
JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIIC) Ordo Fratrum Minorum (OFM) Papua launching buku memoria passionis yang ke-43 dengan judul Tong Bicara Tapi Dong Jalan Terus di aula STFT Fajar Timur pada, Jumat (11/4/2025).
Buku yang ditulis Pastor Alexander Rangga OFM, Bernadus Koten, Pastor David Dapi OFM, Pastor Dr. Ignasius Ngari OFM, Pastor Goklin PH Lumban Caol OFM dan Yuliana Langowuyo tersebut mengupas tentang analisis, kronik dan rekomendasi hak asasi manusia Papua tahun 2024.
Pastor Dr. Ignasius Ngari OFM mengaku terlibat menuis tentang lingkungan hidup dalam buku Tong Bicara Tapi Dong Jalan Terus karena ia sendiri telah mendalami filosofi dan etiks ketika berkuliah di Melburne Australia, tetapi juga perna menulis tentang kosmologi Papua sebagai etika lingkungan hidup.
Tulisannya yang terbit di buku tersebut dengan judul Malas Tahu: Hutan Rusak dan Masyarakat Adat Hancur.
Menurut Dr. Ngari yang selesaikan doktoralnya di Roma tersebut mengatakan, semua ini didasari oleh pemahaman akan ekonomi itu adalah panglima kehidupan. Ekonomi itu dilihat dari tata pengelolaan rumah tangga.
“Hanya problmnya adalah kalau lingkungan adalah rumah kita, dan ekonomi bagian dari cara untuk mengelola lingkungan kita, pertanyaannya apakah kita merusaknya demi perkembangan?” tukas Dr. Ignasiua Ngari dalam diskusi tersebut.
Katanya deforestasi, penambangan illegal, kurangnya perhatian terhadap protes serta 2 hal yang adalah militerisasi pertanian dan juga kosmologi sebagai etika lingkungan hidup.
Pertama kata dia deforestasi, di mana deforestasi itu muncul ketika adanya pengaduan masyarakat adat (Papua), tetapi juga karena penduduk di provinsi baru (Papua Selatan) meningkat. Berikutnya adalah alih fungsi hutan menjadi lahan kelapa sawit sebesar 158.821.000 hektar.
“Ini yang menyebabkan cukup banyak masyarakat, khususnya masyarakat Awyu yang bisa kita lihat di media melancarkan protes dari tingkat pengadilan tingkat pertama, kedua dan ketiga, itulah yang melahirkan gagasan tong bicara tapi dong jalan terus,” ujarnya.
Kemudian hal ketiga kata dia mengenai deforestasi tentang investasi, khususnya di Papua tentang Proyek Strategis Nasional (PSN) di Papua Selatan yang ditetapkan dan dimulai sejak 24 Juni 2024 berdasarkan Perpu dengan nilai investasi sebesar Rp1,87 triliun.
“Ada masalah sebenarnya dari prespektif yang saya lihat yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Pertama terlalu menyederhanakan – Jokowi omong ketahanan pangan kita itu lemah. Apa penyebab ketahanan pangan kita lemah, karena perubahan iklim. Itu mengkin merusak lingkungan, maka saya sebagai pak guru Filsafat itu saya melihat ini cacat. Masalah dasarnya ada di lingkungan yang menyebabkan masalah ekonomi, lalu diselesaikan dengan merusak lagi lingkungan. Jadi mereka berpikir ka atau mereka dipakai oleh pikiran mereka.”
Berikut kata dia pengembangan Proyek Strategis Nasional. PSN ini untuk menciptakan energi terbarukan. Masalah energi terbarukan itu adalah energi yang dari fosil dan itu berkurang dan itu berbahaya bagi lingkungan.
“Sekali lagi cara yang dilakukan untuk kita adalah menghancurkan hutan, merusak rawa-rawa. Bagi saya ini tidak masuk akal. Kita membutuhkan energi terbarukan untuk mengurangi polusi, tetapi kita menciptakan polusi untuk menciptkan energi terbarukan. I don’t know what’s going on in their mind.”
“Kami dulu kenal dengan istila kepentingan umum mendahuli kepentingan pribadi. Jadi kalau apa yang untuk kepentingan banyak orang, apa yang untuk kepentingan negara itu harus dipriotitaskan, dan ini berakar pada filsafat utilitarianisme.”
“Gagasan dasar dalam filsafat itu adalah greater goods for greater numbers, artinya adalah prioritasnya kebaikan terbesar untuk jumlah terbesar. Problemnya adalah jumlah terkecil itu seringkali berulang-ulang menjadi korban, yang seringkali untuk kepentingan nasional, untuk kepentingan Papua boleh diabaikan.”
Terutama untuk kepentingan orang-orang besar, orang-orang kecil boleh dilupakan, diabaikan, bahkan dibuat tidak berdaya.
Menurutnya hal ini sebenarnya merupakan cacat pikir yang mendasar yang sudah dikatakan sejak dulu sekitar tahun 1800 an oleh Immanuel Kant bahwa manusia tidak bisa dijadikan sebagai sarana karena manusia memiliki tujuan dalam diri.
Karena itu kepentingan banyak orang tidak bisa menjadikan sebagian orang sebagai sarana atau alat.
Terkait masalah kelapa Sawit kata Dr. Ignasius ada kerugian ekonomi sekitar Rp 96,6 triliun, lalu manfaatnya hanya 17,6 triliun.
“Ini kalau kita bandingkan dengan uang Otsus tahun 2024 yang nilainya Rp 2,5 triliu, maka tidak ada apa-apanya. Angkanya terlalu kecil kalau kita bandingkan dengan uang yang dikorupsi Pertamax sebesar Rp 163 triliun atau dari Nikel Rp300 trilun.”
Sementara bagi masyarakat adat Papua hutan memiliki nilai spiritual, sosial, dan budaya, tidak hanya semata-mata hanya bernilai ekonomis.

Prof. Dr. Drs. Avelinus Lefaan, pengajar dari Universitas Cenderawasih dalam kesempatan itu membedah tentang analisis yang dipakai di dalam membuat sebuah buku.
Menurutnya membuat sebuah rencana, harus ada alat ukurnya, termasuk dalam menulis buku ‘tong bicara tapi dong jalan terus’.
“Ketika saya membaca buku ini, saya mengamati buku ini ditulis dengan metode kritis. Dalam mabahas dunia, ada 3 paradikma. Kristis itu paradikma yang ketiga, pertama itu adalah paradikma positifitis, kedua paradikma konstruktivisme dan Kritisisme,” kata Prof Levan.
Ia lalu menjelaskan tentang pa itu positivisme, yang berbicara tentang segala sesuatu yang ditentukan dari atas, seperti injil dari atas (Tuhan) itu hal-hal yang baik dari atas sehingga diikuti.
“Kalau konstruktivisme, ketika alkitab mengajarkan, tetapi pandangan seseorang berbeda, ada kontradiksi. Sementara paradikma kritisisme adalah persoalan yang diciptakan by design. Ini yang kita harus kritis untuk melihatnya.”
“Jadi buku ini ditulis melalui analisis kritis. Jadi disitu ada persoalan, tetapi A bilang saya tidak tahu, B bilang saya tidak tahu. Nah dibelakang ini siapa yang bermain. Misalnya otonomi khusus. Otsus itu sebuah paradikma baru. Jakarta bilang kami sudah kasih [dana] miliaran, tapi faktanya di Papua tidak sejahtera,” kata Prof. Levan.
“Jadi antara tesis dan anti tesis. Undang-undang adalah tesis yang berkeinginan untuk Papua menjadi baik, kenyataanya Papua tidak sejahtera. Pertanyaanya ini siapa yang bikin?”
Dengan demikian kata dia buku tersebut memuat beban – banyak masalah-masalah di Papua. Jadi ini pandangan yang dikonstuksikan di dalam buku ini dan ini fakta.
“Jadi yang saya pakai untuk melihat buku ini adalah teori kritis yang dipelopori oleh Antonio Gramsci dan Michael, apa yang kita kenal dengan konsep hegemoni.”
Hegemoni adalah penguasaan atau dominasi yang dilakukan oleh satu kelompok sosial atas kelompok sosial lain.
“Jadi teori ini memang mengajarkan tengan dominansi. Misalnya kalau saya jadi bupati, semuanya dari keluarga saya. Ada istri saya, mama mantu saya dan praktek-praktek ini banyak di lakukan di Papua.”
“Sadar tidak sadar, konsep hegemoni itu terjadi pada kita di Papua.”