Tanah PapuaSebagai Umat Katolik, Yakobus Dumupa Menghendaki Uskup Orang Asli Papua

Sebagai Umat Katolik, Yakobus Dumupa Menghendaki Uskup Orang Asli Papua

NABIRE, SUARAPAPUA.com — Yakobus Dumupa, salah satu umat Katolik di Tanah Papua, menyampaikan surat terbuka terkait aspirasi mengenai Uskup Orang Asli Papua di Tanah Papua. Kerinduan ini sudah bukan rahasia lagi. Umat Katolik terutama orang asli Papua selama ini menghendaki munculnya imam asli Papua ditahbiskan sebagai Uskup.

Di Tanah Papua terdapat lima keuskupan di Tanah Papua, yakni Keuskupan Agung Merauke, Keuskupan Jayapura, Keuskupan Manokwari-Sorong, Keuskupan Agats, dan Keuskupan Timika.

“Sebagai orang Katolik, saya hendak menyampaikan pengaduan dan aspirasi dalam kapasitas sebagai pribadi, sebagai salah satu umat Katolik, lepas dari jabatan saya sebagai Bupati Dogiyai. Pengaduan dan aspirasi yang saya maksud berkaitan dengan Uskup Orang Asli Papua di Tanah Papua. Ini juga tidak terlepas dari suara umat Katolik di Tanah Papua terutama yang berstatus sebagai orang asli Papua sejak beberapa waktu terakhir mengaspirasikan Imam Orang Asli Papua diangkat menjadi Uskup di Tanah Papua, baik di Keuskupan Agung Merauke, Keuskupan Jayapura, Keuskupan Agats, Keuskupan Manokwari-Sorong, dan Keuskupan Timika,” bebernya dalam surat terbuka itu.

Surat terbuka yang ditulis dari Mowanemani, ibu kota faktual kabupaten Dogiyai, Rabu (18/8/2021), ia tujukan kepada Yang Mulia Sri Paus Fransiskus di Vatikan.

Yakobus Dumupa juga menghaturkan doa seraya berharap semoga Bapa Suci di Vatikan dalam keadaan yang baik, sehat dan bahagia.

“Berkat dan rahmat yang berlimpah dari Allah senantiasa menyertai Bapa Suci, sehingga Bapa mampu menjalankan tugas suci sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik sedunia dengan baik dan lancar.”

Dumupa menulis, “Saya merupakan orang asli Papua yang beragama Katolik, yang secara geografis berada jauh dari Vatikan, tempat dimana Bapa Suci berada. Saya bertempat tinggal di kabupaten Dogiyai, provinsi Papua, Indonesia. Saya anggota umat Katolik pada Paroki St. Maria Immaculata Mowanemani, Dekenat Kamuu-Mapiha, Keuskupan Timika, Papua.”

Bersamaan dengan berjalannya waktu, ia mengakui keinginan ini terus bertambah, baik jumlah orang yang mendukungnya maupun upaya-upaya perjuangan untuk mewujudkan keinginan tersebut.

“Belakangan ini suara-suara mengenai ini, baik secara pribadi maupun kolektif sudah mulai terdengar kencang, setelah sebelumnya tak bersuara.”

Baca Juga:  Hilangnya Keadilan di PTTUN, Suku Awyu Kasasi ke MA
Kerinduan umat segera ada Uskup asli Papua. (Ist.)

Yakobus Dumupa membeberkan tiga alasan pokok mengapa orang asli Papua menghendaki dan mulai bersuara agar Imam orang asli Papua diangkat menjadi Uskup di Tanah Papua.

Pertama, jika sebelumnya mayoritas imam di Tanah Papua merupakan “orang non-asli Papua”, sekarang sudah banyak imam “orang asli Papua”. Ini berarti, dari aspek ketersediaan sumber daya manusia (orang dan kemampuan), sudah ada imam orang asli Papua yang bisa diangkat menjadi Uskup di tanah leluhurnya sendiri.

Kedua, untuk menghilangkan ketidakpercayaan kebanyakan orang asli Papua terhadap biarawan-biarawati, Uskup, pengurus Gereja Katolik, dan pengurus lembaga-lembaga milik Gereja Katolik yang selama ini dikuasai oleh kelompok orang non-asli Papua, yang dianggap menjalankan “kekuasaan gereja” yang banyak merugikan dan mengorbankan orang asli Papua.

Ketiga, Uskup orang asli Papua pasti akan lebih memahami kehidupan di Tanah Papua dan orang asli Papua, sehingga pasti lebih tahu bagaimana menggembalakan mereka agar Gereja Katolik di Tanah Papua lebih membumi dan berakar kuat.

“Alasan-alasan ini saya sampaikan bukan karena membenci orang non-asli Papua, terutama imam dan Uskup orang non-asli Papua, sebab saya paham kita harus hidup saling mengasihi. Tetapi semata-mata untuk menghargai harkat dan martabat orang asli Papua di negeri leluhurnya. Jika ini dianggap diskriminatif, maka inilah “diskriminasi positif”, yakni diskriminasi untuk menghargai dan menghormati orang atau kelompok orang yang selama ini tidak berdaya dan termarginal.”

“Diskriminasi seperti ini diperlukan dan diberlakukan dalam rangka untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan dalam Gereja Katolik di Tanah Papua. Saya berharap Bapa Suci dan Gereja Katolik jangan melihat diskriminasi seperti ini dari perspektif yang salah,” urainya.

Sebagai orang Katolik, Yakobus Dumupa percaya bahwa dengan segala kebijaksanaan yang dianugerahkan oleh Allah kepada Bapa Suci, pasti akan mempertimbangkan “kerinduan” dan “alasan” orang asli Papua mengenai “Uskup Orang Asli Papua di Tanah Papua”.

“Bapa Suci adalah kepala gembala yang baik, kepala penerus para rasul yang mewarisi kebijaksanaan Tuhan Yesus, pasti memahami suara domba-domba yang Bapa gembalakan di seluruh dunia, termasuk di Tanah Papua. Semoga Bapa mengangkat “Gembala orang asli Papua untuk menggembalakan domba-dombaNya sendiri di tanah leluhurnya”.

Baca Juga:  Seruan dan Himbauan ULMWP, Markus Haluk: Tidak Benar!

Bagi Yakobus Dumupa, apapun hasilnya nanti, ia percaya suaranya yang mewakili suara-suara orang asli Papua yang beragama Katolik, sekalipun tidak didengar oleh Bapa Suci, tetapi telah didengar oleh Allah.

“Sebab surat ini sekaligus sebagai doa kami kepada Allah. Allah akan memberi hikmat dan kebijaksaan kepada Bapa Suci untuk mengangkat Uskup orang asli Papua di Tanah Papua pada waktunya nanti,” lanjut Dumupa.

Di bagian akhir surat terbuka, Yakobus Dumupa menulis, “Saya berdoa semoga Allah menganugerahkan kebijaksanaan yang luar biasa, kesehatan yang baik, dan kebahagiaan yang melimpah kepada Bapa Suci. Semoga Bapa tetap menjadi Gembala yang baik bagi semua umat Katolik di seluruh dunia, termasuk kami di Tanah Papua.”

Gerakan Awam Katolik Papua

Awal tahun ini, sejumlah umat Katolik Papua di Jayapura menyampaikan protes kepada para pemimpin Gereja Katolik di Tanah Papua. Protes dilancarkan melihat fakta diamnya Uskup terhadap berbagai fenomena di Tanah Papua, yang juga turut menimpa umat Katolik.

Dalam seruan Gerakan Awam Katolik Papua, salah satunya mereka menyatakan mosi tidak percaya kepada para Uskup di Tanah Papua dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).

Sejumlah poin yang mereka sampaikan dalam seruan setebal 98 halaman itu ada yang mirip dengan seruan 147 imam Katolik Papua pada Desember 2020 di Jayapura. Satu diantaranya, kritikan terhadap para Uskup yang dituding tak perduli terhadap masalah pelanggaran HAM Papua.

Christianus Dogopia, koordinator Solidaritas Peduli Umat Katolik Pribumi Papua, mengaku sangat kesal melihat para Gembala yang terus diam di tengah pelbagai persoalan di Tanah Papua.

Gerakan Awam Katolik Papua bahkan menyatakan kerinduannya memiliki Uskup asli Papua.

“Vatikan harus mempertimbangkan agar Uskup-uskup di Tanah Papua adalah orang asli Papua, atau yang memahami dengan baik situasi di Papua. Kami butuh yang perduli terhadap situasi sekitar, terutama isu-isu pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan hidup di Tanah Papua,” ditulis dalam seruan publik.

Solidaritas Peduli Umat Katolik Pribumi Papua saat menyampaikan aspirasi di halaman Susteran Maranatha Waena di sela-sela pertemuan Uskup se-Regio Papua, akhir November 2020. (Dok. Christianus Dogopia)

Dogopia menilai pemimpin Gereja Katolik selalu diam terhadap banyak masalah yang terjadi di Tanah Papua selama ini.

Sekalipun berdampak langsung terhadap umat Katolik, ia kecewa karena Gembala selalu malas tahu.

Baca Juga:  Yakobus Dumupa Nyatakan Siap Maju di Pemilihan Gubernur Papua Tengah

Dari pengalaman selama ini, kelompok awam dari lima Keuskupan di Tanah Papua mengaku tak lagi merasa bahwa Gereja Katolik menjadi harapan bagi keselamatan umat Tuhan.

“Seruan itu kami rumuskan setelah bersama-sama merefleksikan perkembangan Gereja akhir-akhiri ini,” katanya.

“Kami terpaksa melakukan hal ini, agar Gereja kembali pada misinya, pada panggilannya untuk menjadi suara bagi kaum tidak bersuara.”

Gereja sebagai benteng terakhir di hadapan pelbagai masalah kemanusiaan yang dialami orang Papua yang juga umat Katolik, Marthen Goo, aktivis kemanusiaan di Jakarta, menyatakan, suara kaum awam Papua memang penting untuk disikapi serius oleh pemimpin Gereja Katolik.

Marthen berharap suara kenabian benar-benar dibuktikan oleh lima Uskup di Tanah Papua.

“Suara kenabian mati di tengah berbagai persoalan yang selalu terjadi di Tanah Papua. Mau sampai kapan terus tutup mulut? Umat Katolik seolah tidak punya pemimpin,” ujarnya.

Kerinduan umat Katolik pribumi Papua, demikian Lukas Walilo, Uskup tak boleh lagi diam. Suara kenabian sesuai esensi sakramen tahbisan mesti digemakan agar domba-dombanya tak tersesat, apalagi sudah banyak kasus kemanusiaan yang juga dialami umat Katolik malah selalu dikesampingkan.

Uskup Jayapura, Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM berfoto bersama Solidaritas Peduli Umat Katolik Pribumi Papua di kantor Keuskupan Jayapura. (Dok. Christianus Dogopia)

Lukas bahkan kesal ketika Uskup bersekongkol dengan pihak pelanggar HAM, yang jelas-jelas mencabut nyawa umat Tuhan. Termasuk mendukung perusahaan, mesin penghancur sumber kehidupan umat setempat. Di saat bersamaan justru tak disuarakan.

Seharusnya, kata dia, kondisi buruk yang dialami Gereja dalam hal ini umat adalah Gereja yang menderita lantaran konflik berkepanjangan yang hingga kini belum diatasi mesti disuarakan sebagai perwujudan misi penyelamatan ciptaanNya di dunia.

Matinya suara gembala terhadap ketidakadilan dan tindakan penindasan martabat manusia sebagai kewajiban moral Gereja yang bersifat universal tanpa dibatasi ruang dan waktu, menurut Lukas, memang sudah bukan hal baru bagi umat Katolik di Tanah Papua.

“Gereja Katolik di Tanah Papua sudah hampir satu abad. Sampai saat ini banyak putra Papua yang telah menjadi imam. Maka, sudah waktunya imam asli Papua menjadi pemimpin umat Katolik di Tanah Papua,” ujar Walilo.

Pewarta: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

ULMWP: Aneksasi Papua Ke Dalam Indonesia Adalah Ilegal!

0
Tidak Sah semua klaim yang dibuat oleh pemerintah Indonesia mengenai status tanah Papua sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena tidak memiliki bukti- bukti sejarah yang otentik, murni dan sejati dan bahwa bangsa Papua Barat telah sungguh-sungguh memiliki kedaulatan sebagai suatu bangsa yang merdeka sederajat dengan bangsa- bangsa lain di muka bumi sejak tanggal 1 Desember 1961.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.