Ilustrasi transmigrasi. (Ist)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Program transmigrasi ke Tanah Papua yang diwacanakan pemerintah Indonesia di era kepemimpinan presiden Prabowo Subianto menuai beragam tanggapan. Sebagian besar menyatakan tak setuju dengan program usang itu.

Melianus Asso, ketua Pemuda Katolik komisariat daerah (Komda) Papua, menyatakan, pemerintah harus mengkaji ulang sejumlah program nasional, salah satunya rencana transmigrasi dan Program Strategis Nasional (PSN) di Merauke, Papua Selatan.

Dibeberkan dalam keterangan tertulis yang diterima Suara Papua, Rabu (30/10/2024), proyek-proyek tersebut sama sekali tak memberi dampak positif bagi masyarakat Indonesia, termasuk orang asli Papua.

“Papua bukan tanah kosong. Ini tanah bertuan dengan masyarakat yang memiliki hak atas tanah, lingkungan dan budayanya. Kami Pemuda Katolik se-Tanah Papua tidak butuh transmigrasi. Yang dibutuhkan orang Papua adalah pendidikan, kesehatan, akses air bersih, listrik, dan fasilitas dasar lainnya,” ujar Asso.

Pemuda Katolik menilai sejumlah proyek nasional itu mestinya mempertimbangkan hak dan aspirasi masyarakat lokal yang memiliki kedekatan spiritual dengan alam. Sebab, tanah bagi orang asli Papua memiliki nilai sakral yang tak mudah dialih tangan pihak lain.

ads
Baca Juga:  Vanuatu Kembali Angkat Situasi HAM Papua di PBB

Tino Mote, ketua Pemuda Katolik komisariat daerah Papua Tengah periode 2024-2027, senada.

Menurutnya, transmigrasi sangat tidak dibutuhkan orang Papua. Termasuk proyek pangan raksasa di Merauke.

Pemuda Katolik sebagai organisasi resmi beranggotakan anggota dari berbagai latar belakang mempunyai kewajiban pokok melestarikan tanah dan lingkungan sebagaimana ajaran Laudato si’ dari Paus Fransiskus.

“Pemerintah harus ketahui bahwa Papua bukan tanah kosong. Transmigrasi dan proyek raksasa di Merauke tidak selaras dengan kebutuhan masyarakat lokal. Itu justru menimbulkan keresahan di tengah masyarakat mengingat dampak besar nantinya,” tutur Tino.

Sikap tolak transmigrasi dan PSN didukung Vincentius Paulinus Baru, koordinator Pemuda Katolik regio Papua yang juga anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat Daya.

Baca Juga:  Ini Tiga Pasal Kontroversial UU TNI yang Disahkan DPR, Termasuk Separatis Bersenjata

Vincentius berpendapat, banyak kebijakan negara menyengsarakan rakyat akar rumput. Kebijakan baru menghidupkan program transmigrasi dan PSN masuk dalam kategori tidak pro-rakyat Indonesia di Tanah Papua.

Oleh karenanya, Pemuda Katolik se-Tanah Papua minta pemerintah provinsi, MRP dan DPRP enam provinsi harus berkoordinasi untuk mengatasi isu-isu krusial itu.

Stefanus Asat Gusma, ketua umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Pemuda Katolik periode 2024-2027, menegaskan perlunya dialog antara pemerintah dan masyarakat. Hal itu sangat penting agar menghindari dampak ikutan dari setiap kebijakan negara.

Ia berharap perlu dikaji ulang program PSN maupun transmigrasi di Papua. Untuk itu, aspirasi dari PK se-Tanah Papua akan disampaikan ke presiden, wakil presiden, kementerian terkait, termasuk Kapolri dan Panglima TNI.

“Petinggi Indonesai di Jakarta harus tahu aspirasi rakyat. Kami mau ada langkah penting untuk memastikan aspirasi masyarakat Papua didengar dan direspons oleh pemerintah. Semoga segera ada ruang dialog yang komprehensif,” ujar Stefanus.

Baca Juga:  Benarkah Program MBG Proyeknya Purnawirawan TNI?

Sebelumnya, dalam sidang paripurna ke-7 DPD RI yang berlangsung Senin (28/10/2024) sore, senator Paul Finsen Mayor, anggota DPD RI Dapil Papua Barat Daya atas nama masyarakat adat Papua dengan tegas menyatakan menolak program transmigrasi ke Papua yang digagas presiden Prabowo Subianto.

Konon, setiap kepala keluarga (KK) transmigran yang akan dikirim ke Papua disediakan rumah dan dua hekatare tanah gratis oleh pemerintah pusat.

“Kami masyarakat adat Papua butuh dokter dan guru, bukan transmigrasi. Tolong ini disampaikan kepada presiden Prabowo,” ujar Paul.

Data resmi Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan provinsi Papua per 31 Maret 2000 menyebutkan penempatan transmigrasi di wilayah Papua sejak pra-Pelita sampai akhir Pelita VII atau sebelum reformasi tahun 2000, tercatat ada 217 lokasi transmigrasi, dengan jumlah 78.650 kepala keluarga, dan anggota keluarga 306.447 orang transmigran. []

Artikel sebelumnyaTransmigrasi Ancaman Bagi Non OAP dan OAP di Tanah Papua
Artikel berikutnyaSRP Bilang Transmigrasi Mesin Genosida di Tanah Papua