BeritaEkonomiYAPKEMA Terus Membumikan Gerakan Tanam Kopi, Sosialisasikan di Dua Kawasan

YAPKEMA Terus Membumikan Gerakan Tanam Kopi, Sosialisasikan di Dua Kawasan

NABIRE, SUARAPAPUA.com — Menjadi petani kopi produktif dan mandiri memang bukan perkara mudah. Selain butuh semangat kerja yang tinggi dan tahan uji konsistensi, tentu para petani kopi Arabika harus dibekali pelbagai pelatihan dan ditopang peralatan kerja, serta kepastian pasar.

Setidaknya itu melandasi Yayasan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat (YAPKEMA) Papua terus membumikan gerakan tanam kopi di wilayah adat Meepago, Papua.

YAPKEMA merintis gerakan tersebut sejak 2006 lalu. Fokus mendampingi masyarakat menyemai bibit, menanam, mengelola hingga memasarkan kopi. Pendampingannya diawali beragam pelatihan yang terus menerus dibekali pihak yayasan di sejumlah sentra produksi kopi.

Memang wilayah adat Meepago dikenal sebagai salah satu penghasil kopi Arabika terbaik. Kabupaten Paniai adalah salah satunya. Didukung faktor geografis, iklim, dan luasan areal perkebunan, kopi di wilayah ini pernah menjadi produk unggulan dan terkenal sampai ke Eropa.

Cuma, sekian lama produk kopi di Meepago ditelantarkan. Bahkan nyaris tenggelam dengan kemunculan produk kopi dari daerah lain di Tanah Papua.

Bersyukur, beberapa tahun belakangan ini mulai dilirik dan dikembangkan lagi oleh masyarakat adat Papua, dalam hal ini suku Mee.

Pengembangan kopi Arabika, apalagi yang berkelanjutan, menurut Hanok Herison Pigai, direktur YAPKEMA, kini menjadi tantangan tersendiri yang membutuhkan kesiapan di tingkat masyarakat. Kesiapan itu mensyaratkan ketersediaan dan kualitas sumber daya manusia yang memiliki keahlian dalam budidaya kopi dan pengolahan pascapanen.

Hanok beralasan, kemandirian ekonomi masyarakat adat sangat bergantung pada kemampuan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.

“Supaya kemampuannya meningkat, memang perlu dilakukan serangkaian pelatihan, pengadaan peralatan, dan pendampingan kepada kelompok petani sasaran,” kata Hanok.

Dengan begitu Hanok yakin para petani yang terlatih dapat memproduksi kopi yang berkualitas dan berkelanjutan agar pada saatnya nanti mampu memenuhi kebutuhan pasokan global yang meningkat.

Misi inilah yang mengumpulkan sebanyak 108 orang yang meliputi petani kopi, kepala distrik, kepala kampung, tokoh adat, serta tokoh agama hadir dalam kegiatan sosialisasi program pengembangan kopi Arabika berbasis masyarakat adat Paniai dalam upaya kemandirian dan pelestarian alam.

Kegiatan yang diinisiasi oleh YAPKEMA Papua didukung Yayasan Ekosistem Nusantara Berkelanjutan (EcoNusa) dilaksanakan di dua kawasan: Paniai Barat dan sekitarnya serta Agadide dan sekitarnya, di kabupaten Paniai.

Untuk Paniai Barat dan sekitarnya, kegiatan sosialisasi diadakan hari Sabtu (7/8/2021) di aula Paroki St. Fransiskus Obano. Dihadiri 54 orang dari 13 kampung di 3 distrik, yakni Paniai Barat, Nakama, dan Muye.

Dua hari kemudian kegiatan sama dilanjutkan di Agadide dan sekitarnya. Berlangsung di salah satu ruang kelas SMP Negeri 1 Agadide, hari Selasa (10/8/2021), dihadiri 54 orang dari 19 kampung di 6 distrik: Agadide, Bogobaida, Fajar Timur, Aweida, Topiyai, dan Ekadide.

Hanok dalam dua kegiatan sosialisasi itu menjelaskan tujuan dari program pengembangan kopi yang terus digencarkan hingga kini, yakni komitmen mengembangkan kopi Arabika Paniai sebagai komoditas perkebunan masyarakat adat dalam mengantisipasi ancaman deforestasi lingkungan sekaligus dikelola menjadi satu komoditas yang memberikan nilai ekonomis untuk kemandirian dan kesejahteraan masyarakat adat Paniai.

“Kami ingin meningkatkan pengetahuan masyarakat adat tentang pengendalian pengelolaan alam lingkungan melalui budidaya kopi Arabika,” kata Hanok, dikutip dari press release yang dikirim ke suarapapua.com.

Selain itu, YAPKEMA berkomitmen memperbaiki kualitas biji kopi para petani melalui penyediaan fasilitas pengolahan pasca panen.

“Juga tentu kami ingin menyediakan unit bisnis di petani sebagai tempat pemasaran biji kopi,” kata Hanok.

Hanok Herison Pigai, direktur YAPKEMA saat memaparkan materi sosialisasi program di sentra wilayah Paniai Barat dan sekitarnya, Sabtu (7/8/2021) di aula Paroki St. Fransiskus Obano. (Dok. YAPKEMA)

Ia mengapresiasi program gerakan tanam kopi oleh pemerintah kabupaten Paniai. Ajakan kepada masyarakat untuk menanam kopi, bagi YAPKEMA, sudah bagus karena dampak positif di masa mendatang.

“Sebagai lembaga yang sudah cukup lama mendorong masyarakat adat suku Mee berdaya di sektor kopi Arabika, melalui program pengembangan kopi Arabika berbasis masyarakat adat, YAPKEMA ingin ikut berperan memastikan bahwa masyarakat menanam kopi bukan hanya demi mendapatkan insentif atau bantuan dari pemerintah,” tukasnya.

Baca Juga:  Seluruh ASN di Dogiyai Harus Cinta Pangan Lokal, Bappeda Sudah Memulainya

Saat membuka forum sosialisasi di kawasan Agadide, Hanok menuturkan, “Program ini dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa menanam kopi adalah untuk kemandirian ekonomi yang berjangka panjang dan untuk kelestarian alam.”

Gerakan tanam kopi diakui sebagai awal yang baik. Persoalan selanjutnya, kata dia, bagaimana dengan para petani kopi lama yang telah memiliki kebun kopi berusia tahunan, apakah tiap pohon kopi berbuah baik dan mereka sudah cukup punya pengetahuan untuk merawat pohon kopi dan membuat pupuk sendiri?

“Lalu, bagaimana dengan pengetahuan mereka terkait pengolahan pasca panen? Bagaimana dengan akses pasar mereka? Dan seterusnya,” beber Hanok.

Materi inti sosialisasi antara lain tentag latar belakang program, tujuan, bagan alur transfer pengetahuan. Kemudian, program inti yakni pendampingan, pelatihan perawatan kebun dan pengolahan pascapanen, koordinasi, pengorganisasian Unit Pengembangan Kopi Berbasis Masyarakat (UPKBM), promosi, dan pemasarannya.

Lima Keutamaan Budidaya Kopi Arabika

Hanok akui budidaya kopi bermanfaat baik secara ekonomi maupun ekologi.

Hal paling pertama, kata dia, dengan kopi masyarakat bisa mendapatkan uang dan memenuhi kebutuhan hidup yang setidaknya bisa mandiri secara ekonomi.

“Kedua, dengan menanam kopi beserta pohon peneduhnya, masyarakat juga sedang menghasilkan oksigen buat anak cucu sekaligus ikut berperan menyerap emisi karbon yang merupakan penyebab pemanasan global,” urainya.

Selain itu, lanjut Hanok, dengan kopi, masyarakat mencegah terjadinya erosi atau longsor, yang artinya dengan menanam kopi, masyarakat telah ikut melestarikan Danau Paniai.

“Hal keempat, dengan menanam kopi, masyarakat mempertahankan tanah adatnya.”

Yang kelima, menurut Hanok, hal tak kalah penting bahwa kopi yang dikonsumsi murni adalah minuman yang bermanfaat untuk kesehatan.

Selama ini mayoritas masyarakat adat Mee di kabupaten Paniai bergantung dan hidup di sekitar kawasan danau Paniai. Memang danau Paniai telah lama menjadi pusat peradaban bagi orang Mee yang tinggal di sekitarnya, kini sudah terancam.

Usai pembuatan green house (tempat penjemuran biji kopi) di kampung Toyaimoti, distrik Agadide, Paniai, Rabu (14/7/2021) lalu. (Dok. YAPKEMA)

Ia beberkan alasannya. Pertama, polusi sampah plastik semakin bertumpuk di beberapa hilir sungai, eceng gondok dan beberapa gulma lain di beberapa titik di tepian danau terus mempersempit permukaan danau, sungai pembuangan air danau yang hanya satu yaitu sungai Yawei.

Itu ditambah dengan minimnya kesadaran menjaga lingkungan, dan belum adanya tindakan penanggulangan yang tepat, serius dan berjangka panjang dari pemerintah daerah.

“Belum lagi masalah sedimentasi, semakin memperparah masalah ini.”

Hanok merujuk penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dirilis beberapa tahun lalu, danau Paniai sudah sedang mengalami ancaman pendangkalan karena pasir, tanah, sampah plastik, lumpur, dan kayu kering terbawa ke danau melalui sejumlah tujuh sungai besar.

Adapun sungai tersebut, Aga, Eka, Weya, Koto, Muye, Waneuwo, dan Kowabeu.

Pengendapan yang terjadi di dasar permukaan danau Paniai, telah menjadi perkara serius. Itu membuat daya tampung air danau kian sempit, sehingga sering meluap dan menenggelamkan pemukiman warga sekitar, lahan pertanian, badan jalan, dan beberapa fasilitas publik seperti sekolah dan pasar.

Melalui budidaya kopi, petani dan masyarakat Paniai secara umum telah mengambil bagian untuk melestarikan danau Paniai, karena kopi dan tanaman penaungnya turut mencegah erosi dan banjir.

Pigai menyoroti kondisi yang kontras antara ketersediaan lahan potensial yang dapat dikembangkan dengan kemiskinan di Paniai.

“Banyak lahan yang tingkat kesuburannya tinggi, tetapi tidak dikelola menjadi sesuatu yang bisa membawa nilai ekonomi. Kita kadang terlalu malas dan berpangku tangan. Kita tidak fokus, cepat terpengaruh dengan berbagai isu yang sebetulnya tidak penting, dan jalan ke sana kemari tanpa tujuan yang jelas,” Hanok mengungkap fenomena sosial beberapa tahun terakhir.

Baca Juga:  Frengky Baru Jaring Aspirasi dan Berbagi di Hari Raya Idul Fitri

Lebih cenderung tertarik bermain toto gelap (Togel), roulette, game Ludo King, dan lain-lain, kata dia, membuang waktu percuma.

“Kita punya tanah kosong, tetapi ditelantarkan begitu saja. Tidak diolah. Waktu habis dengan kegiatan tidak berguna. Kalau kita mau ada perubahan, segera tanggalkan berbagai penyakit sosial yang sudah makin digandrungi orang,” ujarnya.

Hanok lalu membandingkan kondisi masyarakat di kabupaten Paniai —termasuk kabupaten lain di kawasan Meepago— dengan masyarakat di dataran tinggi Gayo, provinsi Aceh, yang rata-rata petani tanam kopi jenis Arabika.

Di Gayo, kata Pigai, hampir semua bukit ditanami kopi. Produksinya hingga berton-ton dengan pendapatan yang luar biasa.

“Pendapatan per kapita masyarakat Gayo dari hasil kopi mencapai puluhan bahkan ratusan juta. Kenapa bisa begitu? Karena mereka bekerja sungguh-sungguh. Gayo sekarang penghasil kopi Arabika terbaik di Indonesia, bahkan sudah dikenal sampai mancanegara. Ini patut dicontohi,” akui Pigai.

Tanggapan Petani dan Tokoh Masyarakat

Para petani kopi, tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat di tingkat distrik dan kampung di dua kawasan itu menyambut baik rencana program yang sedang dan akan dikerjakan oleh YAPKEMA.

Derek Kadepa, sekretaris distrik Fajar Timur, mengatakan, hingga kini banyak orang di kampung-kampung yang sudah punya kebun kopi warisan orangtua mereka, tetapi belum diberdayakan.

Petani kopi lama yang ada pun belum terdata dengan baik. Sementara itu, gerakan tanam kopi yang digencarkan pemerintah daerah telah mendorong petani kopi baru semakin banyak.

“Mereka sampai dibukakan ATM dan diberi insentif secara berkala. Harusnya petani kopi yang lama itu yang lebih dulu didata baik dan diperkuat kapasitasnya. Kemudian difasilitasi peralatan produksi dan pastikan akses pasar. Saya apresiasi kegiatan yang sedang kita lakukan itu, apalagi dengan mengkaderkan dan menggunakan anak asli setempat untuk sukseskan program pengembangan kopi,” tuturnya.

Kadepa mau masyarakat diajarkan bagaimana cara perawatan kopi yang benar, proses pasca panen yang betul, bagaimana cara membuat dan memupuk tanaman kopi secara organik, dan seterusnya.

Oktopianus Yogi, kepala distrik Agadide, juga menyebut menanam kopi bagian dari memuliakan sekaligus mempertahankan tanah yang diwariskan dari generasi sebelumnya, sehingga orang atau perusahaan dari luar tak mudah mencaplok lahan yang ada.

Menurut Yogi, walau tanpa ada dukungan dari pemerintah daerah ataupun pihak lain, sudah seharusnya masyarakat menanam kopi.

“Karena yang menikmati hasilnya adalah masyarakat itu sendiri. Apalagi saat ada program seperti ini, masyarakat harus sungguh-sungguh melibatkan diri. Ini kesempatan,” kata Yogi.

YAPKEMA telah membuat green house (tempat penjemuran biji kopi) di kampung Toyaimoti, distrik Agadide. Dibuat di belakang rumah Kristianus Kadepa, petani kopi binaan YAPKEMA, pada Rabu (14/7/2021).

Tempat penjemuran biji kopi ini akan menjadi model, tempat bagi para petani dari 5 distrik di wilayah Agadide dan Bogodide praktik langsung.

“Ini juga bagian dari persiapan awal menuju pembentukan UPKBM (Unit pengembangan kopi berbasis masyarakat) yang diinisiasi YAPKEMA,” kata Hanok.

Hanok Herison Pigai, direktur YAPKEMA Papua saat memaparkan materi sosialisasi program di sentra wilayah Agadide dan sekitarnya, Selasa (10/8/2021) lalu. (Dok. YAPKEMA)

Yohanes Pigai, salah satu petani kopi yang hadir dalam kegiatan di Obano, Paniai Barat, mengaku punya lebih dari 1000 pohon kopi produktif. Tetapi hingga kini dia terkendala dengan alat perawatan dan tempat penjemuran.

Sebenarnya, kata Yohanes, pernah beberapa kali didatangi orang dari pemerintah daerah. Nama dan kebunnya didata, dia difoto, kemudian petugas tersebut tak pernah datang lagi.

“Saya minta hal ini jangan terjadi lag. Saya harap ada pelatihan-pelatihan, pengadaan alat perawatan kebun, dan kalau bisa buatkan tempat penjemuran juga,” pintanya.

Minimnya peralatan perkebunan, Mesak Degei, petani kopi dari Kampung Ekadide berharap kepada YAPKEMA agar menyediakan bantuan mesin pengelupasan kulit.

Baca Juga:  Persatuan Pelaku Usaha Wisata di Raja Ampat: Kami Tidak Makan dari Tambang!

YAPKEMA sejauh ini hanya mengambil peran untuk memperkuat kapasitas petani melalui beberapa pelatihan tematik, menghubungkan para petani kopi dengan pasar, serta membelikan alat perawatan kebun kopi seperti gergaji dan gunting dahan.

“Sementara untuk pengadaan mesin pengelupas kulit buah, akan kami sampaikan kepada pemangku kepentingan di tingkat kabupaten seperti Dinas Pertanian, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Kampung (DPMK), Dinas Perindagkop, dan Bappeda. Pembelian mesin juga sebetulnya bisa dilakukan oleh kepala kampung menggunakan dana kampung. Misalnya dalam satu kampung ada 2 kelompok tani, belikan masing-masing satu buah,” kata Hanok.

Yakoba Keiya, petani kopi perempuan dari kampung Pakagekebo menuturkan keluhan selama ini bersma keluarga sering merugi lantaran belum tahu ke mana harus menjual biji kopi.

“Kalau bisa YAPKEMA menghubungkan kami para petani ke pasar,” usul mama Keiya.

Soal pasar, Hanok menjelaskan beberapa tempat pembelian biji kopi sudah ada selama ini, baik di Paniai, Dogiyai, dan Nabire. Di Paniai misalnya, UPH Enauto Coffee membeli biji kopi masyarakat melalui YAPKEMA di Ugibutu dengan harga yang cukup baik.

Selanjutnya, mama Desi Boma juga dari kampung Pakagekebo, mengaku optimis jika ada peralatan dan pengetahuan tentang penggunaan peralatan ditambah pelatihan-pelatihan, maka para petani pasti bersemangat merawat kebun kopi yang ada.

Hal yang dibutuhkan petani kopi hari ini, kata Boma, peralatan perawatan dan pengetahuan tentang cara merawat kopi agar berbuah baik dan melimpah.

Usulan tentang pengadaan alat perawatan pohon kopi ini datang juga dari beberapa petani lainnya, karena selama ini kendala mereka di situ.

Obaya Tebai misalnya, mengeluhkan betapa susahnya mendapatkan peralatan produksi tani (saprotan) seperti gunting dahan, gergaji, dan lain-lain di Paniai, bahkan di Nabire.

Mewakili tokoh adat, Vitalis Pigai, kepala suku di distrik Paniai Barat menyampaikan landasan pentingnya budidaya kopi dari segi penghidupan orang Mee.

Menanam kopi, ujar Vitalis, wajib dilakukan oleh seluruh masyarakat adat supaya terus produktif secara ekonomi. Karena kopi bisa dipanen secara terus-menerus, berjangka panjang, dan bisa menghasilkan uang.

Vitalis tak khawatirkan lagi soal pemasaran.

“Sekarang tidak sesusah dulu. Ada di pastoran Enarotali, Obano, Mowanemani, Nabire, termasuk Enauto Kopi melalui YAPKEMA di Enarotali,” ucapnya.

Yusak Kudiai, sekretaris Distrik Paniai Barat, berharap adanya kerja sama dari berbagai pihak seperti Dinas Pertanian, DPMK, Dinas Perindagkop, Bappeda, YAPKEMA dan para kepala kampung untuk memfasilitasi petani kopi, baik dalam hal peralatan perawatan pohon dan kebun kopi, pelatihan perawatan kopi, serta kepastian pasar yang terus menerus untuk masyarakat menjual biji kopi.

YAPKEMA berjanji akan menerus aspirasi ini termasuk hal-hal lain yang mengemuka dalam sosialisasi tersebut ke pemerintah daerah yang juga akan diselenggarakan dalam waktu mendatang.

“Pasti akan kami sampaikan saat sosialisasi program di tingkat kabupaten nanti, karena program ini perlu dukungan dan keterlibatan dari berbagai pihak secara proporsional,” kata Hanok.

Hanok Herison Pigai sedang memberi arahan pada para petani kopi Dogiyai. (Dok. YAPKEMA)

Gerakan menanam kopi dan pengembangannya diharapkan terus berlanjut mengingat pangsa pasar di tingkat nasional bahkan internasional yang sangat menjanjikan. Petani kopi dibekali dengan pengetahuan yang memadai termasuk bagaimana menggunakan pupuk kandang, perawatan hingga pengelolaannya sebelum dilepas ke pasar.

“Melatih masyarakat bagaimana cara semai, perawatan hingga tahap akhir agar dipahami dengan baik supaya biji kopi yang didapat memenuhi standar nasional bahkan internasional. Itu hal sangat penting. Maka, tentu di sini butuh dukungan semua pihak, termasuk pemerintah,” tandasnya.

YAPKEMA memiliki tim yang cukup solid. Punya pelatih bersertifikat nasional dari Kementerian Pertanian. Pada pelatihan pengembangan budi daya dan pascapanen kopi, pelatih biasanya menerapkan kurikulum baku. (Adv)

Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

Mengawal Pembangunan Daerah, Provinsi Papua Barat Daya Miliki BPKP

0
“Kalau kita mau tata kelola penyelenggaraan pemerintahan kita baik, pembangunan tata kelola keuangan yang baik, maka kolaborasi ini diperlukan,” ujar gubernur Elisa Kambu.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.