Massa aksi membentangkan sejumlah poster berisi desakan kepada pihak kepolisian dari Polda Papua untuk segera ungkap teror bom molotov di kantor redaksi Jubi, 16 Oktober 2024 dini hari. (Dok. AWP)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Tanah Papua benar-benar berbeda dari daerah lain di negara bernama Indonesia. Nyawa orang Papua bisa lenyap kapan saja, entah dengan alasan logis maupun tidak. Napas hidup makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia ini bak dikendalikan oknum tertentu, selain tangan besi.

Hak hidup, termasuk hak memperoleh informasi, seperti tak penting. Saluran informasi pun mau disumbat, dengan apapun caranya. Aksi teror hingga pengeboman kantor redaksi pun dengan gampang saja terjadi.

Publik belum lupa dengan kejadian yang menimpa kantor media terbesar di Tanah Papua, Jubi. Kantor redaksi Jubi diserang bom molotov, Rabu, 16 Oktober 2024. Bagian dari teror kepada jurnalis dan media massa di Tanah Papua.

Dua mobil operasional kantor redaksi Jubi yang terbakar karena teror bom molotov, Rabu (16/10/2024) dini hari sekira Pukul 03.15 WP. (Supplied for Suara Papua)

Boleh jadi, konsistensi jurnalis Jubi memproduksi karya-karya jurnalistik berkelas yang sepertinya merenggut ruang kenyamanan pihak tertentu. Aksi teror individu jurnalis hingga kantor media terpaksa dilakukan dengan target mengekang kekebasan pers.

Hingga hari ini —sudah dua bulan satu minggu setelah kejadian— pelemparan dua buah bom molotov ke kantor redaksi Jubi menyisakan teka-teki tentang motif dan otak dibalik aksi teror itu. Misteriusnya kasus penyerangan ini sejatinya bagian dari upaya pembungkaman demokrasi, apapun alasannya. Kekerasan simbolis terhadap wartawan dimaknai pengekangan kebebasan pers di era teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini.

ads

Herannya, kasus bom molotor itu belum juga ditangani, apalagi mau diungkap. Padahal, tim Koalisi Advokasi Keadilan dan Keselamatan Jurnalis di Tanah Papua telah menyambangi Polda Papua menyampaikan laporan kronologi kejadian sekalian meminta diusut tuntas.

Terakhir, hari Selasa (17/12/2024) kemarin, koalisi Advokasi Keadilan dan Keselamatan Jurnalis di Tanah Papua “turun jalan” menuntut Polda Papua segera mengungkap kasus teror bom kantor Jubi. Juga penembakan terhadap advokat Yan Christian Warinussy di Sanggeng, Manokwari, Papua Barat. Aksi solidaritas berlangsung di depan Mapolda Papua setelah 62 hari lamanya tak ada kabar.

Dua Orang Eksekutor

Sebagaimana diwartakan berbagai media massa, serangan bom molotov ke kantor Jubi terjadi dini hari sekira Pukul 03.00 WIT. Pelakunya, sesuai rekaman CCTV, dua orang. Keduanya laki-laki. Saat beraksi, keduanya berboncengan menggunakan sepeda motor jenis Vario.

Terekam CCTV dua oknum pelaku teror bom molotov saat bereaksi di depan kantor redaksi Jubi pada 16 Oktober 2024. (Dok. Jubi)

Itu dibenarkan Jean Bisay, pemimpin redaksi Jubi. Jean dalam pernyataan tertulis, mengaku mendapat keterangan dari beberapa saksi. Selain dua karyawan Jubi, juga keterangan dari warga sekitar kantor redaksi Jubi.

Akibat serangan bom molotov, dua mobil operasional Jubi yang diparkir di halaman kantor redaksi Jubi terbakar dan rusak.

Kepolisian Sektor Kota Heram yang memeriksa tempat kejadian perkara memastikan itu benar bom molotov.

Baca Juga:  Mahasiswa Puncak di Gorontalo Desak Panglima TNI Usut Kasus Mutilasi Tarina Murib

Kepala Kepolisian Sektor Kota Heram, Iptu Bernadus Yunus Ick, mengatakan, masih menunggu Tim Labfor untuk mengetahui detail bahan-bahan bom molotov tersebut.

Dari rekaman CCTV, selain motor yang digunakan tanpa nomor polisi, juga pelaku mengenakan masker dan helm, sehingga wajahnya tak terlihat jelas.

Pengaduan

Selain Polda Papua, kasus tersebut telah dilaporkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) di Jalan Latuharhary Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (29/10/2024).

Berikutnya, Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) yang juga bagian dari Koalisi Advokasi Keadilan dan Keselamatan Jurnalis di Tanah Papua telah memohon Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) melindungi saksi dan korban terkait penyerangan bom molotov di kantor redaksi Jubi.

Sebagai bagian dari Koalisi Advokasi Keadilan dan Keselamatan Jurnalis di Tanah Papua, KKJ juga telah melakukan rangkaian audiensi dengan Mabes Polri dan Komisi III DPR RI untuk mendorong proses penegakkan hukum dan mencegah praktik impunitas yang mengancam kemerdekaan pers.

KKJ dideklarasikan di Jakarta, 5 April 2019. Beranggotakan 11 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil, yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Pewarta Foto Indonesia (PFI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), SAFEnet, dan Amnesty International Indonesia.

Itikad baik pihak berwenang sedang dinantikan publik untuk mampu mengungkapnya secara terang benderang.

Tetapi, apakah akan segera diusut atau malah didiamkan?. Seperti halnya kasus ledakan sebuah bom rakitan di dekat rumah pribadi Victor Mambor pada 2023 lalu.

Pertemuan tim koalisi dengan Wakapolda Papua, Brigjend Faizal Ramadhani di ruang kerjanya. (Dok. Tim Koalisi Advokasi)

Ujian Polri

Apabila akhirnya “ditenggelamkan”, tentu saja bakal bermunculan beragam pandangan. Polri akan dianggap tak bergigi dan itu sudah pasti pertama terucap sebelum argumentasi lainnya.

Berikut, dugaan turut back up bahkan terlibat juga bukan tak mungkin akan berseliweran di jagat maya.

Apalagi, sudah ramai di media sosial, bahkan saat aksi demonstrasi di depan Mapolda Papua, Selasa (17/12/2024), secara terang-terangan menyebut “diam berarti terlibat”.

Anggapan lebih ekstrem ini sudah pasti berdatangan, sebab kesan bahwa kasus ini tak dapat diungkap, sementara kasus pencurian motor dan sejenisnya dalam sekejab berhasil diungkap dan pelaku dibekuk polisi, sudah lazim dieksekusi.

Titik akhir hanya dua opsi. Pihak Polri akan cenderung mendukung aksi teror wartawan dan media massa ataukah justru lebih profesional menjalankan tugas pokok: menegakan aturan untuk membasminya dengan cara mengusut tuntas?.

Baca Juga:  Dinilai Langgar Aturan, PBHKP Gugat Pansel DPRP PBD ke PTUN Jayapura

Sasar Pribadi Hingga Kantor

Jauh sebelum yang ini, sejumlah serangan yang menarget pribadi jurnalis dialami Victor Mambor, pemimpin umum Jubi yang juga CEO PT Media Jubi Papua.

Victor Mambor mengaku telah beberapa kali mengalami serangan teror yang diduga terkait dengan kerja-kerja jurnalistik di media Jubi.

Selain media online, Jubi juga menerbitkan koran cetak. Koran harian bernama Koran Jubi.

Mulai dari intimidasi melalui media sosial, teror dan komentar bernada provokatif, hingga berujung pada perusakan mobil miliknya pada tahun 2021.

Selain menyerang Victor Mambor, saat itu konten bernada negatif yang menyudutkan Jubi juga bermunculan di media sosial.

Pada tahun 2023, sebuah bom rakitan meledak di dekat rumahnya. Kasus ini tak dituntaskan, malah dipetieskan.

“Saya sebenarnya sudah mati rasa, mau lakukan apa [terhadap saya], terserahlah. Saya sudah tidak peduli lagi,” kata Mambor, dilansir BBC News Indonesia edisi Kamis (31/10/2024).

Sikap seolah pasrah itu lantaran kasus yang dialami tak pernah ditangani pihak berwajib. Bahkan, terkesan benar pelaku makin dilindungi kepolisian. Itu ditandai dengan pemberhentian proses penyelidikan.

Victor Mambor, jurnalis senior Papua. (Dok. Suara Papua)

“Saya juga sangat marah. Saya sangat kecewa. Karena saya berkali-kali mengalami ini dan tidak pernah diselesaikan,” tuturnya.

Serangkaian aksi teror yang dialami Victor Mambor belum pernah ditangani serius, muncul lagi yang terbaru adalah kantor redaksi Jubi dilempari bom molotov.

Jurnalis senior ini sejatinya tak pernah menyangka bila teror tersebut kemudian akan menyasar kantor tempat medianya bekerja.

“Saya merasa menjadi beban.”

“Saya hanya berpikir bahwa serangannya akan terus-terusan ke saya, ke rumah saya. Ternyata [serangan] mereka mulai ke kantor [Jubi]. Ini mengubah cara berpikir saya, perlahan-lahan saya harus keluar dari lingkaran Jubi,” ungkap Victor.

Semula ia berpikir, resiko pekerjaan jurnalis hanya akan berdampak pada diri dan keluarganya. Tetapi rupanya yang terjadi kemudian, serangan itu menjalar hingga ke kantor medianya.

Kendati begitu, ia tegaskan tak akan berhenti jadi wartawan.

“Saya tidak pernah rasa takut. Saya tetap akan seperti ini,” ujar Mambor.

Solidaritas anti teroris ketika menggelar aksi demonstrasi damai menuntut diungkapnya pelaku bom molotov di kantor Jubi. (Supplied for Suara Papua)

AJI Akui Banyak Kasus

Selama ini kasus kekerasan jamak dialami wartawan saat menjalankan tugas jurnalistik. Termasuk larang liput hingga teror dan intimidasi wartawan.

Pada 2023, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat sedikitnya 89 kasus serangan dan hambatan yang menarget jurnalis dan organisasi media. Sebanyak 83 individu, 5 kelompok jurnalis, dan 15 media menjadi korban.

Baca Juga:  Mahasiswa Papua di Manado Minta Komnas HAM RI Investigasi Kematian Goliat Sani di Intan Jaya

Kasus kekerasan tertinggi menimpa jurnalis atau media yang melaporkan isu-isu terkait akuntabilitas dan korupsi (33 kasus), diikuti isu sosial dan kriminalitas (25 kasus), isu lingkungan dan konflik agraria (14 kasus), serta isu politik dan Pemilu (lima kasus).

Jumlah ini naik dibandingkan tahun 2022, yaitu sebanyak 61 kasus. Dan, 41 kasus pada 2021.

Tahun ini, terutama sepanjang Januari-Oktober 2024, AJI mendokumentasikan 57 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media massa. Sembilan kasus diantaranya terjadi dalam bulan September-Oktober 2024.

Data AJI, selama ini kebanyakan laporan kekerasan terhadap wartawan berujung tanpa penyelesaian. Dari total 89 kasus sepanjang 2023, 20 di antaranya telah dilaporkan polisi. Tetapi sebagian besar yakni 13 kasus belum ada tindak lanjut, tak ada keterangan dan belum ada pelaku yang ditetapkan sebagai tersangka.

“Hal ini menyebabkan impunitas dan siapa pun jadi berani melakukan kekerasan pada jurnalis karena memang tidak akan pernah dihukum,” tukas Nany Afrida, ketua umum AJI.

Sejumlah jurnalis membentangkan poster yang bertuliskan ‘hentikan terorisme dan jaga kebebasan pers, kekerasan bukan jawaban’ saat aksi demo damai di Taman Imbi Kota Jayapura, Rabu (23/10/2024). Aksi itu menuntut Polda Papua ungkap kasus pelemparan bom molotv di kantor Jubi pada 16 Oktober 2024. (Dok. Koalisi Advokasi)

Tingkat Kritis

Dari data Observatory of Killed Journalists, hampir 9 dari 10 kasus pembunuhan jurnalis masih belum terselesaikan secara hukum.

Laporan Situasi Kebebasan Pers yang dirilis AJI pada 2023 menemukan situasi keamanan jurnalis dan media semakin mengkhawatirkan. Dari total 89 kekerasan yang terjadi, jenis kasus tertinggi berupa teror, intimidasi dan ancaman sebanyak 26 kasus.

Diikuti kemudian kekerasan fisik sebanyak 18 kasus, serangan digital 14 kasus, larangan liputan 10 kasus, penghapusan hasil liputan tujuh kasus, perusakan dan perampasan alat kerja 5 kasus, serta kriminalisasi dan gugatan perdata 4 kasus.

Sementara pelaku kekerasan terbanyak pada jurnalis dan media adalah aktor negara sebanyak 36 kasus. Kemudian diikuti pelaku dari aktor non-negara sebanyak 29 kasus, dan tidak teridentifikasi sebanyak 24 kasus.

Indonesia Terburuk

Indonesia meski disebut negara demokrasi, kebebasan pers belum sepenuhnya bebas. Bahkan nyawa jurnalis di ujung kuku. Negara ini punya dasar hukum yakni Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers, perlindungan bagi jurnalis hanya di atas kertas.

Itulah sebabnya, Indeks Kebebasan Pers Indonesia belum pernah masuk kategori bebas. Setidaknya bertolok dari laporan Reporters Without Borders (RSF) dalam 10 tahun terakhir, kebebasan pers di Indonesia tak pernah beranjak dari level situasi sulit. Bahkan, dari Indeks Kebebasan Pers sedunia yang dirilis RSF pada 2024, Indonesia ada di urutan ke-111 dari 180 negara di dunia. Miris!. []

Artikel sebelumnyaDoa dan Donasi Buat Warga Oksop di Lokasi Pengungsian
Artikel berikutnyaPengungsi Distrik Koroptak Nduga Akhirnya Tiba di Kota Wamena