JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Pengadilan Paniai 2014 semakin meragukan kredibilitas persidangan terdakwa kasus pelanggaran HAM Berat Paniai yang digelar di Pengadilan Negeri Kelas 1A Khusus Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (20/10/2022).
Sidang sudah digelar delapan kali sejak sidang perdana pada Rabu (21/9/2022) dengan agenda pembacaan dakwaan terhadap Terdakwa Mayor Inf (Purn) Isak Sattu. Terdakwa menjabat sebagai Perwira Penghubung (Pabung) Komandan Distrik Militer (Kodim) Paniai 1705 di Koramil 1705-02/Enarotali saat tragedi berdarah itu terjadi.
Terdakwa didakwa pasal berlapis dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara.
Di sidang kedelapan, tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) menghadirkan tiga saksi ahli. Yakni ahli balistik dari Pusat Laboratorium Forensik Mabes Polri, Kombes Maruli Simanjuntak, ahli forensik Robintan Sulaiman, dan ahli hukum dari Universitas Airlangga, Iman Prihandono.
Tercatat 30 orang saksi telah memberikan keterangan di sidang Pengadilan HAM Berat Paniai 2014.
Setelah memantau sidang kedelapan, Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai 2014 menyebutkan beberapa alasan keraguannya, sebagaimana dibeberkan dalam siaran pers pada Jumat (21/10/2022).
Pertama, persidangan ini memperlihatkan bahwa uji balistik atau uji proyektil senjata dalam kasus Paniai tidak menemukan hasil yang identik.
Kedua, bukti lain berupa saksi yang dihadirkan menyebut terdakwa tidak memiliki kewenangan melekat saat peristiwa terjadi.
Karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil meminta Kejaksaan Agung lebih serius menghadirkan bukti pelanggaran HAM Berat Paniai.
Usman Hamid, anggota Koalisi Masyarakat Sipil dari Amnesty International Indonesia, mengingatkan Kejaksaan Agung harus lebih serius menyidik dan menuntut perkara Paniai.
Menurut Usman mengutip pernyataan Koalisi, Kejaksaan Agung tidak boleh terpaku pada satu terdakwa saja, apalagi tanggung jawab pidananya atas kejadian pembunuhan tidak sah terhadap para remaja di Paniai masih jauh dari meyakinkan.
“Bahkan belum jelas siapa sesungguhnya para pelaku lapangan saat itu,” ujarnya dalam siaran pers.
Ditegaskan Koalisi, semua orang yang bertanggungjawab secara pidana harus dibawa ke pengadilan, tanpa kecuali.
“Bukan hanya komando efektif di lapangan, tetapi juga pembuat kebijakan yang menetapkan Operasi Aman Matoa V. Kebijakan inilah yang menyebabkan pengerahan aparat beserta kelengkapan senjata api, yang ketika itu diarahkan untuk menghadapi penduduk sipil.”
“Persidangan membuktikan bahwa tanggung jawab komando dalam kasus Paniai memang dapat diterapkan kepada terdakwa tunggal. Tetapi itu tetap tidak memenuhi rasa keadilan bagi korban dan para keluarganya,” tegas Koalisi.
Tioria Pretty Stephanie, salah satu perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Pengadilan Paniai 2014 dari KontraS, mengatakan, proses persidangan belum memperlihatkan upaya penuntasan Kasus Paniai. Terbukti dari saksi-saksi yang dihadirkan tim JPU untuk diperiksa, masih terdengar kesaksian yang berbeda-beda bahkan muncul upaya pengabuan fakta lapangan.
Penyampaian dakwaan yang kabur dari konteks peristiwa dan konsep pelanggaran HAM berat di hadapan terdakwa tunggal dan penasihat hukumnya pada sidang perdana, JPU menurut Koalisi tidak berupaya optimal membuktikan unsur sistematis atau meluas yang menjadi unsur penting dari pasal mengenai kejahatan kemanusiaan yang diatur dalam Pasal 9 Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Begitupun setelah mengikuti beberapa fakta di persidangan, semakin menunjukkan ketidakseriusan Kejaksaan Agung dalam menangani Kasus Paniai 2014.
Pada sidang lanjutan Kamis (20/10/2022), Imam Prihandono dalam keterangannya di ruang sidang menyatakan, tanggung jawab komando bisa diterapkan di kasus Paniai meski tanpa garis komando langsung, baik sepengetahuan ataupun tidak. Perwira tinggi tanpa garis komando langsung juga bisa dimintai tanggung jawab.
Saat ditanya sejauhmana negara dapat melakukan serangan terhadap warga, Iman berpendapat, itu bergantung kebijakan negara.
“Kalau kebijakan represif, aparat bawah akan represif juga,” kata Iman.
Lanjut Iman Prihandono, jika dilihat dari BAP asal peluru, maka Koramil bisa dimintai tanggungjawab komando.
“Yang paling dekat tentu komandan yang paling punya kewenangan mencegah personil untuk melakukan tembakan. Sampai atasannya, satu level di atas komandan di lapangan,” urainya.
Iman membenarkan Dandim di wilayah setempat bisa dimintai pertanggungjawaban. Jika Danramil tidak sedang bertugas, maka tanggung jawab komando bisa dilimpahkan ke Pabung (Perwira Penghubung) dan Dandim.
Sementara ketidakhadiran Danramil perlu diselidiki, apakah disebabkan tugas lain, yang artinya masih berada dalam tugas kemiliteran ataukah karena sedang mengambil cuti, yang artinya sedang dibebastugaskan.
Menurutnya, pertanggungjawaban ini berlaku hingga komandan dengan pangkat lebih tinggi.
“Yang bertanggungjawab atas semua pasukan itu harusnya Pangdam,” ujar Iman.
Terkait unsur sistematis dalam pelanggaran HAM ini, ahli membenarkan jika untuk konteks Papua, aparat penegak hukum tidak bisa melihat di satu lokasi, yakni Paniai, tetapi dari kejadian di Papua secara menyeluruh.
Terlebih, Papua dianggap sebagai daerah rawan. Selama ini yang dilakukan aparat keamanan dalam merespons aksi massa memiliki pola yang jelas.
Pertanyakan Temuan Selongsong Peluru
Mendengar pendapat Kombes Maruli Simanjuntak, Majelis Hakim mengaku bingung dengan pernyataan bahwa ada bukti senjata, tetapi tidak jelas sumber barang bukti tersebut.
“Saudara katakan ada barang bukti senjata, padahal dalam perkara ini tidak pernah, ini kita juga agak bingung ini,” kata Hakim Ketua Sutisna Sawati.
Hakim kemudian bertanya, apakah saksi ahli punya pengertian sendiri soal barang bukti atau memang ada temuan senjata di lokasi kejadian? Sebab hakim berpendapat, ada prosedur agar sesuatu dianggap barang bukti.
“Ya ada, dari mereka (pihak kepolisian) yang memberikan itu, karena kan sudah ada di berita acara juga kan,” jawab Maruli.
Majelis hakim juga menanyakan soal pengalaman saksi ahli memeriksa langsung di lokasi penembakan.
Hakim bertanya, “Apakah ahli menemukan selongsong peluru di halaman kantor Koramil Enarotali 1705 Paniai dan halaman Polsek Paniai Timur?.”
“Tidak ditemukan di Polsek sama Koramil,” ujarnya.
Kombes Maruli mengatakan, saat senjata ditembakkan, akan ada selongsong peluru di lokasi.
Hakim kemudian mengungkap fakta bahwa saksi-saksi sebelumnya menyatakan ada anggota Koramil yang menembakkan senjata dari lingkungan Koramil, begitu juga di Polsek Paniai Timur. Tetapi belakangan tidak ditemukan selongsong peluru di sana.
“Menurut ahli, artinya apa? Ini mohon maaf ya, apakah ada pembersihan atau termasuk ini obstruction of justice atau seperti apa. Ini dari segi keahlian saudara saja sebagai ahli,” kata Hakim.
Maruli menjawab, “Itu teorinya saya katakan tadi belajar balistik itu eksternal, internal, dan terminal balistik. Saya sepakat dengan yang mulia bahwasanya selongsong peluru itu kalau kita bicarakan tadi, maka selongsong peluru akan berada di sekitar penembak, kemudian anak peluru yang meluncur kemana-mana. Lalu kami kesana olah TKP, tidak mendapatkan (selongsong), baik di Polsek maupun Koramil.”
Lanjut Maruli, selongsong peluru yang ditemukan dalam kasus penembakan itu berada di lapangan Karel Gobay. Dan disebutkan, penembak itu berada di lapangan, bukan di halaman Koramil Enarotali atau halaman Polsek Paniai.
“Kami temukan tiga selongsong di lapangan Karel Gobai dan yang enam itu kami tidak tahu dari mana itu semua. Itu tentunya penyidik yang mengambil itu yang harusnya ditanya. Kalau kami itu yang kami lihat dan kami dapat itu yang kami utarakan sesuai dengan pertanyaan yang mulia-mulia ini (hakim),” tutur Maruli.
Diketahui, dalam sidang-sidang sebelumnya dengan agenda pemeriksaan saksi, baik dari pihak kepolisian maupun TNI, menyebutkan ada penembakan dari halaman kantor Koramil Enarotali dan juga halaman Polsek untuk menghalau massa.
Majelis Hakim lanjut bertanya kepada Maruli soal pernyatannya mendapatkan selongsong peluru dari pihak penyidik Polri. Padahal, kasus penembakan warga di lapangan Karel Gobay pada tanggal 8 Desember 2014 itu kasusnya tidak berkembang sampai ke tahap penyidikan.
“Yang dimaksud penyidik itu siapa? Karena setahu kita belum ada itu penyidikan dalam perkara ini, kok ada penyidik. Atau mungkin itu anggapan saudara saja, atau memang waktu itu ada dilakukan penyidikan,” kata hakim.
“Jadi, karena kejadian seperti yang saya utarakan, biasanya tim forensik atau balistik itu tidak mungkin ujuk-ujuk apalagi saat itu jaraknya jauh, kita susulan yang datang, jadi mereka sudah lakukan olah TKP,” kata Maruli.
“Kita sudah dengarkan itu orang Polres tidak pernah dilakukan (penyidikan), cuma memang ada LP (laporan polisi), tetapi tidak pernah dilakukan penyidikan, katanya. Termasuk saudara katakakan itu barang bukti-barang bukti,” hakim menimpali.
REDAKSI