BeritaEkonomiKitong Su Tra Bisa Nikmati Sunset dari Tembok Reklamasi

Kitong Su Tra Bisa Nikmati Sunset dari Tembok Reklamasi

Oleh: Maria Baru
)* Jurnalis Suara Papua

SORE yang indah di Tembok Berlin. Anak-anak remaja rame skali. Di bagian utara tembok bersejarah itu, banyak sepeda motor lalu lalang. Mobil-mobil su diparkir di arah barat. Beberapa orang sedang menikmati kelapa muda yang disediakan mama-mama Papua di pinggir tembok.

Di bagian barat motor-motor mulai diparkir berjajar. Sa buang mata ke laut. Orang-orang rame di tepi pante. Rupanya ada jalur jalan tikus untuk masuk ke dalam yang sedang dipakai. Tumben, sore itu, 21 Agustus 2022, jalur tikus terbuka bebas. Padahal, biasanya, trada akses ke dalam. Sa pernah coba masuk, tetapi pekerja proyek larang.

Di kawasan ini su ada anak-anak remaja, kebanyakan perempuan. Bergaya cantik dan manis rame-rame ke tangga dan lompat trotoar untuk sekadar menanti sunset, matahari terbenam. Berpose deng style yang berbeda-beda. Foto bersama, selfi, silang kaki di atas batu, dan mandi-mandi.

Awalnya sa rencana dari Sorpus (Sorong Pusat) mau kembali ke pasar Boswesen. Sa putuskan singgah dulu. Kesempatan lagi dibuka pintunya. Sa turun dari taksi kuning. Langsung menuju tangga dan naik. Ikut anak-anak remaja. Anggap saja, sa juga masih ABG (Anak Baru Gede), jadi gabung deng dorang.

Sudah, sa lompat ke trotoar yang satu ke sebelahnya. Lalu, kaki mendarat bagus di hampran pasir hitam yang su ditimbun tanah dan bebatuan.

Trada air laut. Pasir juga tinggal sedikit. Tu gara-gara ada proyek pada tahun 2017. Waktu tu pemerintah kota Sorong bersama perusahaan su kasih kering air laut. Dong perluas daratan. Perkirakan dari titik tembok ke laut ni ada kurang lebih 150 meter.

Macam tong pu daratan kota Sorong su habis, jadi dong perkosa laut sampe daratan hanya untuk pembangunan gedung megah. Gedung untuk para investor datang istirahat dan kuras kitong pu kekayaan SDA (sumber daya alam). Trus, dong tinggalkan banjir dan ketimpangan sosial bagi masyarakat di sini.

Baca Juga:  Seluruh ASN di Dogiyai Harus Cinta Pangan Lokal, Bappeda Sudah Memulainya

Masyarakat kehilangan ruang kehidupan. Tembok reklamasi tinggi. Kitong tra bisa lihat indahnya senja. Mama-mama yang jual kelapa tu juga kemungkinan suatu saat dapat gusur paksa dari situ. Walikota akan bilang ini kota harus bersih. Jangan ada kumuh. Kata-kata tu yang mungkin saja akan keluar dari orang besar. Memang penguasa bukan pemimpin rakyat. Kalo pemimpin rakyat, pasti de tau apa yang rakyat rasakan. Pasti berpikir untuk rakyat, bukan investor, apalagi untuk diri sendiri.

Dulu, tahun 2019, saat sa wawancara mama-mama dong, katanya pemerintah mo kasih pindah dong ke Kilometer 14-16. Sa sempat heran dengan jauhnya mama-mama harus bawa kelapa dari pulau Soup ke sana. Dari Kilometer 1 ke Kilometer 14 tu jauh skali. Berapa kali ganti transportasi? Trus dong akan untung berapa? Heran sama bapak Walikota yang waktu tu lebih utamakan investor. Pentingkan investor tu sama saja prioritaskan kekayaan dan kekuasaan!

Ya, su jelas to…. Tra perlu deng yang lain-lain! Masyarakat mo mati ka? Anak kekurangan gizi ka? Anak kena Stunting ka? Rumah mau terendam air setiap banjir ka? Tra penting! Epen deng kam ka?.

***

MATAHARI mulai memancarkan cahayanya dari ufuk barat. Tetapi, belum terlihat cahaya kuning emas.

Su beberapa menit sa ada di kawasan Tembok Berlin. Rasa kebelet pipis, terpaksa sei ke rumput-rumput di pinggir tembok. Dulu, sebelum tahun 2016, tempat kencing tu di bagian air laut dan pasir. Tu dulu saat masih belum berubah seperti sekarang.

Setelah rasa aman, sa coba ambil gambar dari balik alang-alang. Begitu jepret dua gambar, handphone mulai berbunyi. Tut tut tut…. Eh, batre tinggal dua persen. Adoh, sial skali.

Sa su mati foto. Lengkap deng selfi lagi. Soalnya hari Minggu sore ini, semua orang sedang beruntung. Trada hujan. Cuaca sangat bagus. Baru matahari mau menuju keemasan. Semakin mengecil dan cantik.

Baca Juga:  KM Sanus 114 Terhambat Masuk Jita, Pemkab Mimika dan Freeport Harus Keruk Sungai

Sial betul. Sa gelisah.

Sa harus dapat foto dari momentum sore ini. Sa duduk bingung di atas bebatuan besar yang dong timbun di pante. Sa pikir cara bagemana biar dapat gambar sunset.

Sempat mau dekati mas satu deng dia pu pacar, tetapi tra jadi.

Bersyukur, sa lihat ade nona Papua. Ada empat anak. Sa ikut dari belakang, lalu panggil dorang, “Hallo.. ade, mat sore. Bisa tolong ka? Ade ambil gambar anak-anak yang lagi rame di pinggir pante ini. Kaka pu Hp mati. Sa butuh foto sekarang. Ini kaka pu nomor kontak. Minta ade pu nomor lagi.’’

Begitu berharganya foto sore ini buat sa jadi nekat. Sa arahkan ade perempuan ambil gambar. Sa lihat gambarnya. Hasil fotonya pas di hati. Sa sampekan trims sekalian minta kirim gambar-gambar tu. Lalu, sa kembali duduk di bebatuan meratapi matahari terbenam sambil marah sa sendiri yang tra cas Hp. Ya, marah karena rasa rugi skali, tra bisa foto.

“Ketika gedung reklamasi berdiri, apakah sa masih bisa melihat sunset dari balik Tembok Berlin?,” pertanyaan yang buat sa pu hati gelisah, sedih, marah, dan kecewa.

Sa bawa pertanyaan ni selama duduk di atas batu sambil lihat anak-anak remaja yang aura wajahnya happy skali.

Sa juga bertanya, apakah anak-anak remaja dan beberapa orang dewasa yang sedang datang rame-rame buat foto dan lihat matahari tenggelam, adakah sejenak berpikir tentang ini?

Sampe bayangkan 100-an anak remaja yang sedang menikmati sunset, smua berpikir apa yang sa pikir? Pikirkan dong demo pemerintah di sini berhari-hari minta reklamasi dicabut. Macam bagus saja. Kembalikan pante dan air laut kami! Biar nanti kitong akan menikmati sunset sepanjang masa. Tra akan ada tembok dan gedung tinggi yang menghalangi mata semua orang menikmati indahnya sunset.

***

Baca Juga:  Frengky Baru Jaring Aspirasi dan Berbagi di Hari Raya Idul Fitri

SETELAH beberapa waktu berlalu, proyek reklamasi di Tembok Berlin rupanya membawa dampak buruk.

Kam, sekarang masyarakat di Dom dan pulau sekitar tu su kena imbas dari proyek reklamasi.

Sa pu teman, Sisko Mofu, de cerita, dulu waktu dong kecil tu, pohon kelapa jauh dari air laut. Sekarang macam su dekat skali. Kelapa lain su tumbang karena air laut kikis pasir.

Teman ini de bilang lagi, banyak sampah botol dan plastik terdampar di pulau Dom.

Dugaan sa, bisa-bisa, suatu hari nanti, pulau Dom dan Soup semakin kecil, atau bahkan tenggelam dan hilang.

Sa kutip berita Antara News, proyek pembangunan reklamasi diperkirakan seluas 25 hektar. Area tu pace mantan Walikota Sorong bilang sebagai pusat kawasan ekonomi modern di kota Sorong. Perusahaan yang pu investasi tu, PT Indomega Cipta Bangun Citra. Perusahaan pu nama bagus skali e… Tetapi, sesuai fakta, bangun citra, bukan bangun kemanusiaan.

Ketika gedung reklamasi su tinggi, tu kan ruko-ruko yang dong bangun. Kitong lihat poster-poster iklan penjualan ruko. Pasti sunset terhalang sama ruko. Hanya orang yang punya uang yang akan menikmati sunset. Trada masyarakat dan anak remaja yang pu foto indah dengan sunset di tembok ini lagi. Kitong hanya lihat gedung megah dan tinggi. Tinggal cerita ke anak dan cucu, bahwa dulu di sini ada tembok. Orang bilang Tembok Berlin. Dulu di sini mama-mama dari pulau suka jual kelapa. Dulu di sini orang biasa duduk menikmati es kelapa, dan gorengan. Sambil menikmati indahnya sunset.

Pemerintah su kasih kering kitong pu air laut. Su trada lagi hamparan pasir di tepi pante. Dan, tembok bersejarah tu berubah sekejab. Berubah bersama ketamakan yang cenderung utamakan keinginan semata. Kebijakan lebih pro investor sembari abaikan kepentingan publik.

Akibat dari itu, kitong tra bisa lagi nikmati indahnya sunset dari tembok reklamasi ini…. (*)

Terkini

Populer Minggu Ini:

Reses DPR Provinsi, Masyarakat Mare Soroti Masalah KBM di SD YPPK...

0
“Kami minta pemerintah Maybrat terutama Dinas Pendidikan agar memperhatikan hal ini, karena menyangkut nasip anak-anak sekolah di Mare. Di dalam distrik Mare ada tiga kampung dan kampung tetangga lainnya. Anak-anak semangat bersekolah, tetapi guru sering kurang aktif mengajar,” ujar Spenyel Nauw.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.