Universitas Queen Mary London Menjadi Tuan Rumah Pengadilan Kekerasan Negara di Papua

Mengungkap pencatutan keuntungan korporasi dan pelanggaran hak asasi manusia.

0
112
Mama Agustina Ondou (24) saat digotong dari pinggir kali Dogabu ke Puskesmas Yokatapa, Sugapa, Intan Jaya. Setelah mendapat tembakan di pinggang dan pelipis mata kanan sempat lari ke kampungnya di Jalae. Anggota TNI, anggota DPRD, kepala Dinas Pariwisata, pihak gereja bersama sejumlah pemuda dan ASN gotong dan evakuasi korban ke Yokatapa untuk mendapat perawatan medis pada 9 November 2021. (Male for Suara Papua)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Pusat Kajian Kejahatan dan Keadilan Iklim di Queen Mary University of London akan menjadi tuan rumah Pengadilan Rakyat Permanen untuk Kekerasan Negara dan Lingkungan di Papua Barat yang akan dilaksanakan pada 27-29 Juni 2024.

Sebuah panel yang terdiri dari delapan hakim Tribunal akan mendengarkan bukti-bukti dari berbagai LSM internasional dan organisasi masyarakat sipil setempat, serta kesaksian dari individu-individu yang telah menyaksikan pelanggaran hak asasi manusia dan perusakan lingkungan.

Papua Barat merupakan rumah bagi hutan tropis terbesar ketiga di dunia, yang saat ini terancam oleh pembangunan industri. Karena signifikansi globalnya, penindasan negara yang sedang berlangsung dan degradasi lingkungan di wilayah tersebut memiliki dampak yang luas.

Baca Juga:  Yance Rumbino, Seniman dan Pencipta Lagu “Tanah Papua” Berpulang

Tribunal ini bertujuan untuk menarik perhatian dunia pada kebutuhan untuk melindungi hutan hujan yang sangat penting ini dengan mengeksplorasi hubungan yang mendalam antara demokrasi, kekerasan negara, dan kelestarian lingkungan di Papua Barat.

Profesor David Whyte, Direktur Pusat Kajian Kejahatan dan Keadilan Iklim, mengatakan,”Ada banyak alasan yang baik untuk menyelenggarakan acara penting ini di London. Perusahaan-perusahaan yang berbasis di London merupakan penerima manfaat utama dari gas, pertambangan dan industri pertanian di Papua Barat, dan cadangan emas serta logam lainnya yang sangat besar diperdagangkan di London.”

ads
Flayer kegiatan PPT. (ist)

“Pengadilan ini akan mengungkap hubungan erat antara kekerasan negara, degradasi lingkungan, dan pengambilan keuntungan oleh perusahaan-perusahaan transnasional dan lembaga-lembaga lain.”

Baca Juga:  10 Nakes Mimika Ikuti Konferensi Internasional Neurovaskular

Penuntutan akan dipimpin oleh pengacara yang terdaftar di Belanda, Fadjar Schouten Korwa, yang mana ia menyatakan, “Dengan keputusan dari Pengadilan Rakyat Permanen yang terkemuka tentang kejahatan terhadap masyarakat adat Papua Barat dan kegagalan negara Indonesia untuk melindungi mereka dari pelanggaran hak asasi manusia dan impunitas, kami berharap akan ada masa depan tanpa ketidakadilan bagi Papua Barat.”

Salah satu pengacara di Papua, Gustaf Kawer mengatakan, “Aneksasi Papua Barat ke dalam Negara Indonesia merupakan bagian dari sejarah panjang perusakan lingkungan dan kekerasan negara terhadap rakyat Papua dan sumber daya alamnya,” kata Gustaf.

“Harapan kami adalah setelah persidangan ini memeriksa bukti-bukti dan mendengarkan pernyataan para saksi dan ahli, masyarakat internasional dan PBB akan merespon situasi di Papua Barat dan mengevaluasi negara Indonesia sehingga dapat dilakukan pemulihan terhadap sumber daya alam dan rakyat Papua.”

Baca Juga:  BREAKING NEWS: 10 Kantor OPD di Kabupaten Sorong Dipalang

Pengadilan Rakyat Permanen untuk Kekerasan Negara dan Lingkungan di Papua Barat akan memulai serangkaian kegiatan dan diskusi sepanjang tahun 2024 dan 2025, dengan melibatkan Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan organisasi masyarakat sipil internasional.

Berikut adalah panel hakim yang terdiri dari, Teresa Almeida Cravo (Portugal) Donna Andrews (Afrika Selatan) Daniel Feierstein (Argentina) Marina Forti (Italia) Larry Lohmann (Inggris) Nello Rossi (Italia) dan Solomon Yeo (Kepulauan Solomon).

Dakwaan yang akan dipertimbangkan oleh Pengadilan dapat dilihat di sini Permanent Peoples’. 

Artikel sebelumnyaPendiri WikilLeaks, Julian Assange Bebas Setelah Mengaku Bersalah Atas Tuduhan Spionase di Amerika Serikat
Artikel berikutnyaKorban Bencana Alam Distrik Soloikma dan Silimo Akui Terima Bantuan Dari Mahasiswa Sorong