
KOTA SORONG, SUARAPAPUA — Koalisi lembaga Masyarakat Swadaya (LSM) se-wilayah Sorong Raya mendesak penegakan hukum terhadap perusahaan kayu PT. Multi Wijaya Wahana( PT. MWW) di kabupaten Tambrauw.
Menurut Plt. Direktur Papua Forest Watch (PFW), Charles Tawaru, PFW telah melakukan investigasi pada tahun 2018-2019 telah menemukan empat modus operasi kegiatan illegal pembalakan kayu di daerah Sorong Raya.
Tawaru membeberkan, pihaknya menemukan beberapa fakta kejanggalan yang bisa pidanakan PT. MWW. Antara lain:
- Pertama, perusahaan dengan izin sah, tetapi praktek illegal yang dilakukan oleh mafia atau cukong kayu.
- Kedua, perusahaan dengan izin sah, tapi melakukan penebangan di kawasan hutan lindung atau konservasi.
- Ketiga, perusahaan dengan izin sah, tetapi manipulasi dokumen produksi, dokumen pengangkutan, dan sarat suap-menyuap dalam proses pengajuan rencana kerja tahunan dan dokumen perizinan lainnya.
- Keempat, mafia atau cukong tidak memiliki izin tetapi menggerakkan masyarakat lokal dan aparat TNI atau Porli sebagai suplayer bahan Baku.
“Dokumen tersebut telah ditemukan juga di areal Konsensi PT. MWW di kabupaten Tambrauw. PT. MWW adalah salah satu perusahaan pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam ( IUPHHK-HA) yang disebut hak pengusaha hutan ( HPH),” ungkap direktur kepada media ini pada Jumat (13/11/2020) di Kota Sorong, Papua Barat.
Luasan HPH yang dikelola PT MWW di hutan konsesi kab. Tambrauw adalah seluas izin 107.740 ha. PT. MWW mendapat izin perpanjangan dari kementerian lingkungan hidup dan kehutanan pada tahun 2011 dengan SK: IUPHHK-HA nomor: 159/ Menhut-11/2011.
PT MWW Melakukan Praktik Ilegal
Menurut PFW, perusahaan PT. MWW melakukan praktek illegal berupa pembiaran kayu bulat hasil tebang di blok tebangan di TPN dan di tempat penampungan di TPK atau tidak ditarik ke TPK dan atau ke logpond.
Tawaru membeberkan, ratusan batang kayu membusuk di lokasi tebangan. Kondisi ini berlangsung semenjak tahun 2014 atau selama lima tahun dalam lima area rencana kerja tahunan (RKT) PT. MWW.
Jefrianus Duwit, salah satu staf di PFW menjelaskan, beradasarkan data GIS kementrian lingkungan hidup dan kehutanan RI, terdapat tumpang tindih izin dengan kawasan konservasi seluas 3.000 ha”, tutur Tawaru.
“Pembayaran kompensasi diduga tidak sesuai peraturan Gubernur propinsi Papua Barat nomor 5 tahun 2014. Warga melaporkan pembayaran hanya sejumlah RP. 50.000,00 per meter kayu Merbau, dan baru naik menjadi Rp 70.000,00 pada tahun 2018,” bebernya.
Padahal, kata dia, tahun 2004 telah terjadi tiga kali perubahan produk hukum daerah oleh pemprov PB. Hal tersebut berbeda dilaporkan pimpinan organisasi masyarakat adat setempat bahwa kesepakatan awal do tahun 2004,kompensasi sejumlah RP 50.000,00 per meter. Kompensasi menjadi 100.000,00 per meter mulai tahun 2015.
Sedangkan, lanjut Tawaru, peraturan Gubernur PB nomor 5 tahun 2014 tentang standar pemberian kompensasi bagi masyarakat adat atas kayu pada areal hak ulayat di propinsi PB, pada pasal 3 ayat 1 menyatakan standar biaya kompensasi untuk masyarakat adat atas hak adat yang wajib dibayarkan oleh IUPHH-HA, IP dan ILS berdasarkan laporan hasil penebangan ( LPH), dental ketentuan kayu jenis Merbau RP 100.000,00 per meter.
“Standar biaya kompensasi ini adalah harga minimum sedangkan harga pembayaran tergantung kesepakatan antara pemegang izin usaha dengan pemilik hak adat atau hak ulayat pasal 3 ayat 2 peraturan Gubernur PB nomor 5 tahun 2014.”
“Peraturan sebelumnya, keputusan Gubernur PB nomor 144 tahun 2007, jadi disimpulkan ada selisih yang menyebabkan kerugian masyarakat adat suku Abun dari tahun 2007 sampai Semarang,” papar Jefrianus.
Berdasarkan fakta hasil temuan dan laporan dari masyarakat adat pemilik hak ulayat maka LSM-se Sorong Raya minta dan mendesak:
- pemerintah dalam hal ini kementrian KLHK, pemerintah propinsi PB , kabupaten Tambrauw dan pihak GAKKUM KLHK mengusut dugaan pelanggaran yang terjadi sepanjang masa konsensi PT. Multi Wahana Wijaya di kabupaten Tambrauw.
- PT. MWW wajib membayar segera selisih kompensasi hak ulayat masyarakat adat suku Abun berdasarkan peraturan Gubernur PB nomor 5 tahun 2014.Pembayaran selisih kompensasi dilakukan sebelum pemuatan kayu yang sedang direncanakan. Pemerintah juga segera meninjau dan memperbarui peraturan Gubernur PB perihal kompensasi hak ulayat masyarakat adat atas kayu yang sedang direncanakan.”Pemerintah juga segera meninjau dan memperbarui peraturan Gubernur PB perihal kompensasi hak ulayat masyarakat adat atas kayu yang ditebang dalam kawasan hutan.
- Pemprov PB dan kabupaten Tambrauw segera melakukan stock Opname atas kayu-kayu Log yang telah ditebang dan tidak ditarik dari lokasi penebangan dalam areal Rencana Kerja Tahunan ( RKT) lima tahun. Diduga terdapat sejumlah ratusan batang kayu Merbau dan aneka jenis lainnya yang tertinggal di Blok tebangan dan tempat penampungan,lima tahun terakhir. Pemerintah juga menyelidiki laporan warga perihal puluhan batang kayu yang ditimbun dalam tanah.Untuk hal ini, perusahaan telah melakukan tindakan pidana lingkungan dan/ atau illegal logging.
- Semenjak perpanjangan izin pada tahun 211, PT. MWW telah dua kali mendapatkan sertifikasi ulang atas kinerja mereka.Audit Re- sertifikasi dilakukan oleh PT. Ayamaru Sertifikasi,pada tahun 2013 dan 2018. Perpanjangan ini menjadi indikasi keberhasilan PT.MWW terutama dapat disimak dari pengumuman hasil pelaksanaan audit Re- sertifikasi penilaian kinerja PHPL pada IUPHH-HA nomor:370/A-Sert/v11/2018. Namun dalam prakteknya,pihak PT.MWW telah melakukan pelanggaran sebagaimana disebutkan di atas.
Koalisi LSM Se-Sorong Raya terdiri dari:
1.Papua Forest watch
2.PBHKP Sorong
3. SKPKC-OSA
4.Belantara Papua
5. Aka Wuon Tambrauw
6.Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
7. Greenpeace Indonesia
8.JPIK
9.Pusaka Bentala Rakyat
10. Auriga Nusantara
Pewarta: Maria Baru
Editor: Arnold Belau