Kegiatan psikoedukasi untuk anak-anak SMP Negeri Bamusbama bersama para guru di aula SMPN Bamusbama distrik Bamusbama, kabupaten Tambrauw, provinsi Papua Barat Daya, pada 14 - 15 April 2025. (Suppied for Suara Papua)
adv
loading...

SORONG, SUARAPAPUA.com — Dokter Tenia Kurniawati mengadakan kegiatan psikoedukasi untuk anak-anak SMP Negeri Bamusbama bersama para guru di aula SMPN Bamusbama distrik Bamusbama, kabupaten Tambrauw, provinsi Papua Barat Daya, pada 14 – 15 April 2025.

Kegiatan itu dilakukan dr. Tenia bertujuan guna menyembuhkan luka (trauma healing) usai konflik antara Satgas BKO Brimob Polres Tambrauw dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Kodap XXXII RuMana Tambrauw yang terjadi pada 27 November hingga 1 Desember 2024.

Tenia menjelaskan pasca kontak tembak yang terjadi pada 2024, termasuk pembakaran kantor distrik Bamusbama membuat operasi militer gabungan semakin meningkat, sehingga aktivitas masyarakat menurun dan warga sipil dari sejumlah kampung mengungsi ke hutan dan sejumlah kampung kurang lebih 1 bulan.

Dengan demikian, kata Tenia, tentu aktivitas masyarakat dan anak-anak sekolah di Bamusbama lumpuh total, mulai dari kegiatan belajar mengajar di tingkat PAUD, SD, hingga SMP, termasuk layanan kesehatan pun mandek.

“Masyarakat hidup dalam ketakutan. Guru dan tenaga kesehatan mengungsi ke kota Sorong. Selama di pengungsian, anak-anak bercerita bahwa mereka makan makanan dari hasil kebun dan tidur di bawah tenda-tenda dengan alas serta atap terpal seadanya. Mereka kedinginan saat malam, terlebih ketika hujan turun, tubuh mereka basah karena air merembes ke tempat tidur,” jelasnya dalam keterangannya kepada Suara Papua, Rabu (16/4/2025).

ads
Baca Juga:  Masyarakat Distrik Selemkay Sampaikan Beberapa Aspirasi Saat Reses Anggota DPRP PBD

Masyarakat sipil yang tak mengerti apa-apa menjadi korban. Anak-anak kehilangan masa bermain dan masa belajar di sekolah, karena sekolah ditutup sejak Desember 2024 hingga pertengahan Maret 2025.

Dampak dari penutupan sekolah membuat aktivitas belajar mengajar terhenti total. Anak-anak mengalami loss learning yang cukup lama. Selain itu, mereka juga mengalami kecemasan, ketakutan, bahkan ada beberapa yang mengalami trauma setiap kali mendengar suara tembakan.

Menurutnya, kecemasan yang dibiarkan dan tidak didampingi dikhawatirkan dapat berkembang menjadi Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau gangguan stress pascatrauma.

PTSD dapat terjadi pada siapa saja tanpa memandang usia, jenis kelamin, latar belakang sosial, ekonomi, budaya, atau kebangsaan. Dimana diperkirakan sekitar 7-8 dari 100 orang (7-8%) akan mengalami PTSD dalam hidupnya (National Center for PTSD).

Sebuah penelitian di Indonesia menemukan prevalensi PTSD pada anak dan remaja korban bencana alam sebesar 19,9%, dengan angka tertinggi pada remaja usia 16-17 tahun yaitu 25,4%.

Baca Juga:  Pesan Wabup Lanny Jaya dan Kepala Dinas Pendidikan Saat Kunjungi Dua SMA

Oleh sebab itu, dirinya terdorong sebagai bentuk dukungan dapat memberikan pendampingan melalui psikoedukasi.

“Psikoedukasi bertujuan mengembalikan kesehatan mental anak pasca konflik. Dukungan psikologis dapat mengurangi kecemasan dan memulihkan ketahanan diri untuk bangkit kembali. Selain itu, psikoedukasi juga mampu menumbuhkan motivasi belajar pada anak-anak yang cukup lama hidup di pengungsian dan kehilangan waktu belajar mereka,” jelasnya.

Penyerahan bantuan Bama kepada siswa dan orang tua siswa oleh Dr. Tenia. (Suppied for SP)

Dokter Tenia Kurniawati adalah mahasiswa aktif pada program studi Psikologi di Universitas Pelita Harapan (UPH) Tangerang dan mahasiswa aktif pada program studi Magister Psikologi Sains Universitas Muhammadiyah Malang.

Ia merasa terpanggil untuk melakukan psikoedukasi kesehatan mental bagi anak-anak SMPN Bamusbama pasca konflik.

Kegiatan psikoedukasi dilakukan pada anak-anak jenjang SMP karena merupakan wilayah kerjanya di bidang SMP Dinas Pendidikan kabupaten Tambrauw.

Hari pertama, sasaran utama adalah guru dan siswa. Guru SMPN Bamusbama 90% merupakan pendatang yang sangat cemas dan ketakutan dengan konflik tersebut. Mereka khawatir akan keselamatan mereka jika kembali mengajar.

Baca Juga:  Dua Buku Bahasa Lani Disumbangkan ke SMA Negeri 1 Tiom

Sementara itu, siswa adalah 100% orang asli Papua Tambrauw.

Selain itu, meliputi observasi awal untuk mengukur tingkat kecemasan, resiliensi, dan motivasi belajar mengajar siswa dan guru.

Siswa dan guru mengisi instrumen dengan menjawab pertanyaan melalui gambar emosi yang diwarna sesuai emosi yang mereka rasakan. Dilanjutkan dengan games dan lainnya.

Hari kedua kegiatan menyasar kepada para guru, siswa, orang tua siswa, serta aparat setempat, yaitu pemerintah distrik dan kampung.

Dukungan orang tua dan pemerintah setempat sangat penting agar aktivitas belajar mengajar dapat pulih. Guru dapat mengajar dengan rasa aman, dan anak-anak kembali termotivasi untuk belajar setelah mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan.

Tenia mengatakan, seluruh pembiayaan kegiatan psikoedukasi tersebut tidak bersumber dari anggaran Dinas Pendidikan, melainkan sepenuhnya berasal dari dana pribadi dan dukungan alat tulis dari Jimmy Anggawan dan seragam dari kepala Dinas Pendidikan Tambrauw.

Ia berharap dengan adanya psikoedukasi, aktivitas belajar dan mengajar di Bamusbama dapat pulih.

Kesejahteraan psikologis anak-anak, guru, serta masyarakat setempat dapat kembali membaik seperti sedia kala. []

Artikel sebelumnyaTolak Program Kredit Ekomas, Mama Papua: Jangan Bikin Susah Kami!
Artikel berikutnyaRaih Juara Liga 4 Papua Tengah, Persipuncak Menuju Putaran Nasional