Namantus Gwijangge, anggota DPR provinsi Papua. (Dok. Suara Papua)
adv
loading...

WAMENA, SUARAPAPUA.com — Sudah tujuh tahun lamanya sejak awal Desember 2018, masyarakat di kabupaten Nduga hidup dalam ketidaknyamanan dan bayang-bayang konflik berkepanjangan. Perlu upaya nyata untuk rekonsiliasi dan penyembuhan luka batin agar warga bangkit dari keterpurukan dan depresi.

Namantus Gwijangge, anggota DPR Papua, mengatakan, situasi tersebut mesti diseriusi dengan keterlibatan semua pihak agar masyarakat di kabupaten Nduga tidak dibiarkan hidup dalam situasi tidak aman dan terganggu psikologisnya akibat konflik hingga kini.

Semenjak konflik bersenjata mengakibatkan terjadinya gelombang pengungsian besar-besaran keluar dari Ndugama. Situasi memaksa harus tinggalkan rumah, kebun dan ternak, hingga kini belum bisa pulang ke kampung halaman, masih bertahan di pengungsian dalam ketidakjelasan.

Selain konflik bersenjata antara TPNPB OPM dan TNI Polri, Namantus akui belakangan muncul perang saudara akibat perebutan suara pada Pemilu 2024 dari distrik Geselema.

“Secara umum seluruh masyarakat Nduga sudah dalam kondisi depresi akut. Dari tahun ke tahun mereka mengalami konflik berkepanjangan ditambah dengan perang saudara. Kasihan, mereka sesungguhnya tidak berada di bawah kata damai sejahtera. Tidak pernah mereka menemukan apa arti kata damai, karena hampir hari bunyi senjata, orang baku bunuh. Selama beberapa hari kemarin kebetulan dalam rangka penyelesaian perang saudara di Keneyam, saya sudah amati semua itu,” tuturnya saat diwawancarai, Kamis (13/6/2024).

ads

Anggota Komisi V DPRP itu mengungkapkan, kondisi psikologi warga di Nduga tertekan, mudah tersinggung, terprovokasi, dan lain-lain adalah dampak dari konflik berkepanjangan.

“Saya lihat masyarakat sudah berada di bawah depresi akut. Bukan per individu, situasi hampir sana dialami hampir kebanyakan orang. Mudah tersinggung, cepat marah, gampang terprovokasi, terhasut, kelihatan mental terganggu, itu semua dampaknya dari konflik. Tidak bisa ini dibiarkan. Harus cepat ditangani,” ujarnya.

Baca Juga:  WALHI Papua Kecam Tindakan Represif Polisi Terhadap Mahasiswa Papua di Bali

Namantus mengaku saksikan situasi berbeda itu selama berkunjung ke Keneyam. Di sana ia melihat saudara-saudarinya ada dalam tekanan batin dan tidak sehat, bahkan tidak dapat menganalisis sesuatu hal dengan baik.

“Mereka baku curiga, takut, dan benci. Itu semua bagian dari orang yang sudah terganggu mentalnya, karena mereka sudah dibawah tekanan depresi yang tinggi akibat konflik berkepanjangan dan tidak ada kata damai di sana. Memang, Nduga dalam bayang-bayang konflik yang berkepanjangan dan masyarakat tertekan, itu perlu ditangani secara serius,” tutur Namantus.

Lantaran masyarakat sangat rentan dengan depresi, ia minta hari ini butuh sentuhan-sentuhan sederhana yang bisa membuat mereka kembali bangkit dan menemukan kehidupan mereka yang semula, apalagi orang-orang tidak berani berinteraksi akibat kampung dan distrik mereka ludes dilahap api, terpaksa tinggalkan segala harta benda mereka di sana.

“Rumah, kebun, ternak, dusun, dan semuanya mereka tinggalkan. Mereka lari selamatkan diri dan tiba di kabupaten lain, di ibu kota Keneyam, tetap hidup dibawah tekanan, kelaparan, sakit, trauma mendalam membuat mereka semakin lama semakin depresi, sehingga seakan-akan orang perang dan baku bunuh itu hal yang biasa. Saya sangat sedih dengan hal ini,” kata Gwijangge.

Solusi atasi situasi tersebut menurutnya perlu ada dan mesti dilakukan semua pihak secara serius.

Baca Juga:  Bappilu Partai Demokrat Provinsi PP Resmi Gelar Pleno Penutupan Pendaftaran Cagub dan Cabup

“Perlu ada intervensi dan perhatian serius dari pemerintah. Memang pemerintah daerah juga ada dibawah tekanan, belum mampu mengatasi seluruh masalah. Mungkin perlu ada bantuan kemanusiaan dan seluruh pihak terutama LSM, lembaga non pemerintah, buka mata lihat kehidupan masyarakat di Ndugama,”

Lanjut Namantus, “masyarakat Nduga perlu diberi perhatian serius, karena pemerintah daerah sendiri tidak mampu dari sisi pembiayaan, kemampuan, ketersediaan fasilitas, dan infrastruktur. Tercatat 97.000 jiwa yang ada di Nduga, banyak yang mengungsi ke kabupaten tetangga, menjadi pengungsi internal, itu semua perlu ditangani. Harus ada dalam satu strategi khusus untuk menanganinya.”

Dengan penanganan serius hasil kolaborasi berbagai pihak, Gwijangge yakin lama-kelamaan masyarakat akan terbangun kepercayaan diri dengan tanpa beban mental untuk meninggalkan kehidupan depresi yang berkepanjangan.

“Tentu kita semua menghendaki seperti begitu. Orang Ndugama harus bangkit dari situasi buruk ini. Masa depan suku ini ke depan ada di tangan mereka sendiri. Kita lain harus bantu bebaskan mereka dari situasi terburuk itu. Masa depan suku ini akan menjadi taruhan karena suku-suku yang kecil sangat tertutup, selama ini orang tidak tahu kalau orang Nduga ada di mana-mana,” bebernya.

Gwijangge mencatat dalam konteks di daerah memang sedikit tertutup di internal, sehingga perlu ada sentuhan semua pihak agar semua bisa berjalan, karena kemarin ada pendekatan situasional yang telah dilakukan oleh penjabat bupati Nduga Elai Giban usai dilantik.

Setelah pelantikan, imbuh Namantus, penjabat bupati cepat tanggap situasi Nduga dengan tidak melakukan pesta syukuran menghabiskan anggaran besar.

Baca Juga:  Alpius Yigibalom Fokus Usai Serah Terima Jabatan Pj Bupati Lanny Jaya

“Dananya lebih baik dipakai untuk kebutuhan masyarakat. Anggaran dipakai dalam pembersihan perkantoran yang cukup lama dibiarkan dan rumput tinggi. Pak Elai Giban memperlihatkan kepada seluruh masyarakat bahwa pemerintah menjaga tanah dan warga. Ini justru bagus, karena semua masyarakat bahkan ikut terlibat untuk melakukan pembersihan agar tampak lebih bagus. Saya berpesan, hal seperti itu karena bagus dan turun menyentuh nurani masyarakat, perlu dilanjutkan lagi, dari pada bikin kegiatan seremonial yang mewah dan heboh, tetapi sentuhan dampaknya bagi mereka itu sangat sedikit karena tidak membangun masyarakat kita karena rasa memiliki pun tidak ada karena mereka dianggap hanya objek semata. Berbagai sentuhan dan pendekatan komunikatif yang dilakukan oleh pak penjabat bupati Nduga perlu dipertahankan dan semoga terus dilanjutkan oleh bupati definitif hasil Pilkada 2024 nanti,” tutur Namantus.

Legislator Papua asal Nduga itu menyebut ini hal penting yang perlu dilakukan dengan pendekatan tersendiri untuk berusaha memulihkan beban psikologis selama tujuh tahun.

“Dan itu perlu adanya manajemen konflik secara baik, manajemen penyelesaian konflik itu dilakukan secara baik, perlu ada institusi-institusi yang terlibat seperti lembaga gereja, organisasi kemanusiaan, pemerintah, dan kaum intelektual harus terlibat bersama. Pemerintah melakukan satu tindakan yang sederhana, tetapi lebih baik lagi dengan melakukan rekonsiliasi total, itu sangat diperlukan untuk mengatasi situasi yang dialami oleh masyarakat Nduga secara umum,” harapnya. []

Artikel sebelumnyaAparat Kepolisian Diminta Segera Tangani Konflik Antara Masyarakat Asolokobal dan Wouma
Artikel berikutnyaMRP Rusak Ketika Perjuangkan Pemekaran DOB