Pernyataan Wamendagri Melanggar Asas HAM, Rekomendasi Komnas HAM RI Wajib Ditindaklanjuti

0
8

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Semua Proyek Strategis Nasional (PSN) di seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke dilakukan dengan melanggar ketentuan Hak Asasi Manusia (HAM), sebagaimana terungkap dalam laporan Komnas HAM RI berjudul “Dampak Proyek Strategis Nasional Terhadap Hak Asasi Manusia” yang menyebut PSN berdampak pada pelanggaran HAM.

Terdapat empat jenis pelanggaran HAM menurut Komnas HAM RI:

  1. Hak sipil dan politik (hak berekspresi, hak atas informasi, hak atas rasa aman, hak atas berpartisipasi, hak hidup dan hak atas keadilan).
  2. Hak ekonomi, sosial dan budaya (hak atas tanah, hak kepemilikan, hak atas pekerjaan dan hak atas tempat tinggal).
  3. Hak kolektif (hak atas lingkungan hidup, hak atas perdamaian dan hak atas pembangunan).
  4. Hak kelompok rentan (hak anak, perempuan, masyarakat adat, lansia dan lain-lain).

Atas dasar itu, Komnas HAM RI telah memberikan 7 rekomendasi kepada pemerintah:

  1. Meninjau ulang model pembangunan dalam bentuk PSN karena sangat eksklusif, menimbulkan diskriminasi, penyalahgunaan wewenang, dan pelanggaran HAM yang terus berulang.
  2. Melakukan evaluasi secara mendalam dan partisipatif atas PSN yang telah berjalan, dan melakukan penundaan atas PSN yang akan berjalan. Hal ini dilakukan sampai terdapat laporan yang komprehensif atas dampak-dampak PSN sebagai bahan bagi pemerintah dalam merumuskan langkah dan kebijakan tindak lanjut.
  3. Mengevaluasi proses penentuan dan penetapan daftar program dan PSN, utamanya untuk memberikan kesempatan kepada para pihak, utamanya pihak terdampak, terlibat dalam memberikan masukan atas PSN.
  4. Membangun mekanisme akuntabilitas dan pemulihan atas pelanggaran HAM sebagai dampak pembangunan PSN.
  5. Menarik mobilisasi pasukan Polri dan TNI yang berlebihan dalam pengamanan PSN dan merumuskan ulang keterlibatan Polri dan TNI dalam PSN secara proporsional dan diperlukan, serta dibekali dengan pemahaman HAM yang baik dan memadai, bahwa Polri dan TNI bertugas melayani dan melindungi rakyat.
  6. Memastikan bahwa semua proyek pemerintah termasuk PSN, baik dilakukan melalui APBN murni ataupun kerja sama dengan swasta atau masyarakat, adalah untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat, bukan untuk kepentingan kelompok atau kerabat. Hal ini sebagaimana pidato pertama Presiden RI Prabowo Subianto di dalam sidang MPR pada 20 Oktober 2024.
  7. Memastikan pendekatan berbasis HAM dalam proses penyusunan agenda dan perencanaan pembangunan nasional, dalam hal ini Program Asta Cita Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka.

Masyarakat adat suku Malind, Maklew, Khimaima dan Yei serta marga Gebze, Moiwend, Balagaize, Basikbasik, dan Kwipalo telah menolak pengembangan PSN menggunakan pendekatan militer di Merauke. Bahkan telah diadukan ke Komnas HAM RI, 23 Oktober 2024 dan ditindaklanjuti dengan terbit surat nomor 976/PM.00/SPK.01/XI/2024 perihal permintaan keterangan mengenai PSN untuk pengembangan pangan dan energi di kabupaten Merauke yang ditujukan ke Menteri Agraria dan Tata Ruang RI, Menteri Kehutanan RI, Penjabat Gubernur Papua Selatan dan Penjabat Bupati Merauke tertanggal 18 November 2024 yang jawabannya hanya diketahui oleh Komnas HAM RI.

Baca Juga:  Pengakuan Pemerintah Daerah Terhadap Wilayah Adat di Papua Masih Rendah

Empat bentuk pelanggaran HAM yang menjadi temuan Komnas HAM RI itu jugalah yang terjadi dalam PSN di Merauke.

ads

Menanggapi pengaduan masyarakat adat Papua di bagian Selatan itu, Prabianto Mukti Wibowo, komisioner Komnas HAM bidang mediasi mengatakan, masyarakat mempersoalkan PSN food estate di Merauke yang sedang digarap Presiden Prabowo Subianto mencederai HAM warga adat setempat khususnya tanah adatnya terutama masalah pengakuan wilayah adat yang digunakan untuk proyek PSN.

Prabianto menilai aduan tersebut dikarenakan proses perencanaan pembangunan PSN yang dari awal tidak melibatkan masyarakat setempat dan tidak menerapkan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC).

“Artinya tidak menerapkan FPIC, (seharusnya) ada informasi awal dan prosedur awal dari masyarakat setempat. Tentu ini (PSN) sangat berpotensi untuk terjadinya pelanggaran hak-hak masyarakat adat setempat”.

Maka, Komnas HAM RI mendesak pemerintah menunda PSN di Merauke. Untuk menindaklanjuti hal itu, Prabianto mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan penerapan prinsip FPIC dalam rencana maupun pelaksanaan pembangunan, termasuk PSN.

Lahan yang masih menjadi sengketa diingatkan tidak digarap sebelum semua sengketa selesai dengan damai.

“Kami meminta pemerintah pusat dan daerah untuk menunda pelaksanaan PSN yang masih menghadapi sengketa dan mendorong proses penyelesaian melalui dialog dan partisipasi khususnya bagi masyarakat terdampak,” ujar Wibowo.

Desakan Komnas HAM RI itu ditanggapi Wakil Menteri Dalam Negeri RI, Dr. Ribka Haluk, bahwa pembangunan 2 juta hektar lumbung pangan atau food estate di Merauke bertujuan untuk kebaikan masyarakat.

Ribka menyebut food estate dijalankan untuk ketahanan pangan nasional dan pasti akan berdampak pada masyarakat setempat. Tetapi ia tidak memungkiri ada masyarakat yang terdampak pembangunan food estate. Hal ini terjadi karena hak wilayah adat mereka berubah menjadi ladang tanam.

Untuk mengatasi hal tersebut, Ribka bilang pemerintah akan membuka dialog dengan masyarakat setempat.

“Kita sudah fasilitasi melalui gubernur, karena gubernur adalah perpanjangan pemerintah pusat di daerah. Saya pikir, sudah biasa lah. Puas atau tidak puas pasti berlanjut seperti itu. Tapi pengerjaannya sudah berjalan dan juga ada keterlibatan masyarakat adat di sana,” tutur Ribka.

Wamendagri mengklaim banyak pemuda setempat mendapatkan manfaat dari terciptanya lapangan kerja dalam proyek food estate itu. Mereka punya penghasilan, ada pendapatan, upah kerja dibayar, dan seterusnya. Karena itu, Ribka bantah pemerintah tidak serta-merta mengambil lahan untuk kelompok tertentu.

Baca Juga:  Diskriminasi Terhadap Mahasiswa Papua Tumbuh Subur di Universitas Mataram

Menanggapi pernyataan Wamendagri tersebut, Emanuel Gobay, direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua menyatakan, pemerintah pusat dalam mengembangkan PSN di Merauke tidak menjalankan tugas yang konstitusi terkait “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah” sebagaimana diatur pada Pasal 28i ayat (4) UUD 1945.

Kata Emanuel, pernyataan Wamendagri itu secara terang-terang melanggar ketentuan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” sebagaimana diatur pada Pasal 18b ayat (2) UUD 1945, serta ketentuan “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban” sebagaimana diatur pada Pasal 28i ayat (3) UUD 1945.

Selain itu, dari perspektif HAM, pernyataan Wamendagri jelas mengabaikan ketentuan “Pemerintah pusat tidak mau menjalankan kewajibannya terkait perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah” sebagaimana diatur pada Pasal 8 Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Juga, melanggar ketentuan “Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman” sebagaimana diatur pada Pasal 6 ayat (2) Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.

Pernyataannya juga mengabaikan ketentuan “Pemerintah provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku. Hak-hak masyarakat adat meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pelaksanaan hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat, dengan menghormati penguasaan tanah bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain secara sah menurut tatacara dan berdasarkan peraturan perundang-undangan” sebagaimana diatur pada Pasal 43 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Emanuel menyoroti, pernyataan Wamendagri tentang pemerintah akan membuka dialog dengan masyarakat setempat, secara tidak langsung mengakui pengembangan PSN di Merauke telah melanggar ketentuan “Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya. Pemerintah provinsi, kabupaten/kota memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat dan bekas hak perorangan secara adil dan bijaksana, sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan” sebagaimana diatur pada Pasal 43 ayat (4) dan ayat (5) Undang-undang nomor 2 tahun 2021.

Baca Juga:  Identitasi Suku Moi di Sorong Retak di Tengah Perubahan Ekosob

Selain itu, melanggar ketentuan “Penanam modal yang melakukan investasi di wilayah provinsi Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat. Perundingan yang dilakukan antara pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat setempat” sebagaimana diatur pada Pasal 42 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang nomor 2 tahun 2021.

Sebagai pejabat publik, Wamendagri menurut Emanuel, tidak harus mengeluarkan penyataan demikian karena terkesan tidak menghargai eksistensi Komnas HAM RI sebagai lembaga tinggi negara yang dibentuk khusus untuk melakukan tugas  “mengembangkan kondisi yang konduksif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan” sesuai Pasal 75 Undang-undang nomor 39 tahun 1999.

Dengan memperhatikan kesimpulan Komnas HAM RI bahwa PSN berdampak pada 4 bentuk pelanggaran HAM, pernyataan Wamendagri jelas bertentangan dengan HAM karena pemerintah pusat tidak mengindahkan desakan Komnas HAM RI untuk menghentikan PSN di Merauke.

Apalagi Wamendagri klaim PSN di Merauke merupakan kebijakan pemerintah membangun food estate untuk kebaikan masyarakat, tegas Gobay, telah melanggar ketentuan penyelenggaraan administrasi pemerintahan berdasarkan asas pelindungan terhadap HAM sebagaimana diatur pad Pasal 5 huruf b Undang-undang nomor 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan.

Oleh karena itu, LBH Papua bersama LBH Papua Pos Merauke sebagai kuasa hukum masyarakat adat Malind, Maklew, Khimaima, Yei, serta marga Gebze, Moiwend, Balagaize, Basikbasik, dan Kwipalo mendesak Presiden RI bersama Menteri Pertahanan, Menteri Pertanian, Menteri Hak Asasi Manusia, segera hentikan seluruh aktivitas PSN di Merauke dan berdialog dengan masyarakat adat sesuai rekomendasi Komnas HAM RI sebagai bentuk pemenuhan asas perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Kemudian, Wamendagri segera mencabut pernyataan “Pemerintah tegaskan pembangunan ‘Food estate’ di Papua Selatan untuk kebaikan masyarakat” yang bertentangan dengan asas perlindungan terhadap HAM. Wamendagri juga segera menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat adat Marind Maklew, Khimaima, Yei yang menjadi korban dalam pengembangan PSN di Merauke.

Selain itu, Ombudsman Republik Indonesia segera mengawasi pemerintah Indonesia dalam melakukan rekomendasai Komnas HAM RI terkait PSN di Merauke sesuai komitmen asas perlindungan terhadap HAM. []

Artikel sebelumnyaMusda III AMAN Sorong Raya Awal 2025, PD Bakal Ditingkatkan Jadi PW
Artikel berikutnyaBPAN Berupaya Tingkatkan Potensi Generasi Muda Kelola Wilayah Adat