JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Papuan Voices menggelar penayangan perdana film dokumenter berjudul “Wisisi Nit Meke” (Wisisi milik kita) di kota Jayapura, Sabtu (13/5/2023). Film berdurasi pendek itu didiskusikan dari asrama GKI Pdt. Silas Liborang, Padang Bulan, usai nonton bareng.
Pemutaran dan diskusi film dokumenter dihadiri mahasiswa, pelajar, pengurus organisasi, komunitas, seniman, dan banyak pihak lagi. Dengan narasumber diantaranya Markus Rumbino (komposer musik), Harun Rumbarar (film maker Papua), dan Henrico Yori Kondologit (antropolog Uncen).
Film dokumenter pendek berdurasi berdurasi 36 menit itu hasil kolaborasi Papuan Voices, Project Multatuli, dan Yes No Wave Music.
Kepada suarapapua.com usai nonton film dokumenter dan diskusi, Harun Rumbarar menjelaskan, Perkumpulan Papuan Voices memberikan ruang yang luas bagi masyarakat adat Papua sebagai subjek dalam kisahnya. Hal ini dimaksudkan supaya cerita itu sungguh-sungguh berasal dan menjadi perjuangan bersama masyarakat Papua tanpa adanya intervensi dari siapapun.
“Film ini kita produksi dengan thema Wisisi Nit Meke. Bukan hanya Papuans Voices saja. Dalam proses pembuatannya ada keterlibatan satu tim besar, baik produksi, sutradara, kameramen, editor dan lain-lain,” kata Harun.

Film dokumenter pendek yang baru ditayangkan itu menurutnya merekam dinamika penting dalam sendi kehidupan di masa kini.
“Kita mencoba merekam kondisi, tatatan atau perubahan kehidupan oleh masyarakat itu sendiri. Kita mencoba untuk membuat film ini, merekam apa yang sedang terjadi hari ini. Meskipun waktu kita rilis banyak yang komplain karena menurut mereka ada pergeseran budaya,” kata Rumbarar.
Harun menambahkan, film dokumenter pendek itu diproduksi pada tahun 2022 dan ditayangkan perdana tahun 2023 di kota Jayapura. Selanjutnya akan ditayangkan di beberapa kota di dalam dan luar Papua.
“Kegiatan ini kerja bareng antara kami [Papuan Voices] dengan Projek Multatuli dan Yes No Wave Music. Kami juga berterima kasih kepada pengurus asrama Liborang yang sudah izinkan kami untuk adakan kegiatan ini. Setelah nonton, kita diskusikan dan ada banyak masukan yang kami terima,” jelas Harun.
Markus Rumbino mengatakan, Wisisi Nit Meke yang dilakukan Asep Nayak menjadi fenomena baru di Papua dan khalayak luas. Menurutnya, Wisisi yang ada dalam konteks ritual dapat berkolaborasi dengan musik modern.
“Musik yang diproduksi ade Asep Nayak muncul dalam panggung hiburan sekarang. Dan ini satu pencapaian yang luar bisa menurut saya dan menarik untuk dikaji dari sisi akademis ataupun dari aspek lainnya,” kata Rumbino.
Rumbino akui sejak lama musik menjadi pengiring kehidupan orang Papua, yang dalam tingkatan tertentu musik dapat berubah menjadi sebuah senjata. Setelah beberapa dekade berlalu, Wisisi hadir mengisi absennya ‘musik orang Papua’ yang otentik.
Kata Rumbino, musik terlihat antara teknologi modern dengan ritual orang-orang di wilayah pegunungan tengah Papua.
“Nikolas, Asep dan pemuda lainnya mengubah Wisisi dan Pesek menjadi sebuah sajian musik elektronik popular dengan goyang aster yang mengguncang. Mode distribusi mandiri melalui piranti Bluetooth hingga ke kanal Youtube, menjadikan wisisi kini sebagai musik kontemporer yang tidak hanya digandrungi di Papua, tetapi juga oleh orang-orang di belahan bumi lain,” tuturnya.
Di zaman dulu grup Mambesak dengan musiknya dapat diterima oleh orang Papua, kini Wisisi hadir dengan musiknya yang dapat dinikmati oleh orang Papua dan siapapun.
“Sekarang Wisisi ini hadir mengakar dengan tradisi dan budayanya,” imbuh Rumbino. []