ArsipDesember Papua Selalu Kelam dan Memilukan

Desember Papua Selalu Kelam dan Memilukan

Senin 2015-12-07 10:30:41

Suasana damai seperti sulit tercipta di Tanah Papua. Ada saja peristiwa berdarah terjadi, apalagi jelang Natal.

Oleh: Yan Christian Warinussy*

Tanah Papua semenjak 1 Mei 1963 secara politik dari sisi administrasi pemerintahan telah beralih kedudukannya dari salah satu Provinsi atau Onderafdeling pada jaman Pemerintahan Netherlandsch Nieuw Guinea menjadi salah satu provinsi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan nama Provinsi Irian Barat.

Keberadaan Provinsi Irian Barat sebagai bagian integral dari NKRI ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1969 Tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-kabupaten Otonom Di Provinsi Irian Barat.

Kala itu, terdapat 9 kabupaten di provinsi Irian Barat; pertama, Kabupaten Jayapura yang meliputi wilayah Kepala Pemerintahan Setempat (KPS) Mamberamo, Keerom, Sarmi dan Dafonsoro. Kedua, Kabupaten Biak Numfor yang meliputi KPS Biak, Numfor dan Supiori.

Ketiga, Kabupaten Manokwari yang meliputi KPS Manokwari, Ransiki, Wasior dan Bintuni. Keempat, Kabupaten Sorong yang meliputi KPS Sorong, Raja Ampat, Teminabuan dan Ayamaru. Kelima, Kabupaten Fakfak yang meliputi KPS Fakfak, Kaimana dan Mimika.

Keenam, Kabupaten Merauke yang meliputi KPS Merauke, Tanah Merah, Mindiptana, Agats dan Mapi/Kepi. Ketujuh, Kabupaten Jayawijaya yang meliputi KPS Baliem, Bokondini, Tiom dan Oksibil.

Kedelapan, Kabupaten Paniai yang meliputi KPS Nabire, Tigi, Enarotali dan Ilaga. Kesembilan, Kabupaten Yapen Waropen yang meliputi KPS Yapen dan Waropen.

Semenjak itu, proses administrasi pemerintahan secara langsung beralih dari Pemerintahan Netherlandsch Nieuw Guinea ke NKRI, dan penggunaan Bahasa Belanda dahulu diganti dengan Bahasa Indonesia.

Pegawai-pegawai instansi pemerintah seperti Dinas Pekerjaan Umum (DPU), Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dinas Perhubungan, Rumah Sakit, Kepolisian dan sebagainya beralih dari pegawai Belanda menjadi Pegawai Indonesia.

Bersamaan dengan itu, proses pendidikan di sekolah-sekolah juga berubah dari kurikulum Belanda menjadi kurikulum Indonesia dan awalnya memang banyak guru-guru didikan Belanda dahulu yang ikut menjadi tahanan-tahanan politik di sejumlah penjara-penjara yang dikuasai TNI Angkatan Darat maupun Angkatan Laut pada sekitar tahun 1969-1972.

Juga, sejumlah pegawai-pegawai instansi pemerintah, mantri, para medis dan karyawan badan usaha swasta ketika itu, sempat menghuni penjara-penjara tersebut selama lebih dari 3 tahun.

Mereka sempat menghabiskan masa perayaan Natal dan tahun Baru pada tahun-tahun tersebut di balik jeruji besi alias penjara tanpa pernah diadili untuk mempertanggungjawabkan tuduhan yang ditimpakan Negara kepada mereka masing-masing.

Jadi, situasi di Tanah Papua sejak 1969 hingga 1972 itu memang sangat mencekam dan sebenarnya hingga dewasa ini jelang akhir tahun 2015 pun selalu kelam dan memilukan.

Belakangan pada tahun 1999, Provinsi Irian Jaya yang dahulu bernama Irian Barat berganti namanya menjadi Provinsi Papua dan resmi disahkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Kemudian pada tahun 2003, terjadi peristiwa politik pemekaran Provinsi Papua menjadi dua provinsi, yaitu Provinsi Papua dan Papua Barat yang disahkan menjadi provinsi yang juga menjadi objek dari pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Khusus tersebut berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2008.

Sejak tahun 2003 hingga kini, di Bumi Cenderawasih ini terdapat dua provinsi otonomi khusus, yaitu Provinsi Papua dengan ibukota di Jayapura, dan Provinsi Papua Barat dengan ibukota di Manokwari.

Selanjutnya pada hari-hari setiap jelang Natal 25 Desember di Tanah Papua sepanjang 10 tahun terakhir ini senantiasa tak pernah lepas dari adanya kekerasan yang mengakibatkan jatuhnya korban nyawa manusia tidak berdosa. Situasi keamanan di berbagai belahan Bumi Cenderawasih ini selalu terdengar ada penembakan yang diduga keras selalu dilakukan oleh aparat TNI atau Polri terhadap warga sipil tak bersenjata dan selalu sulit diungkapkan siapa pelakunya? Atau siapa yang seharusnya bertanggungjawab? Atau institusi mana yang harus mempertanggungjawabkan perbuatan/peristiwa tersebut?

Kasus Lapangan Karel Gobai Enarotali, Kabupaten Paniai, Provinsi Papua pada tanggal 8 Desember 2014 belum hilang dari ingatan kita semua, lebih kurang 5 orang pelajar Orang Asli Papua (OAP) tewas tertembak senjata aparat keamanan yang bertugas saat itu di sana.

Sayangnya, sampai hari ini belum ada penyelesaian secara hukum atas kasus yang menurut investigasi awal Komnas HAM sebagai institusi yang berkompeten secara hukum menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.

Menurut hasil investigasi/penyelidikan awal tersebut, Komnas HAM menyimpulkan dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 7 dan Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000.

Hingga saat ini, menjelang peringatan 67 Tahun Hari HAM se-Dunia, tanggal 10 Desember 2005, Komnas HAM tidak bisa melanjutkan investigasi HAM sebagaimana diatur di dalam Pasal 18 dan Pasal 19 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.

Alasannya, Komnas HAM tidak memiliki dana untuk melakukan investigasi lanjutan, kendatipun sudah dibentuk Tim Ad Hoc sesuai amanat Pasal 18 ayat (2) dari Undang-Undang Pengadilan HAM.

Sementara itu, baru saja terjadi peristiwa-peristiwa penembakan warga sipil oleh aparat TNI/Polri yang diduga keras mengandung indikasi dan dimensi pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Peristiwa tersebut terjadi di Wamena, Timika dan Kabupaten Kepulauan Yapen di Provinsi Papua.

Namun sayangnya, lagi-lagi Pemerintah maupun institusi yang berkompeten seperti Komnas HAM tidak segera bertindak melakukan penyelidikan berdasarkan amanat aturan perundang-undangan yang berlaku.

Sehingga semua tindakan aparat keamanan (TNI/Polri) yang seringkali diduga keras melakukan tindakan penembakan dan atau pembunuhan secara kilat (summary execution) terhadap warga sipil OAP di atas tanah ini selalu tidak pernah tersentuh secara hukum (impunitas/impunity).

Bulan Desember setiap tahunnya dalam 10 tahun terakhir ini saja selalu tidak pernah menjadi bulan yang penuh Berkat dan Damai sebagaimana tersirat di dalam pesan-pesan Natal atau tema-tema Natal yang dikeluarkan oleh Gereja-gereja di Indonesia dan di Tanah Papua.

Seperti tidak tampak adanya kemampuan dari para pejabat tinggi militer dan polisi yang bertugas dan memiliki wewenang penuh di Tanah Papua untuk menghadirkan suasana nyaman, aman dan damai dari waktu ke waktu pada setiap bulan Desember.

Saat dimana Umat Kristiani di Bumi Cenderawasih ini selalu mempersiapkan diri melalui empat minggu Adventus (minggu penantian) sebelum memasuki Natal dengan harapan akan hadirnya kenyamanan, keamanan dan damai yang sangat “mahal” harganya di Tanah Papua.

*Penulis adalah Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Peraih “John Humphrey Freedom Award” Tahun 2005 dari Canada, dan Pembela HAM (Human Rights Defender) di Tanah Papua.

Terkini

Populer Minggu Ini:

DKPP Periksa Dua Komisioner KPU Yahukimo Atas Dugaan Pelanggaran KEPP

0
“Aksi ini untuk mendukung sidang DKPP atas pengaduan Gerats Nepsan selaku peserta seleksi anggota KPU Yahukimo yang haknya dirugikan oleh Timsel pada tahun 2023. Dari semua tahapan pemilihan komisioner KPU hingga kinerjanya kami menilai tidak netral, sehingga kami yang peduli dengan demokrasi melakukan aksi di sini. Kami berharap ada putusan yang adil agar Pilkada besok diselenggarakan oleh komisioner yang netral,” kata Senat Worone Busub, koordinator lapangan.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.