ArsipKemiskinan Struktural Jadi Pemicu Konflik Di Daerah Pendulangan Emas Timika

Kemiskinan Struktural Jadi Pemicu Konflik Di Daerah Pendulangan Emas Timika

Rabu 2014-06-25 09:44:00

Memasuki awal tahun 2013, hampir tak terdengar berita konflik dari tanah Amungsa.  Saya merasa senang dan bersyukur, sebab kedamaian yang dirindukan itu sudah tercipta disana.

Namun sayang, pada 15 Maret 2013 lalu, konflik kembali pecah di Timika, tepatnya di area pendulangan emas, Mile 34, yang merupakan areal milik PT Freeport Indonesia.

Menurut laporan beberapa media, peristiwa ini terjadi lantaran tuduhan pencurian dari kelompok suku Kei terhadap dua orang suku Damal.

Tuduhan tersebut sempat ditepis oleh dua warga suku Damal itu, bahwa mereka bukan pelakunya, mereka secara  kebetulan lewat disitu untuk mengecek jerat.

Tak yakin dengan alasan tersebut, kelompok suku Key itu langsung menganiaya kedua orang itu. Satu berhasil meloloskan diri dan satunya lagi menjadi korban namun ditemukan dalam keadaan masih hidup.

 

Warga Damal yang tidak menerima ada korban di pihaknya, lalu melakukan penyerangan ke area penambangan. Dalam peristiwa ini dilaporkan bahwa 2 orang meninggal dunia, yakni Etimus Mom (warga Damal) dan Rizal (warga Bugis).

Membaca berita ini saya bertanya, apakah situasi seperti ini dirancang pihak ketiga untuk mendapatkan keuntungan dari kemungkinan konflik yang lebih besar? Kenapa sejak awal pemerintah dan pihak keamanan tidak melarang warga melakukan pendulangan di area yang sebenarnya berbahaya?

Entalah! Tapi demikianlah realita hidup diwilayah pertambangan/pendulangan emas dimana saja. Apalagi masyarakatnya hidup dalam kemiskinan di atas kekayaan yang melimpah. Kemiskinan selalu membuat orang tak pedulih dengan kemungkinan bahaya bagi kebelanjutan hidupnya.

Demi sesuap nasi, mereka relah bergumul dengan limbah. Konflik antar kelompok karena perebutan lokasi pendulangan bahkan dengan pihak perusahan juga dengan pihak keamanan hampir terus terjadi.

Belum lagi kematian akibat limbah pabrik. Kondisi yang sungguh memprihatikan. Jika demikian, siapa yang salah, rakyatkah atau negara?

Penyebab konflik yang dilaporkan media itu barangkali adalah percikan dari masalah mendasar yang tersembunyi. Bagi saya, orang Damal dan orang Key bahkan suku-suku yang lainnya berburuh emas hanya karena masalah sebuah piring.

Dan saya lihat masalahnya ada disitu. Sebagai manusia normal mereka butuh makan, tapi jika makan mereka dicuri atau dirampas pasti akan terjadi konflik. Apalagi kalau image buruk terhadap suku yang lain sudah tersimpan di otak.

Terlepas dari itu, barangkali salah satu akar masalahnya adalah akibat kemiskinan struktural yang tercipta diwilayah itu.

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang muncul bukan karena takdir, malas, atau karena keturunannya miskin, namun kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang hadir dari suatu usaha pemiskinan.

Pemiskinan yang dilakukan oleh sebuah sistem Negara. Para pakar strukturalis menyatakan bawah kemiskinan ini timbul karena adanya hegemoni dan karena adanya kebijakan negara, dimana orang yang termarjinalkan semakin dimarjinalkan.

Kelompok-kelompok suku yang melakukan pendulangan emas itu tidak lain karena tertutupnya akses mereka terhadap hak sosial, politik dan ekonomi.

Hal ini terjadi lantaran pemerintah dan perusahan PT.Freeport menutup mata terhadap kebutuhan-kebutuhan hidup mereka terutama warga asli yang mempunyai hak penuh atas ulayatnya.

Ini seperti yang dikatakan oleh peraih hadiah Nobel ekonomi dari India, Amartya Sen (Development as Freedom, 1996), “Kelaparan dan kemiskinan di negara berkembang terjadi bukan karena tidak tersedianya bahan makanan, tetapi karena masyarakat tidak memiliki kebebasan dalam memperoleh akses itu”.

Akibatnya, masyarakat kemudian terjebak pada "ketidakberuntungan ganda" (coupling disadvantage) antara kemiskinan dan hilangnya hak-hak sosial, politik dan ekonomi mereka.

Padahal, hingga tahun 2012, APBD yang ditetapkan pemerintah setempat sebesar Rp1,465 triliun, sementara dana hiba yang selalu diterima dari PT.Freeport berkisar antara 400-500 milyar pertahunnya (Koran Bisnis Indonesia).

Belum lagi dengan sumber lainnya. Saya rasa sumber-sumber dana yang ada sangat cukup untuk mengangkat masyarakat setempat dari kemiskinan jika dikelola dengan bijak.

Dalam negara berkembang hal seperti ini selalu terjadi. Dana selalu melimpah namun biasanya para pengelolanya belum mampu untuk mengurus dana-dana itu. Tapi juga kadang mereka pintar merekayasa.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk mendapatkan suatu proyek pembangunan dari anggaran Negara biasanya dilakukan dengan berbagai triks dan intrik. Pemenang proyek biasanya juga harus menyetor fee kiri-kanan.

Banyak dana yang selalu dihabiskan untuk pembelanjaan fasilitas kantor dan pembangunan infrastruktur. Akibatnya, pembangunan di bidang kesejahteraan hidup rakyat terabaikan dan kemiskinan pun menjalar kemana-mana.

Barangkali hal ini juga yang terjadi di Timika sehingga rakyat berburuh remah-remah yang dijatuhkan oleh PT. Freeport disana, hingga terjadi konflik diantara mereka.

Untuk warga masyarakat yang menjadi korban kiranya menjadi tanggung jawab pemerintah dan PT.Freeport.

Mengapa saya katakana demikian, karena, pertama, pemerintah dan Freeport gagal mendongkrak angka kemiskinan di daerah itu sementara dana pembangunan cukup besar.

Kedua, pemerintah dan Freeport sudah mengetahui bahwa daerah itu berbahaya bagi manusia lantaran airnya terkontaminasi limbah tailing namun masyarakat dibiarkan mendulang. Bukan tak mungkin, pasti ada masyarakat yang sudah menjadi korban lantaran air limba tailing itu.

Dan ketiga, tak ada upaya pencegahan dari pemerintah dalam mengamankan area pendulangan dan  masyarakat padahal mereka sudah tahu bahwa di wilayah-wilayah seperti itu mudah terjadi konflik.

Semoga konflik ini tak meluas, agar tidak menguntungkan pihak-pihak yang memanfaatkan situasi seperti ini untuk mempertebal dompet mereka.

*Naftali Edoway adalah pemerhati masalah sosial di tanah Papua.

Terkini

Populer Minggu Ini:

Kerusuhan di Kaledonia Baru: Ketidaknyamanan Mulai Muncul Saat Bala Bantuan Tiba

0
"Pacific Elders' Voice siap membantu dalam mendorong dialog dan kemajuan untuk memastikan penyelesaian situasi yang telah berlangsung lama di Kaledonia Baru, yang mengancam perdamaian dan kemajuannya, serta memastikan keadilan bagi masyarakat Kanaky dalam upaya mereka untuk mendapatkan martabat dan hak asasi manusia."

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.