
NABIRE, SUARAPAPUA.com — Seluruh hak masyarakat adat Papua dari beberapa suku yang ada di wilayah provinsi Papua Tengah wajib dihargai dan dihormati pemerintah, sebab hak-hak mereka dijamin UUD 1945 pada pasal 18B ayat 2, dan pasal 6 Undang-undang nomor 39 tahun 99 tentang HAM, serta pasal 43 Undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang otonomi khusus bagi provinsi Papua.
Demikian penegasan Emanuel Gobay, direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, saat berbicara dalam seminar sehari bertajuk “Pendidikan hukum kritis tentang perlindungan hak-hak masyarakat adat di Papua Tengah”, Selasa (7/1/2025) di aula STT Walter Post Nabire, Papua Tengah.
Pendidikan hukum kritis tersebut menurutnya perlu dipahami bersama agar masyarakat adat Papua menyadari pentingnya perlindungan hak-hak masyarakat adat.
“Dengan adanya jaminan perlindungan baik masyarakat adat dan hak-hak secara hukum itu menunjukkan bahwa masyarakat adat punya hak untuk mempertahankan hak-hak mereka. Contohnya, masyarakat berhak untuk melawan praktik-praktik perampasan hak-hak masyarakat adat, bahkan perampokan sumber daya alam milik masyarakat adat. Dengan pendidikan hukum kritis ini masyarakat semakin percaya diri untuk pegang teguh warisan leluhur tidak mudah diambil alih pihak lain,” ujar Emanuel.
Setelah mendapatkan materi dalam seminar ini, ia berharap ada gambaran mengenai apa saja hak-hak masyarakat adat yang wajib diperjuangkan. Sebagai anak-anak adat, pewaris hak-hak masyarakat adat, tentu saja orang asli Papua berkewajiban untuk melindungi hak-haknya dari ancaman perampasan tanah adat, sumber daya alam milik masyarakat adat yang selama ini tidak disadari selalu dirampas secara tersistematik menggunakan mekanisme proyek strategis nasional (PSN) yang dibangun Joko Widodo semasa menjabat sebagai presiden Republik Indonesia.
“Harapan saya dari pendidikan hukum kritis tentang perlindungan hak-hak masyarakat adat ini sudah bisa ketahui bebagai tindak tanduk investor dan pemerintah selama ini. kita akan sadar ternyata banyak hak kita yang dirampas,” ujarnya.
Kebijakan pemerintah di periode sebelumnya, kata Emanuel, rupanya masih terus berlanjut di pemerintah sekarang dibawah kepemimpinan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
“Saya pikir sedang diteruskan oleh presiden Prabowo dan wakilnya Gibran.”
Lanjut Emanuel, “Ini saya sampaikan tidak terlepas juga dengan temuan Komnas HAM Republik Indonesia dalam kesimpulannya menegaskan bahwa PSN yang diwacanakan oleh Jokowi dan masih terus dijalankan ini banyak catatan pelanggaran HAM, sehingga Komnas HAM dengan tegas minta agar dipertimbangkan kembali, bahkan kalau bisa dihentikan dulu untuk menyelesaikan persoalan hak-hak masyarakat adat. Itu yang pertama.”
“Yang kedua, berkaitan dengan tambang di wilayah provinsi Papua Tengah, saya pikir bukan hanya masalah tambang ilegal, tapi juga yang legal menurut pemerintah, dan ilegal menurut masyarakat adat. Kami punya data berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia pada tahun 2013 dalam laporannya yang berjudul sumber daya alam dalam cengkraman mafia, itu dengan tegas menyebutkan adanya 52 izin tambang yang bermasalah di 8 kabupaten yang masuk dalam provinsi Papua Tengah.”
Emanuel Gobay menyebutkan Nabire adalah salah satu kabupaten yang jumlah izinnya terbanyak, yakni 14 izin tambang ketimbang 7 kabupaten lainnya.
“Dan temuan KPK itu didasarkan atas dasar adanya indikasi gratifikasi. Saya minta kepada KPK apa sikapnya terhadap tindak lanjut temuan gratifikasi 53 izin tambang yang bermasalah di delapan kabupaten yang hari ini menjadi provinsi Papua Tengah ini? Jangan hanya kemudian buat laporan terus tinggalkan seperti begitu. Ini kan bukannya menyelesaikan masalah, tetapi menimbun masalah. Aneh ketika KPK sangat aktif menangkap pimpinan-pimpinan Papua, provinsi Papua seperti pak Bas Suebu dipidanakan dengan kasus korupsi proyek strategis nasional di Mamberamo, terus pak Lukas Enembe diproses hukum dengan masalah gratifikasi satu miliar rupiah, terus izin-izin bermasalah ini kenapa tidak ditindaklanjuti? Padahal itu ditemukan di tahun 2013, sudah disebutkan KPU dalam laporannya. Di sini saya minta agar tidak tebang pilih dan terkesan dalam melakukan penegakan hukum di isu korupsi sangat politis kita minta dan tegas untuk sekiranya diproses,” tandasnya.
Berkaitan dengan berbagai tambang ilegal yang ada, kata Emanuel, seharusnya diproses hukum apalagi di provinsi Papua Tengah terdapat banyak anggota Polri dan TNI.
“Di provinsi baru ini ada anggota Polri dan TNI. Kalau aktivitasnya bertentangan dengan Undang-undang Mineral dan Batubara (Minerba), artinya melakukan aktivitas ilegal, jadi semestinya para pelaku itu ditangkap. Pihak dinas pertambangan juga sudah harus bicara untuk ini, tidak boleh tinggal diam saja. Kalau tinggal diam, kami justru mempertanyakannya.”
Gobay menyatakan, pemerintah tak punya alasan lagi untuk wajib mengargai hak masyarakat adat di provinsi Papua Tengah.
Sementara, Marlin A Pigome, ketua panitia seminar sehari, menjelaskan, kegiatan ini bertujuan memberikan pemahaman lebih tentang hak-hak masyarakat adat kepada mahasiswa, aktivis, komunitas, para kepala suku, dan masyarakat adat yang ada di provinsi Papua Tengah agar hak-hak masyarakat ada harus diperjuangkan bersama.
Kata Marlin Pigome, “Setelah adanya daerah otonom baru (DOB) di Papua ini muncul upaya perampasan tanah adat oleh pemerintah melalui proyek strategis nasional atau program lanjutan. Contohnya di Merauke ada perampasan tanah adat seluas 2 juta hektar milik masyarakat adat Animha.”
Bukan hanya itu, sebab menurut Pigome, dari data yang ada, di wilayah Papua Tengah ada sekitar 52 izin tambang seperti emas, tembaga, nikel, batu bara, dan jenis pertambangan lainnya. Belum lagi izin usaha kelapa sawit, dan sektor lainnya yang kemungkinan akan diizinkan pemerintah.
“Kami simpulkan bahwa izin-izin tersebut pada akhirnya merampas hak-hak masyarakat adat khusususnya di provinsi Papua Tengah yang bertujuan untuk menghilangkan batas wilayah masyarakat adat milik marga,” lanjut Marlin.
Senada dipertegas Yosep Mote, sekretaris panitia seminar, yang menggarisbawahi perlunya kerja kolaborasi berbagai phak demi melindungi hak-hak masyarakat adat Papua di provinsi Papua Tengah.
Sebab menurut Yosep, jika itu tidak dilakukan, berpeluang besar terjadinya penguasaan tanah dan hutan adat. Oleh karenanya, ia minta keterlibatan aktif para intelektual dan tokoh-tokoh adat dalam hal ini Dewan Adat Papua untuk berperan penting dalam menjaga dan melindungi tanah adat di wilayah provinsi Papua Tengah.
“Tanah adat itu salah satu aspek dasar yang dimiliki secara turun temurun melalui hak kepemilikan marga, kemudian jika tanah diambil oleh pihak investor, perusahaan atau siapapun, jelas kehilangan ruang hidup masyarakat adat dan itu akan berdampak besar dalam kehidupan generasi penerus kita,” tutur Mote. []