Gereja Main Tambang?

0
176
Tambang PT Freeport Indonesia di Tembagapura, kabupaten Mimika, provinsi Papua Tengah. (Ist)
adv
loading...

Oleh: Dr. Agus Sumule

*) Akademisi Universitas Papua

Terkait rencana pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) untuk membagi-bagi izin pertambangan bagi lembaga-lembaga keagamaan, berikut ini pandangan saya tentang apa yang akan terjadi di Tanah Papua.

Pertama, Jakarta akan mengeluarkan izin kepada lembaga keagamaan. Lembaga keagamaan akan menggandeng investor (karena bisnis pertambangan itu mahalnya luar biasa) untuk ke Papua. Izin itu akan digunakan sebagai surat sakti untuk meminta agar para pihak di Papua mendukung rencana itu.

Kedua, lembaga keagamaan dari Jakarta akan mencari mitranya di Papua. Hampir pasti sang mitra itu adalah lembaga yang satu afiliasi, atau individu-individu sesama agama. Untuk merekatkan kerjasama, pasti akan diberikan DP (down payment, forschoot, uang muka) kepada lembaga atau individu yang ada di Papua.

ads

Ketiga, pada titik inilah mulai kekacauan terjadi. Investor dan lembaga keagamaan dari Jakarta akan merecoki lembaga keagamaan dan atau individu lokal di Papua setiap hari. Mereka akan menanyakan kemajuan pemrosesan izin, dan lain-lain. Termasuk izin dari masyarakat adat. Individu itu, yang hampir pasti adalah pendeta, akan disibukkan dengan urusan bicara dengan masyarakat adat, minta pengamanan pihak kepolisian, dan segala macam tetek bengek yang akan membuat kita sendiri bingung: untuk apa, untuk siapa, dan apa manfaatnya izin pertambangan ini diberikan kepada lembaga-lembaga keagamaan?

Baca Juga:  Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Tanah Papua Harus OAP, Aspirasi Lama

Keempat, bukan tidak mungkin akan terjadi pertengkaran antargereja di Papua, terutama ketika lokasi pertambangan itu diklaim sebagai wilayah gereja tertentu. Hubungan sesama hamba Tuhan yang selama ini harmonis, bisa-bisa rusak hanya gara-gara wilayah pertambangan dan tambang. Denominasi tertentu akan mengklaim bahwa wilayah tambang itu masuk dalam wilayah pelayanannya, sehingga ia lebih berhak. Belum lagi gereja akan mungkin baku marah dengan masyarakat hukum adat yang jadi jemaatnya. Gereja yang pegang izin (atau membantu lembaga keagamaan yang dapat izin dari pemerintah), sementara masyarakat hukum adatlah yang secara de-facto dan de-jure memiliki sumber daya pertambangan itu (lihat UU Otsus Papua dan PP 16 Tahun 2021).

Baca Juga:  MRP Rusak Ketika Perjuangkan Pemekaran DOB

Kelima, mungkin pada saat itu kita semua akan teringat pada kata-kata Petrus kepada pengemis timpang di pintu Bait Allah di Yerusalem, “… Tetapi Petrus berkata: ”Emas dan perak [batu bara, nikel, hutan, tembaga, perikanan laut] tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu: Demi nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu, berjalanlah!”

Saya kira kita belum cukup banyak dan belum cukup sungguh-sungguh menggunakan nama Yesus, menggunakan kuasa Yesus, dan menerapkan prinsip-prinsip Yesus untuk membuat rakyat yang lumpuh ekonomi, lumpuh sosial, lumpuh politik, di sekitar kita mampu berjalan maju dengan penuh sukacita.

***

Kekuatan keuangan gereja adalah pada anggota-anggota jemaat. Ketika sebanyak mungkin anggota jemaat kita di Tanah Papua benar-benar menjadi murid Yesus yang sejati (Matius 16:24-25), maka dana bukanlah masalah.

Baca Juga:  Siklus Kekerasan, Jangan Terjadi di Paniai!

Gereja tidak lagi perlu membawa proposal ke pemerintah, atau berebutan meminta izin pertambangan. Ini rumus sederhananya:

Kalau ada 200.000 murid Kristus yang sejati di Papua, dan masing-masing memberi Rp1 juta setiap bulan, atau Rp12 juta setahun, maka akan terkumpul dana sebesar Rp2,4 triliun setahun.

Gereja-gereja Papua akan mengalami Ulangan 15:6 “Apabila Tuhan, Allahmu, memberkati engkau, seperti yang dijanjikan-Nya kepadamu, maka engkau akan memberi pinjaman kepada banyak bangsa, tetapi engkau sendiri tidak akan meminta pinjaman; engkau akan menguasai banyak bangsa, tetapi mereka tidak akan menguasai engkau.”

Perhatikan frasa “… menguasai engkau” di bagian akhir ayat ini. Hanya ketika gereja tidak ‘dikuasai’ oleh siapa pun, barulah gereja bisa memainkan peran kenabiannya dengan keberanian dan kesungguh-sungguhan untuk menegur kelakuan, memperbaiki yang rusak, dan meluruskan yang bengkok. (*)

Artikel sebelumnyaTimkes RSUD Raja Ampat Temukan Gizi Buruk di Misool
Artikel berikutnyaOperasi Bibida dan Misi Ekspansi Militer