Sejumlah warga masyarakat sipil dari distrik Serambakon dan Oksop, kabupaten Pegunungan Bintang, Papua Pegunungan, berkumpul di salah satu tempat pengungsian, 4 Desember 2024. (Dok. TPNPB)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Masa persiapan Natal bagi masyarakat sipil Papua di kabupaten Pegunungan Bintang dan Tambrauw terusik dengan konflik bersenjata antara Tentara Nasional Indonesia – Kepolisian Negara Republik Indonesia (TNI-Polri) dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Masyarakat di beberapa kampung merasa terancam hingga terpaksa mengungsi ke tempat yang dirasa aman agar tidak menjadi tumbal di tengah konflik bersenjata tersebut.

Emanuel Gobay, direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, mencatat fakta tragis ini terus terulang jelang bulan suci bagi umat Kristiani di Tanah Papua. Suasana Natal tidak dirasakan sebagian masyarakat sipil Papua, seperti halnya dialami warga Ndugama yang harus mengungsi pasca konflik bersenjata awal Desember 2018 lalu.

“Gelombang pengungsian kembali dialami masyarakat sipil Papua di kabupaten Tambraw dan terakhir di Pegunungan Bintang. Jumlah warga yang mengungsi mencapai ratusan orang. Saat ini masa persiapan untuk rayakan Natal, tetapi situasi membuat mereka harus mengungsi ke hutan. Sungguh sayang disayangkan,” ujarnya di kota Jayapura, Sabtu (14/12/2024).

Data jumlah pengungsi dari tujuh kampung di distrik Oksop, kabupaten Pegunungan Bintang sebagaimana diwartakan sejumlah media lokal dan nasional, kutip Emanuel, mencapai 3.318 orang. Sedangkan di kampung Banfot distrik Fef dan kampung Bamuswaiman distrik Bamusbama, kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya, sebanyak 106 orang warga sipil.

“Dari data itu kalau digabungkan, selama bulan Desember ini semuanya ada 3.424 orang masyarakat sipil Papua yang mengungsi ke hutan akibat konflik bersenjata antara TNI-Polri versus TPNPB.”

ads
Sejumlah warga sipil kabupaten Tambrauw yang mengungsi pasca kontak tembak di distrik Bamusbama, 27 November 2024 lalu. (Supplied for Suara Papua)

Gobay menyatakan, negara diwajibkan memberikan perlindungan kepada 3.424 warga sipil Papua itu. Sebab hal tersebut diatur dalam Undang-undang nomor 59 tahun 1958 tentang ikut serta negara Republik Indonesia dalam seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949.

“Dalam tahun 1949 di Jenewa telah diadakan konferensi diplomatik oleh beberapa negara yang menghasilkan penetapan 4 buah perjanjian (konvensi) yaitu 1). tentang perbaikan nasib anggota-anggota yang luka dan sakit dalam Angkatan perang di darat; 2). tentang perbaikan nasib anggota-anggota yang luka, sakit dan korban-korban karam dari angkatan perang di laut; 3). tentang perlakuan tawanan perang; 4). tentang perlindungan rakyat sipil dalam masa perang.”

Pemerintah Indonesia dengan perantaraan Menteri Luar Negeri melalui suratnya tanggal 5 Februari 1951 nomor 10341 telah menyatakan kesediaan negara Republik Indonesia menjadi peserta konvensi tersebut.

Juga mengingat dasar pembentukan Undang-undang nomor 1 tahun 2018 tentang Kepalangmerahan adalah UU nomor 59 tahun 1958. Maka, kata direktur LBH Papua, sewajibnya Palang Merah Indonesia (PMI) melakukan tugasnya untuk pemenuhan seluruh kebutuhan pokok mereka mulai dari makan, tempat tinggal, pengobatan, pendidikan atau hak Ekosob dan terlebih khusus mereka dapat melangsungkan ibadah Natal tahun 2024 sebagai bentuk pemenuhan hak merayakan hari raya keagamaan yang menjadi hak para pengungsi di Tanah Papua, termasuk di Tambrauw dan Pegunungan Bintang.

Baca Juga:  Inilah Pernyataan Damai Konflik Pilkada Puncak Jaya

“Itu merupakan bentuk impementasi ketentuan penyelenggaraan Kepalangmerahan yang harus dilakukan pada masa konflik bersenjata sebagaimana diatur pada Pasal 3 huruf b Undang-undang nomor 1 tahun 2018.”

Tiadanya layanan Kepalangmerahaan bagi 3.424 warga sipil Papua di dua kabupaten ini, kata Gobay, bukti nyata PMI tidak menjalankan tugasnya.

“Bisa dibayangkan bagaimana tragisnya kondisi mereka di lokasi pengungsian, soal kebutuhan pokok baik makan, minum, tempat tinggal, pengobatan, dan pendidikan bagi anak usia sekolah yang tidak terpenuhi. Bahkan yang dikhawatirkan adalah mereka tidak dapat melangsungkan ibadah perayaan Natal 25 Desember 2024 sebagai bentuk pemenuhan hak merayakan hari raya keagamaan,” tuturnya.

Sejumlah warga masyarakat sipil dari distrik Oksop, kabupaten Pegunungan Bintang, Papua Pegunungan, berkumpul di salah satu tempat pengungsian, 4 Desember 2024. (Dok. GIDI)

Diantara ribuan orang pengungsi itu, mayoritas didominasi anak-anak, perempuan, lanjut usia (Lansia) dan yang sedang sakit. Maka menurut Emanuel, sikap PMI tidak menjalankan tugasnya sesuai perintah Pasal 3 huruf b Undang-undang nomor 1 tahun 2018, khususnya kepada anak-anak yang menjadi pengungsi akibat konflik bersenjata jelas melanggar beberapa ketentuan.

Pertama, perlindungan khusus bagi anak yang menjadi pengungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum humaniter. Ini diatur juga dalam Pasal 61 Undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.

Kedua, perlindungan khusus bagi anak korban kerusuhan, korban bencana, dan anak dalam situasi konflik bersenjata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf b, c, dan d, dilaksanakan melalui pemenuhan kebutuhan dasar yang terdiri atas pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan perlakuan. Diatur pula dalam Pasal 62 angka (1) Undang-undang nomor 35 tahun 2014.

Dengan dasar itu, kata Emanuel, demi memenuhi kebutuhan dasar bagi anak sebagai pengungsi dan anak dalam situasi konflik bersenjata di kabupaten Tambrauw dan Pegunungan Bintang, Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia diharapkan agar melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak dan memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap Undang-undang sebagaimana diatur pada Pasal 76 huruf a dan huruf g Undang-undang nomor 35 tahun 2014.

Baca Juga:  Gubernur Safanpo Diminta Implementasikan Janji Pembangunan Pasar Mama-Mama Papua

“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah sebagaimana diatur pada Pasal 28i ayat (4) UUD 1945 dan Pasal 8 Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, maka pemerintah pusat, pemerintah provinsi Papua Barat Daya, pemerintah provinsi Papua Pegunungan, pemerintah kabupaten Pegunungan Bintang dan pemerintah kabupaten Tambrauw segera memenuhi seluruh kebutuhan pokok mereka mulai dari makan, tempat tinggal, pengobatan, pendidikan bagi anak usia sekolah. Termasuk juga memenuhi terlaksanannya ibadah perayaan Natal 25 Desember 2024 sebagai bentuk pemenuhan hak merayakan hari raya keagamaan dari 3.424 orang masyarakat sipil Papua yang menjadi pengungsi akibat konflik bersenjata,” tandasnya.

Dengan warga sipil Papua di Tambrauw dan Pegunungan Bintang yang mengungsi ditambah dengan kasus pengungsian akibat konflik bersenjata yang terjadi Januari 2024 di kabupaten Intan Jaya sebanyak 500 orang, pada April 2024 di kabupaten Paniai sebanyak 2.500 orang, dan pada Juni 2024 di kabupaten Puncak sebanyak 3.000 orang, maka total pengungsi pada tahun 2024 berjumlah 9.424 orang di lima kabupaten dan tiga provinsi di Tanah Papua.

“Jumlah ini belum ditambahkan dengan warga sipil Papua yang mengungsi akibat konflik bersenjata antara TNI-Polri dan TPNPB dari tahun 2018 sampai dengan tahun 2023 lalu.”

Sejumlah warga sipil kabupaten Tambrauw yang mengungsi pasca kontak tembak di distrik Bamusbama, 27 November 2024 lalu. (Supplied for Suara Papua)

Ketika negara melalui pemerintah terus saja membiarkan warga sipil pengungsi akibat konflik bersenjata itu, Emanuel simpulkan sebagai satu dugaan pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal tersebut melanggar Pasal 9 huruf d Undang-undang nomor 20 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, “Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.”

Oleh karenanya, LBH Papua mendesak Komisi Nasional HAM Republik Indonesia melakukan pemantauan atas kebijakan pertahanan keamanan yang diwujudkan dengan cara pendropan pasukan yang berujung konflik bersenjata hingga masyarakat sipil Papua mengungsi. Hal itu sesuai perintah Pasal 89 ayat (3) Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.

Sesuai aturan yang berlaku, kebijakan pertahanan keamanan di seluruh Tanah Papua merupakan kewenangan pemerintah pusat sebagaimana Pasal 4 Undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua. Kewenangan itu diwujudkan dengan cara pendropan pasukan ke Tanah Papua yang dilakukan tanpa mengikuti mekanisme pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI sesuai Pasal 17, 18, 19 dan 20 Undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI yang terus melahirkan konflik bersenjata antara TNI-Polri versus TPNPB.

Baca Juga:  Enam Bulan Korban Banjir Menanti Janji Pemkab Sorong

Dampak dari itu, jumlah warga sipil mengungsi terus meningkat dari tahun ke tahun yang tidak mampu dipenuhi kebutuhan pokoknya akibat PMI tidak menjalankan tugasnya, seingga kondisi pengungsi sangat memprihatinkan.

“Kondisi itu semestinya disikapi oleh pemerintah Republik Indonesia dengan cara mencari alternatif penyelesaian persoalan politik antara Indonesia dengan Papua yang bermartabat agar dapat menghindari terjadi pelanggaran HAM akibat pendekatan keamanan. Terkait alternatif penyelesaian persoalan politik, sesungguhnya pemerintah telah memiliki pengalaman penyelesaian persoalan politik dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yakni menggunakan pendekatan perundingan, maupun seperti ditempuh pemerintah dengan Fretelin di Timor Timur mengunakan pendekatan hak menentukan nasib sendiri atau referendum.”

Lanjut Gobay, dalam rangka mencari alternatif penyelesaian persoalan politik antara Indonesia dengan Papua, selain pendekatan keamanan di Papua, seharusnya dapat memilih salah satu alterntif: apakah akan menggunakan metode penyelesaiannya seperti di Aceh atau Timor Timur dalam menyelesaikan persoalan politik Papua demi menghentikan konflik bersenjata berkepanjangan.

Sejumlah warga masyarakat sipil dari distrik Serambakon dan Oksop, kabupaten Pegunungan Bintang, Papua Pegunungan, berada di salah satu tempat pengungsian, 4 Desember 2024. (Dok. TPNPB)

Dengan demikian, LBH Papua menyarankan presiden Republik Indonesia segera mencari alternatif penyelesaian persoalan politik Indonesia dengan Papua untuk menghentikan konflik bersenjata yang mengakibatkan masyarakat sipil Papua mengungsi dari atas wilayah adatnya.

Ketua DRP RI dan DPD RI juga diminta segera evaluasi kebijakan pertahanan keamanan yang diwujudkan dengan cara pendropan pasukan militer ke Tanah Papua yang melahirkan konflik bersenjata tiada berujung, bahkan jumlah pengungsi internal terus meningkat.

Kepada Komnas HAM RI segera memantau kebijakan pertahanan keamanan itu. Begitupun ketua Komnas Perlindungan Anak Indonesia segera memastikan kondisi pengungsi anak dan anak dalam konflik bersenjata di Tanah Papua. Sedangkan, PMI segera memenuhi hak pengungsi khususnya anak dan anak-anak di daerah konflik bersenjata.

“Para gubernur se-Tanah Papua segera membentuk satuan tugas daerah penanganan pengungsi akibat konflik bersenjata. Dan, para bupati termasuk kabupaten Tambrauw dan Pegunungan Bintang wajib memenuhi hak pengungsi akibat konflik bersenjata.” []

Artikel sebelumnyaSikat Gresik United, Persipura Panaskan Persaingan Papan Atas Grup 3
Artikel berikutnyaYulianus Abugau Ditembak Mati TNI di Intan Jaya, TPNPB Desak Indonesia Umumkan Status Papua