manusia religius (agama kesukuan). Mitos merupakan ungkapan cara beradanya di dunia ini (Hary Susanto, 1987: 14). Seperti di banyak daerah, di daerah masyarakat suku Ngalum Ok, Pegunungan Bintang, mitos memegang peranan yang sangat penting dan tidak dapat diabaikan begitu saja. Di dalamnya dapat ditemukan antara lain falsafah hidup dan norma-norma religius yang mutlak perlu diperhatikan dan dipertahankan dalam kehidupan ini.
Selain itu, mitos masyarakat suku Ngalum Ok juga memuat pandangan tentang Yep/Yepmum (keselamatan) dan Tala (kemalangan), yang dihubungkannya dengan religiositas kesukuan. Tentu mitos ini bukan hanya terdapat di suku Ngalum Ok saja, tetapi di seluruh tanah Papua memiliki mitos-mitos yang menghidupkan suku-suku tertentu yang telah terbagi dalam tujuh wilayah adat. Di setiap suku-suku yang terbagi itu pasti kita akan menemukan sesuatu yang baik, bernilai, bermakna. Juga pandangan tentang “keselamatan” dan “kemalangan” yang terintegrasi dalam paham religiositas kesukuan mereka.
Menurut Greerstz, agama secara antropologis merumuskan sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku untuk menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat yang meresapi dan yang tahan lama dalam diri manusia, dengan merumuskan konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas sehingga suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak khas dan realistis (bdk. Bernardus Renwarin, “Agama dan Masyarakat”, 2020: 26). Dalam paham refleksi teologis, penting kiranya melihat ‘adat yang keramat’ dan agama sebagai satu kesatuan yang saling mendukung untuk keselamatan umat manusia. Paham ‘keselamatan’ dan ‘kemalangan’ sebagai batu loncatan yang menghubungkan ‘adat yang keramat’ dan agam akan diintegrasikan pada pembahasan selanjutnya.
Dalam paham religiositas kesukuan masyarakat suku Ngalum Ok, konsep keselamatan (Yepmum) dan kemalangan (Tala), yang mereka yakini itu benar-benar nyata dan bukan cerita dongeng belaka. Konsep keselamatan (Yepmum)” dan kemalangan (Tala) sebagaimana masyarakat suku Ngalum yakini mau mengingatkan, bahwa pandangan tersebut terintegal dalam “adat yang keramat” dan dalam religiositas kesukuan. Hal ini memang fakta dan memotivasi bagi masyarakat suku Ngalum Ok pada khususnya dan kita masing-masing pada umumnya. Dua pandangan, yakni Yep/Yepmum (keselamatan) dan Tala (kemalangan) memiliki pemaknaan yang berbeda dan mesti dilihat dalam religiositas kesukuan masyarakat suku Ngalum Ok di Pegunungan Biantang.
Pertama, Yep/Yepmum (keselamatan) mengandung pengertian yang sangat kompleks. Dikatakan demikian, karena arti dari kata Yep/Yepmum tidak terikat pada subyek, obyek, waktu, tempat, dan peristiwa, tetapi Yep/Yepmum mengandung arti yang melampaui semuanya itu. Yep/Yepmum berarti makna akan pengalaman masyarakat suku Ngalum Ok yang dihubungkan dengan kebaikan dan keselamatan, situasi yang tidak membawa orang Ngalum Ok ke dalam suatu kemalangan, baik yang lahiriah maupun batiniah sifatnya.
Konsep Yep/Yepmum (keselamatan) dalam paham masyarakat suku Ngalum Ok juga dapat dihubungkan dengan tokoh Kaka Sipyepki. Kaka Sipyepki dipahami sebagai tokoh “Yesus Kristus”, sebagaimana yang dipahami dalam agama kristiani. Ia (Kaka Spyepki) merupakan sumber dari kebaikan dan keselamatan (Yep/Yepmum). Masyarakat suku Ngalum Ok meyakini bahwa tokoh Kaka Sipyepki hadir sebagai orang yang berwibawa, suka menolong, selalu berlaku wajar dalam kehidupan harian, hingga rela mengorbankan nyawanya demi kebahagiaan orang lain. Tokoh sentral yang dipaham seperti ini tentunya berlaku pula dalam suku-suku lain di Papua dan di belahan dunia ini.
Masyarakat suku Ngalum Ok juga meyakini bahwa selain Kaka Sipyepki ada pula yang diyakini dan dipercayai sebagai Pencipta (Tuhan Allah) dengan sebutan EE (Atangki). Sebagaimana saudara-saudara dari suku Hubula menyebut Allah dengan Ninopase juga suku Mee menyebut Ugatame. Dengan demikian masyarakat suku Ngalum Ok percaya bahwa relasi yang baik (Yep) antara masyarakat Ngalum dengan EE (Atangki) itu sebagai pencipta, penyelenggara dan penyelamat, dan sekaligus sebagai sumber rahmat.
Terciptanya suatu situasi kemakmuran, dimana semua warga masyarakat Ngalum Ok merasa diperlakukan secara adil dan merata. Keberanian untuk menyadari dan mengakui kelebihan dan kelemahan diri dan kesediaan untuk menerima masukan dari sesama. Pengorbanan tanpa pamrih. Hidup damai dan berdampingan dengan orang lain, dalam suatu tata sosial yang menghormati berbagai nilai adat serta terciptannya keserasian hidup antara ekosistem. Hidup sebagai suami atau istri yang baik bagi pasangannya dan sebagai sebagai bapak dan ibu yang penuh perhatian bagi anak-anak yang dilahirkan, serta sesama adalah kelimpahan rahmat dari EE (Atangki), adalah juga kelimpahan hidup.
Kedua, Tala (kemalangan), yang dimaksud dengan kemalangan (tala) adalah keadaan dimana masyarakat suku Ngalum Ok mengalami kehidupan yang tidak sesuai dengan keadaan sebelumnya. Atau kemalangan adalah keadaan sebagai berikut: terciptannya hubungan yang kurang harmonis antara masyarakat suku Ngalum Ok dengan EE (Atangki) sebagai yang berwujud tertinggi; terciptanya situasi kemelaratan dan ketidakadilan; menutup diri dari kehadiran sesama dan tidak mau mengakui diri sebagaimana adanya; mau berkorban bila ada imbalan, hidup bermusuhan dan tidak lagi mengindahkan nilai-nilai adat; tidak mampu untuk menjadi suami dan istri yang baik bagi pasangan dan bapak ibu bagi anak-anak yang dilahirkan; timbulnya kelaparan dan gangguan kesehatan pada manusia serta kemerosotan hasil ternak dan kebun (bdk. Edowardus Alwolka, 1996: 16-23).
Berdasarkan konsep keselamatan dan kemalangan dalam paham mitologi di atas, kiranya cukup jelas untuk menarik kesimpulan yang menyeluruh menurut pandangan masyarakat suku Ngalum Ok tentang kedua konsep tersebut. Konsep umum yang sifatnya menyeluruh itu, seperti yang sudah disinggung di atas, bahwa konsep tentang Yep/Yepmum (keselamatan) maupun Tala (malapetaka), selalu menunjuk pada suatu keadaan atau situasi. Bila masyarakat suku Ngalum Ok menyatakan “sesuatu” sebagai keselamatan, berarti hal itu menunjuk pada keadaan di mana masyarakat suku Ngalum Ok merasa dan mengalami keadaan yang baik, yang membahagiakan, yang menentramkan jiwa dan raga, itulah yang di sebut keadaan Yep/Yepmum. Sebaliknya, bila yang dihadapi dan yang dinyatakan adalah kemalangan, maka yang dimaksudkan adalah situasi dari suatu pengalaman yang dihadapi oleh masyarakat Ngalum Ok dan dirasakan sebagai keadaan yang merugikan, mengganggu, menyakitkan, dan lain-lain yang sifatnya mencelakakan, yang disebut dengan Tala.
Referensi
- Alwolka Edowardus. 1996. Yesus Limpaya? Berkristologi Dalam Konteks Budaya, dalam Suara Fajar Timur. Jayapura: STFT “Fajar Timur”.
- Renwarin Beri. 2020. “Agama dan Masyarakat”. Bahan Ajar Mahasiswa Semester VI, STFT Fajar Timur, Abepura Jayapura.
- Susanto Hary P.S. 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius.