Sekolah Rakyat Nduga Sikapi 58 Tahun PT FI Ilegal di Tanah Papua

0
84

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Bertepatan dengan 58 tahun PT Freeport Indonesia (FI) menancapkan kukunya di Tanah Papua, enam pernyataan sikap disampaikan Sekolah Rakyat Nuwi Nindi Yuguru Nduga (SRNNYN) Papua Pegunungan, Senin (7/4/2025) di kota Wamena, kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan.

Dalam diskusi publik bertema “58 Tahun PT Freeport Indonesia Ilegal dan Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Rakyat Papua Barat Sebagai Solusi Demokratis” itu dihadiri Tombol sebagai pemantik dengan moderator Nyamuk Karunggu.

Diuraikan, perjanjian kontrak karya (KK) PT FI di Tanah Papua merupakan akar masalah besar di dalam tubuh bangsa Indonesia karena pada tanggal 7 April 1967 perjanjian kontrak karya PT FI dilakukan tanpa melibatkan orang Papua dan sebelum orang Papua Barat memilih Indonesia atau merdeka sendiri melalui penentuan pendapat rakyat (Pepera) tahun 1969, pemerintah Indonesia telah menanamkan modal asing di Tanah Papua melalui kekuatan hukum yang bernama Undang-undang nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing.

UU nomor 1/1967 merupakan surat izin bagi negara-negara kapitalis dan imperialis untuk menanamkan modalnya di Indonesia dan Papua. Itu terbukti saham Amerika Serikat ada di PT FI, Australia dan Inggris juga memiliki saham di PT FI. Sebelum Indonesia melakukan kontrak karya PT FI, Indonesia, Amerika Serikat dan Belanda melakukan dua perjanjian tanpa melibatkan orang asli Papua Barat, yaitu New York Agreement 15 Agustus 1962 dan Roma Agreement 30 September 1962, padahal dua perjanjian tersebut membahas tentang nasib orang asli Papua Barat.

Baca Juga:  KPU Tambrauw Gelar FGD Evaluasi Pelaksanaan Pilkada 2024

Perjanjian New York mengatur masa depan wilayah Papua Barat yang terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 hal, dimana pasal 14-21 mengatur tentang penentuan nasib sendiri (self determination) yang didasarkan pada praktek hukum internasional, yaitu satu orang satu suara (one man one vote). Pasal 12 dan 13 mengatur transfer administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB (UNTEA) kepada Indonesia.

ads

Setelah transfer administrasi atau aneksasi yang dilakukan pada 1 Mei 1963 atas Papua Barat, Indonesia mendapat tanggung jawab untuk mempersiapkan pelaksanaan penentuan nasib sendiri dan pembangunan di Papua selama 25 tahun. Namun ternyata Indonesia tidak menjalankan kesepakatan sesuai dalam Perjanjian New York. Indonesia malah melakukan pengkondisian wilayah melalui berbagai operasi militer dan penumpasan gerakan kemerdekaan rakyat Papua.

Baca Juga:  Oknum Militer Diduga Menyiksa Warga Sorong yang Mengakibatkan Meninggal Dunia

Dengan itu, sebelum proses penentuan nasib sendiri dilakukan pada tahun 1969, penentuan pendapat rakyat (Pepera) 1969 tepat 7 April 1967, Freeport, perusahaan pertambangan milik negara imperialis Amerika Serikat telah menandatangani kontrak karya pertamanya dengan pemerintah Indonesia secara ilegal.

Klaim atas wilayah Papua Barat sudah dilakukan kolonial dengan kontrak pertama Freeport dua tahun sebelum Pepera digelar.

Dari 809.337 rakyat Papua Barat yang memiliki hak suara, hanya 1025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat. Secara sistematis, kolonial melakukan dua musyawarah yang tidak memiliki ketentuan hukum internasional, yang mana harusnya one man one vote, yang telah diatur juga dalam New York Agreement secara hukum internasional, digantikan dengan sistem lokal Indonesia yaitu musyawarah untuk mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan Pepera yang tidak demokratis.

Baca Juga:  Mahasiswa Puncak Papua Tolak Pemekaran Tiga DOB yang Sarat Kepentingan 

Adapun enam pernyataan sikap dari SRNNYN Papua Pegunungan pada kegiatan diskusi publik itu:

  1. Kami meminta kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) izinkan untuk mengajarkan sejarah Papua Barat di dalam dunia pendidikan.
  2. Kapolres Jayawijaya berhenti teror dan bertanya-tanya keberadaan Sekolah Rakyat Nduga Papua di beberapa lembaga yang ada di Wamena, kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan.
  3. Stop intimidasi jurnalis Tempo dan segera ungkap pelaku teror bom molotov di kantor redaksi Jubi.
  4. Berikan jaminan kebebasan berpendapat, berekspresi, berserikat, dan berorganisasi.
  5. Berikan hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua Barat sebagai solusi demokratis.
  6. Indonesia harus mengajarkan sejarah Papua Barat seperti 1 Desember 1961 hari kemerdekaan Papua, 19 Desember 1961 hari Trikora, aneksasi 1 Mei 1963, 7 April 1967 perjanjian kontrak karya PT Freeport Indonesia, Pepera 1969, dan lain-lain. Harus diterapkan dalam kurikulum pendidikan di semua jenjang pendidikan, seperti Bali belajar bahasa Bali di dalam proses perkuliahan. []
Artikel sebelumnyaNyamuk Karunggu Diteror OTK Mengaku Protokoler Bupati Jayawijaya
Artikel berikutnyaPT Freeport Tidak Hargai Hak Buruh dan Masyarakat Adat