ArtikelJelang Satu Desember, Negara Tidak Bisa Terus Menerus Gelar Pasukan

Jelang Satu Desember, Negara Tidak Bisa Terus Menerus Gelar Pasukan

Oleh: Yan Christian Warinusi)*

*)Pada tanggal 18 November 1961, sesudah rapat luar biasa Dewan Rakyat Papua (Nieuw Guinea Raad), peraturan-peraturan mengenai bendera dan lagu kebangsaan sesuai dengan nasihatnya ditetapkan oleh Platteel (Gubernur Jenderal di tanah Papua saat itu) di dalam ordonansi-ordonansi”, tulis Profesor P.J.Drooglever dalam bukunya, Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri (Een Daad Van Vrije Keuze. De Papoea’s Van westelijk Nieuw-Guinea en de grenzen van get zelsbeschikkingsrecht) di halaman 575.

Lanjut Drooglever, menerima bendera negeri bukan berarti pengakuan kedaulatan. Hal mana masih tetap ada pada Belanda, yang harus juga diungkapkan di dalam pemberian tempat penampilan. Artinya bahwa kedaulatan negeri Papua pada tanggal 18 November 1961 saat ditetapkannya bendera dan lagu oleh Dewan Rakyat Papua, maupun saat bendera Bintang Fajar (Morning star) dan lagu Hai Tanah Ku Papua dinyanyikan pada 1 Desember 1961 di seluruh kota Hollandia (kini Jayapura) dan di semua ibu kota onderafdeling. Dimana mana hal itu terjadi di dalam suasana khidmat dan tenang yang dihadiri penguasa-penguasa setempat.

Baca Juga:  Klasis GKI Sentani, Klasis Tertua dan Klasis Pertama di Seluruh Wilayah Uzv-Papua

Berdasarkan catatan sejarah tersebut, saya (Yan Christian Warinusi) sebagai seorang advokat dan pembela HAM di tanah Papua, ingin mengetuk pintu hati Presiden Republik Indonesia Ir. H. Joko Widodo agar mampu menempatkan persoalan perayaan 1 Desember di tahun 2021 ini tidak sebagai sesuatu yang menakutkan, mencekam bahkan mengkhawatirkan. Apalagi sebagai hak yang bisa menganggu suasana keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas).

Sebab sejatinya, itu bukan merupakan makna hakiki dari 1 Desember 1961 dalam faktanya. 1 Desember 1961 (60 tahun lalu) belum merupakan Hari Proklamasi Kemerdekaan Papua. Hari itu sesungguhnya jika dilihat dari fakta yang ada baru merupakan suatu ruang dan kesempatan yang diberikan oleh Pemerintah Netherland Nieuw Guinea ketika itu kepada orang Papua melalui wakil-wakilnya di Dewan Rakyat Papua (Nieuw Guinea raad) untuk mengekspresikan jati diri (eksistensi) mereka di atas tanah airnya sendiri.

Baca Juga:  Polemik Pernyataan Gubernur Papua Tengan Tentang Tradisi Bakar Batu

Sedangkan kedaulatan negara masih tetap berada di tangan pemerintah Kerajaan Belanda yang ketika itu masih berkuasa di Tanah Papua. Makna ini menurut saya patut dipahami oleh semua orang secara benar dan jernih, agar tidak lagi dijadikan sebagai saat dimana orang Papua bisa dikriminalisasi secara melawan hukum.

Negara mesti memahami benar apa itu 1 Desember yang dapat dijadikan sebagai momentum membangun perdamaian di atas Negeri Papua. Tidak bisa terus menerus setiap menjelang 1 Desember dilakukan gelar pasukan atau terdengar bunyi sirene mobil patroli dengan mengangkut sejumlah personil TNI dan Polri memasuki asrama-asrama mahasiswa di Tanah Papua atau menyusuri halaman rumah penduduk dengan tujuan yang susah dijelaskan dan berujung hadirnya keresahan rakyat.

Dalam situasi negara demokrasi di Indonesia, seharusnya ada upaya membangun dialog lintas suku, lintas kelompok bahkan lintas negeri untuk mendudukkan persoalan 1 Desember pada proporsi secara adil dan menyejukkan. Sehingga tidak selalu menodai awal perayaan Bulan Suci Natal bagi Umat Kristen di seluruh Tanah Papua yang telah menjadi tradisi sejak dahulu.

Baca Juga:  Penting dan Tidaknya Program MBG, Apakah Bisa Terealisasi Secara Baik di Tanah Papua?

Makna pesan Advent (Masa Persiapan) memasuki Natal 2021 dari Kitab Yesaya 52:1-12 tentang TUHAN menyelamatkan Sion hendaknya bisa menjadi bahan perenungan bersama umat Kristiani, Gereja dan Masyarakat serta Pemerintah Indonesia dalam mendudukkan persoalan hakekat 1 Desember sebagai hari yang tidak selalu melahirkan korban-korban kekerasan dan pelanggaran HAM dalam arti luas di atas tanah yang telah diberkati saat kedua zendeling asal negeri Jerman, Carl Wullem Ottouw dan Johann Gottlob Geissler menginjakkan kaki mereka di Pasir Putih Pantai Pulau Mansinam, di bibir Teluk Doreh, Manokwari, Minggu 5 Februari 1855.)*

Terkini

Populer Minggu Ini:

AJI, IJTI dan PFI Tolak Program Rumah Bersubsidi Bagi Wartawan

0
“Subsidi rumah mestinya bukan berdasarkan profesi, tetapi untuk warga yang membutuhkan dengan kategori penghasilan, apapun profesinya,” kata Reno Esnir, ketua umum Pewarta Foto Indonesia (PFI), melalui siaran pers, Selasa (15/4/2025).

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.