Meluruskan Mitos Perbedaan #BlackLivesMatter dan #PapuanLivesMatter

0
2083

Oleh: Asili Weru)*
Penulis beretnis Melayu dan sejak lama bersimpati dengan Gerakan Pembebasan Papua. Kini bekerja sebagai buruh di industri makanan

Karina Utami Dewi, asisten profesor di jurusan Hubungan Internasional, Univesitas Islam Indonesia (UII), baru-baru saja menulis artikel berjudul “Membandingkan gerakan Black Lives Matter di Amerika dan Papuan Lives Matter di Indonesia: apa yang sama, apa yang beda?” yang ditayangkan The Conversation Indonesia. Artikel ini kemudian dipublikasi ulang oleh VICE Indonesia dengan judul berbeda.

Argumen dasar Karina, dapat disimpulkan ke dalam dua tesis utama. Pertama, gerakan #BlackLivesMatter yang pertama kali muncul di Amerika Serikat saat George Zimmerman tewas ditembak polisi pada musim panas 2013, dan kini semakin menguat dengan makin intensifnya kekerasan terhadap warga kulit hitam yang dipuncaki dengan pembunuhan George Flyod, jauh berbeda dengan gerakan #PapuanLivesMatter yang berporos pada isu kekerasan struktural Indonesia terhadap Orang Asli Papua. Kedua, Karina meyakini perbedaan tersebut mengakibatkan tidak mungkinnya ada asosiasi apapun. Sehingga tawaran solusi untuk kedua gerakan ini juga menjadi sama sekali berbeda.

Pendapat ini menguatkan cuitan kolektif IndoProgress di akun Twitter mereka pada 1 Juni lalu. Tulisan saya, berupaya untuk memberikan landasan yang lebih teoritis untuk membedah falsifikasi yang terjadi dari pendapat tersebut.

Baik Karina maupun IndoProgress sama-sama abai pada fakta bahwa rasialisme terhadap Orang Asli Papua (OAP) dan keturunan Afro-Amerika sama-sama dimungkinkan oleh eksisnya struktur kelas dan hirarki ras. Akar kedua gerakan tersebut berpangkal dari perbudakan, meski secara format, lokus dan rentang waktu, berada di rentang waktu yang berbeda.

ads

Sejarah hadirnya orang-orang Afro-Amerika di tanah Native American tidak bisa lepas dari sejarah aneksasi terhadap Afrika yang dipicu oleh keyakinan terhadap sistem ekonomi merkantilisme yang mulai populer di Eropa. Merkantilisme yang mulai sejak abad 16 adalah ibu kandung dari imperialisme, sebuah keyakinan politik yang membenarkan ekspansi teritori sebagai cara untuk mengakumulasi kekayaan.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Afrika, seperti juga Asia dan Amerika dianeksasi karena memiliki kekayaan sumber daya alam yang dapat mengongkosi relasi ekonomi eksploitatif yang ada di Eropa. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa benua-benua tersebut dihisap utuh untuk menghidupi benalu Eropa.

Alasan serupa juga yang melandasi alasan Soekarno di abad 20 saat menyerukan aneksasi terhadap Papua. Ali Moertopo secara jelas mengatakan bahwa “Jakarta tidak tertarik kepada orang Papua melainkan wilayahnya.” Perkataan itu disampaikan Ali Murtopo di hadapan anggota Dewan Musyarawah Papua (DMP) di Jayapura.

Satu-satunya perbedaan yang melandasi kedua aneksasi ini adalah fakta historis bahwa aneksasi Papua terjadi di saat komposisi geopolitik telah berubah. Indonesia yang baru merdeka 24 tahun sebelumnya karena memanfaatkan kekalahan Jepang dalam tanding melawan Sekutu, bukan kekuatan dominan. Indonesia tidak serupa Inggris saat membawa para budak Afrika ke tanah baru untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan baru yang dibuka di benua Amerika.

Secara politik, di masa imperialisme, dunia secara arogan dibagi oleh poros-poros kekuasaan Eropa seperti Inggris, Portugis, Spanyol, Prancis, atau Belanda. Orang Indonesia yang belajar sejarah tentu tidak akan lupa bagaimana Belanda sukses mengekspor sejumlah besar budak dari Jawa ke wilayah yang hari ini dikenal dengan nama Suriname.

Perbedaan periode aneksasi imperialistik tersebut bermuara pada perbedaan model perbudakan oleh Inggris terhadap budak Afrika dan Indonesia terhadap budak Papua-nya.

Budak-budak Afrika yang tiba di Afrika, tidak memiliki apapun. Sejarah dan budaya mereka hampir dapat dikatakan hilang. Secara antropologis, hal ini dimungkinkan karena tanah sebagai pondasi terhadap sejarah dan budaya dari budak-budak Afrika telah hilang saat mereka diculik ke benua yang lain. Selain warna kulit dan ingatan akan ke-Afrika-an mereka, tidak lagi ada yang tersisa.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Hal ini berbeda dengan kondisi Papua. Orang Asli Papua setelah ditipu melalui Pepera 1969, tetap memiliki sejarah dan budaya karena keterikatan masing-masing mereka dengan entitas kosmologi yang berporos pada tanah. Meski tanah-tanah adat Orang Asli Papua dirampas dan ditransformasikan oleh Indonesia untuk menjadi pertambangan, perkebunan skala besar, tanah-tanah jarahan militer dan infrastruktur lain, sebagai manusia mereka tetap terikat dengan kesadaran kultural dan historis akan wilayah adat yang diwariskan dari leluhur.

Perbedaan tersebut ikut memengaruhi manajemen perbudakan ala Indonesia. Tujuan utama untuk mengeksploitasi tanah Papua yang kaya, membuat target penghancuran adalah struktur kosmologi Orang Asli Papua yang begitu erat dengan tanah.

Pola ini hadir dalam tiga pondasi dasar.

Pertama, adalah dengan mengubah tradisi pangan Orang Asli Papua. Relasi panjang Orang Asli Papua dengan sagu kemudian digantikan dengan beras. Tradisi berburu kemudian digantikan dengan hadirnya model peternakan konsumtif di mana daging ayam, telur dan daging sapi menjadi pengganti. Tradisi pemukiman berpindah kemudian dihadapi dengan kebijakan pemukiman tetap yang mulai dibangun di Papua sejak pertengahan dekade 1970-an.

Kedua, adalah dengan melakukan proyek sterilisasi massal terhadap Orang Asli Papua melalui program Keluarga Berencana. Depopulasi ini kemudian disusul dengan gelombang transmigrasi etnis Melayu. Sukses proyek ini tampak dalam studi Jim Elmslie, akademisi University of Sydney, dalam The Asia-Pasific Journal, menyebut jumlah penduduk asli Papua makin menurun di wilayah perkotaan.

Ketiga, adalah merobohkan identitas Orang Asli Papua melalui beragam proyek diskriminatif dan rasialisme. Semisal, stigmatisasi bahwa Orang Asli Papua adalah pemabuk menafikan fakta bahwa proyek alkohol di Papua dimulai dengan pembukaan jalur pelayaran dari Bitung/Manado ke Papua di awal dekade 1980-an. Cap Tikus diedarkan secara luas dan bukan rahasia publik bahwa bisnis alkohol dikontrol oleh polisi dan tentara. Pendidikan juga berperan penting di sukses proyek ini dengan menasionalisasi cara berpikir Orang Asli Papua.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Tiga proyek tersebut bertujuan untuk merusak tatanan kosmologi Orang Asli Papua yang berkelindan secara multispesiesme berkaitan dengan tanah dan entitas kehidupan lain seperti tumbuhan dan hewan.

Itu mengapa, muara dari tuntutan #BlackLivesMatter dan #PapuanLivesMatter menjadi sangat berbeda. Meski tidak bisa diingkari bahwa kedua gerakan ini beririsan di titik di mana polisi (atau bahkan militer dalam kasus Papua) merupakan wajah langsung negara dalam praktek brutalisme-nya.

Jika gerakan #BlackLivesMatter menuntut reformasi substansial terhadap sistem hukum dan perangkat kekerasan negara seperti polisi, maka gerakan #PapuanLivesMatter justru bermuara pada tuntutan untuk merdeka. Hal ini disebabkan oleh fakta histo-politis bahwa keturunan budak dari Afrika yang kini berada di Amerika Serikat tidak memiliki wilayah, yang menjadi syarat untuk melakukan pemisahan wilayah. Jauh berbeda dengan Orang Asli Papua yang meski telah cacat secara kosmologis, tetap memiliki wilayah adat yang dapat diklaim dalam tuntutan tersebut.

Gerakan #BlackLivesMatter telah membangun relasi histo-antropologis dengan tanah-tanah Native American yang dirampas oleh Inggris dan kini diwariskan kepada keturunan kulit putihnya yang berkuasa di Amerika Serikat. Karena kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa kemerdekaan Amerika Serikat merupakan kulminasi dari pertengkaran borjuasi yang sama sekali tidak mengubah struktur relasi sosial, ekonomi dan politik di sana.

Sementara #PapuanLivesMatter merupakan aspirasi Spartakusian, atau aspirasi para budak. Tuntutan untuk merdeka tidak hanya sekadar pemisahan wilayah tapi juga menggaransikan rekomposisi struktur sosial, ekonomi dan politik. Persis seperti yang terjadi di Timor Lorosae saat memenangi referendum dari Indonesia di tahun 1998.

Itu mengapa, #PapuanLivesMatter tentu saja mesti bermuara pada tuntutan kemerdekaan. Tidak bisa tidak! (*)

Artikel sebelumnyaYunita Ohee Tetap Jualan Es Kelapa Muda dengan Patuhi Aturan Pemerintah
Artikel berikutnyaKonsep Keselamatan dan Kemalangan dalam Mitologi Suku Ngalum Ok (Sebuah Refleksi Teologis)