JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Tindakan kekerasan oleh oknum anggota Kepolisian terhadap 4 jurnalis di Nabire, ibu kota provinsi Papua Tengah, Jumat (5/4/2024), dikecam sejumlah organisasi pers: Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Asosiasi Wartawan Papua (AWP), serta advokat ternama di Tanah Papua.
Berdasarkan data-data yang dihimpun tim Advokasi AWP, jurnalis yang diintimidasi, diantaranya Yulianus Degei (papua.tribunnews.com), Melkianus Dogopia (tadahnews.com), Elias Douw (wagadei.id), dan Christian Degey (seputarpapua.com). Tak hanya intimidasi, larang meliput, rampas alat kerja, bahkan hingga tindakan pengeroyokan, dialami empat wartawan di tiga lokasi berbeda.
Menyikapi kejadian tersebut, Elisa Sekenyap, ketua AWP, menyebut tindakan aparat kepolisian sudah menghalangi kerja-kerja jurnalis.
“Kami sesalkan tindakan itu. Mengapa halangi kerja-kerja jurnalis, sedangkan teman-teman jurnalis sudah tunjukan kartu pers, namun tetap diintimidasi, aksi kekerasan fisik maupun ujaran,” kata Elisa dalam siaran persnya, Jumat (5/4/2024) malam.
Menurutnya, jurnalis melaksanakan tugas sudah sesuai Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Mestinya, lanjut Elisa, aparat kepolisian tidak lakukan kekerasan terhadap jurnalis saat bertugas di lapangan.
“Tindakan dari aparat kepolisian di Nabire saat jurnalis meliput aksi demo itu sudah melanggar ketentuan dari Undang-undang Pers. Karena jurnalis dilindungi oleh Undang-undang tersebut, namun mereka dibatasi dan tindakan lainnya.”
“Selaku ketua AWP, saya sesalkan kejadian itu. Seharusnya tidak boleh dilakukan oleh teman-teman Kepolisian,” ujar Elisa.
Kendati setelah beberapa jam kemudian Kapolres Nabire AKBP Wahyudi Satriyo Bintoro telah memanggil empat jurnalis yang menjadi korban dan meminta maaf, namun menurut Elisa, tindakan anggotanya adalah contoh yang buruk.
“Untuk itu, kedepan teman-teman polisi melihat tugas wartawan sebagai hal yang penting,” pintanya.
Elisa juga berterimakasih kepada Kapolres Nabire atas langkah cepat terhadap tindakan tak terpuji tersebut.
“Saya ucapkan terimakasih kepada Kapolres yang boleh merespons dan ambil langkah cepat untuk memanggil wartawan yang menjadi korban sekaligus untuk meminta maaf,” katanya.
Upaya Kapolres Nabire dinilai sangat baik. Karena telah menyadari tindakan dari anggotanya di lapangan.
Pasca kejadian ini, ketua AWP berharap, anggota kepolisian di Nabire mesti diberi pemahaman tentang tugas dan tanggung jawab wartawan dalam melakukan peliputan.
“Sehingga tidak dengan segera mengintimidasi seperti yang terjadi kepada empat wartawan di Nabire,” ujarnya.
Ditegaskan lagi, jangan karena melihat wartawan adalah orang Papua, sehingga dengan mudah mengintimidasi.
“Ada kata-kata yang dikeluarkan sangat tidak etis. Ini tidak boleh lagi dilakukan. Ini namanya diskriminasi terhadap wartawan Papua yang meliput aksi demo. Wartawan ketika meliput mengambil posisi di massa aksi atau tidak itu bukan alasan untuk mengintimidasi dan lain-lain,” timpalnya.
Proses Pelaku
Kejadian yang menimpa empat wartawan di Nabire disesalkan Lucky Ireeuw, ketua AJI Jayapura.
Lucky menilai tindakan petugas keamanan melanggar peraturan perundang-undangan, juga turut merusak citra demokrasi Indonesia terutama perlindungan dan jaminan bagi jurnalis dalam menjalankan tugas jurnalistik.
Terhadap aksi pengeroyokan hingga perampasan alat kerja jurnalis di Nabire, AJI Jayapura rilis beberapa poin pernyataan sikap.
Pertama, tindakan para petugas keamanan mengusir serta dugaan mengintimidasi secara verbal merupakan tindakan merusak citra demokrasi Indonesia khususnya pada perlindungan dan jaminan ruang aman untuk jurnalis dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
“Tindakan tersebut bahkan dapat dianggap sebagai pelanggaran Undang-undang Republik Indonesia nomor 40 tahun 1999 tentang Pokok-pokok Pers terutama Pasal 18 ayat (1),” ujarnya.
Tertulis di sana, kutip Lucky, “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Kedua, mendorong semua pihak menghormati dan memberikan perlindungan hukum terhadap jurnalis yang melaksanakan tugas profesinya berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
“Jurnalis memiliki hak dan mendapatkan perlindungan hukum dalam hal sedang menjalankan fungsi, hak, kewajiban dan perannya yang dijamin Pasal 8 Undang-undang Pers. Perlindungan hukum itu dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat,” ujar Lucky.
Ketiga, mendesak semua pihak termasuk aparat keamanan berhenti menghalang-halangi dan membatasi kerja jurnalis yang berujung menghambat hak publik untuk mendapat informasi.
Sementara, Hans Bisay, ketua PWI Papua, menyatakan, oknum polisi yang melakukan kekerasan terhadap empat wartawan di Nabire harus dikenakan sanksi hukum sesuai aturan institusi kepolisian.
“Kapolres Nabire harus menindak tegas anggotanya yang terlibat melakukan kekerasan terhadap wartawan yang sedang menjalankan tugas jurnalistik,” ujar Hans.
Emanuel Gobay, direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, juga senada.
Gobay bahkan menyayangkan tindakan main hakim sendiri yang diperlihatkan oknum polisi dari Polres Nabire. Menurutnya, hal tersebut tidak dapat dibenarkan karena telah melanggar Undang-undang Pers.
“Para pelaku harus ditindak tegas,” ujar Emanuel.
Terpisah, Yan Christian Warinussy, direktur eksekutif Lembaga Penelitian Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, oknum polisi tersebut harus diproses menurut hukum hingga dibawa ke pengadilan.
Warinussy menyatakan, tindakan dari anggota Polres Nabire dikategorikan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime againts humanity) sekaligus bentuk arogansi kekuasaan yang mencoreng nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia yang berlaku universal sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“Di sisi lain, perbuatan para oknum anggota Polres Nabire merupakan tindakan yang melanggar prinsip-prinsip kebebasan pers dalam negara demokrasi dan negara hukum Republik Indonesia yang diatur di dalam Undang-undang Pers,” ujarnya.
Undang-undang Pers mengatur sejumlah ketentuan termasuk siapapun tak berhak melarang wartawan melakukan tugas jurnalistik. Tetapi, fakta berbeda terjadi di Nabire itu bagian dari pengekangan kebebasan pers nasional.
Menurut Warinussy, kekerasan fisik dan verbal yang dialami empat jurnalis muda tak bisa diselesaikan hanya dengan sampaikan permintaan maaf.
“Tidak cukup dengan minta maaf saja, atau ajak coffee morning. Penyelesaiannya mesti melalui jalur hukum,” tegas mantan wartawan Cenderawasih Pos (Cepos) era 90-an itu. []