Gereja Keuskupan Jayapura Di Tengah Pergumulan Hidup OAP

0
3084

Oleh: Mecky Mulait, Pr)* 

Wajah Gereja Katolik bahkan Kristen umumnya di era Otsus, 2001, terjadi perubahan yang amat besar. Sebelum Undang-undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 untuk Provinsi Papua diberlakukan pada tahun 2002, laju pertumbuhan penduduk non Papua tidak begitu signifikan, sehingga masih didominasi Orang Asli Papua. Namun semenjak UU Otsus diberlakukan, penyebaran penduduk dari berbagai daerah jauh lebih cepat dan menghiasi wajah Papua yang multi kultural.

Tingginya migrasi di Papua pernah diakui oleh mantan gubernur Papua, Barnabas Suebu di hadapan rakyat pada tahun 2010 bahwa jumlah migrasi di Papua cukup tinggi bahkan lebih tinggi di dunia karena mencapai 15% per tahunnya, padahal normalnya hanya 1%. Kepala Dinas Perhubungan provinsi Papua menyebutkan pada Maret 2014 jumlah migran yang masuk ke Papua sebanyak 13.000 orang. Jumlah itu kemudian meningkat pada tahun 2015 sebanyak 15.000 orang. Data ini belum termasuk untuk empat tahun terakhir ini (20016-2019).

Sementara itu, sebuah penelitian yang dilakukan dalam forum Indonesian Solidarity and the West Papua Paper Project di Sidney, Australia, 9-10 Agustus 2017, Dr. Jim Elmslie memprediksi populasi penduduk non Papua pada tahun 2020 akan meningkat tajam menjadi 70,8% dari total 6,7 juta penduduk Papua. Yang lebih mengkhawatirkan dari itu, pada 2030 Elmslie memprediksi penduduk asli Papua hanya 15,2% dari 15,6 juta jiwa penduduk Papua. Dengan bahasa lain, perbandingan penduduk antara asli Papua dan non Papua pada 2030 akan mencapai 1:6,5 (Haluk, 2015: 13-18).

Ancaman degradasi populasi penduduk asli Papua yang tajam itu sesungguhnya menjadi kekhawatiran tersendiri bagi orang asli Papua. Situasi pendidikan dan kesehatan yang buruk, tingkat kemiskinan yang tinggi (urutan pertama secara nasional), pembangunan infrastruktur yang jauh tertinggal menjadi pergumulan tersendiri bagi orang Papua. Kalau kita melihat secara kritis, akar masalah dari kehidupan yang tidak normal itu merupakan buah dari perdebatan pandangan politik antara Papua merdeka (M) harga mati versus NKRI harga mati.

ads

Hasil perkembangbiakan perbedaan sikap tanpa kompromi itu oleh tim peneliti Papua, LIPI (2004) dikategorikan dalam empat isu strategis sebagai sumber konflik: Sejarah integrasi Papua ke dalam wilayah NKRI dan identitas politik orang Papua, kekerasan politik dan pelanggaran HAM, gagalnya pembangunan di Papua dan inkonsistensi pemerintah dalam implementasi Otsus serta marginalisasi orang Papua, (Muridan, 2009: 6-7).

Itulah sebabnya, Prof. Nico Syukur Dister, guru besar STFT “Fajar Timur” dalam artikelnya “Peranan Gereja Katolik Terhadap Situasi Papua” menegaskan apapun niat baiknya pembangunan yang dilakukan pemerintah pusat untuk orang Papua, tidak akan memberhentikan niatnya untuk menentukan nasib sendiri. Dan itu akan berbenturan dengan pihak keamanan yang menjaga kedaulatan negara.

Selanjutnya Pater Nico menganjurkan supaya para pimpinan Gereja Katolik Papua untuk mengambil sikap yang lebih jelas dan tegas dalam keberpihakannya, (SKPKC, 2 Juni 2017). Gereja Katolik di Papua sedang berziarah dalam situasi pergumulan umat Tuhan demikian.

Posisi Gereja Keuskupan Jayapura

Lalu, sejauhmana Gereja Keuskupan Jayapura (GKJ) berperan di tengah pergumulan dan pertanyaan masyarakat Papua demikian? Gereja tidak mungkin dan tidak dapat berdiri hanya pada satu kelompok umat dan mengeksklusifkan kelompok yang lain. Gereja sebagai bunda merangkul semua orang apapun kepentingan dan perbedaan politiknya karena Gereja merupakan sakramen keselamatan bagi semua orang (LG. 5, 7).

Meskipun demikian, itu tidak berarti membuat Gereja Katolik merelatifkan keberpihakannya. Berpihak berarti ada suatu sikap yang jelas dan tegas di mana Gereja mesti berdiri dan mengarahkan diri dalam melaksanakan misi keselamatan Kristus yang diembannya. Gereja mesti bersikap kepada siapa harus berpihak sesuai dengan kebenaran sabda Ilahi yakni Yesus Kristus.

Oleh karenanya, Gereja Keuskupan Jayapura misalnya dalam merumuskan arah dasar Gerejanya, terjadi perubahan seturut dengan situasi dan perkembangan umat yang semakin heterogen itu. Hal ini bisa dilihat dari hasil Sinode 2006 di mana peserta sinode bergumul selain pengakaran Gereja pada jati diri dan budaya Papua, menjadikan pergumulan Papua adalah pergumulan Gereja, tetapi juga tetap terbuka dengan perkembangan baru yang terjadi dalam hidup bermasyarakat meskipun perwujudan amanat sinode tidak semudah yang diharapkan, (Membangun Gereja Mandiri Yang Misioner Keuskupan Jayapura, 2006: 22-48). Maka, paham eklesiologi yang tersirat dari pergumulan itu adalah Gereja sebagai persekutuan. Gereja tidak hanya identik dengan uskup, imam, biarawan-biarawati atau bahkan para misionaris. Tetapi Gereja itu kita semua yang percaya akan Allah dan bersatu dalam Yesus Kristus, meskipun karena panggilan dan fungsinya hendak melaksanakan tugas dalam tuntutan yang berbeda.

Gereja juga tidak eksklusif hanya bagi golongan atau kelompok tertentu, tetapi untuk semua orang apapun latar belakangnya. Maka, sejauhmana GKJ berusaha menterjemahkan misi itu menjadi tugas dan tanggung jawab kita sebagai anggota Gereja.

Secara praksis, Gereja tentu melakukan banyak hal sesuai arah dasar misinya, meskipun masih banyak kritikan yang mesti menjadi catatan dalam membenahi diri demi efektifitas misi yang dijalankannya. Buku “Menjadi Gereja Yang Berjalan Bersama Papua: Narasi Historis 50 Tahun Terakhir Keuskupan Jayapura”, hasil telusuran Eddy Kristiyanto, doktor sejarah Gereja selama 6 tahun (2011-2016) secara implisit mengungkapkan pergumulan dan perjuangan Gereja Katolik keuskupan Jayapura di tengah peliknya persoalan Papua. Buku ini memang tidak representatif untuk 5 keuskupan di Tanah Papua, di mana masing-masing keuskupan memiliki konteks persoalan lokalnya. Namun satu hal yang membuat wajah Gereja di Papua muncul mirip adalah pergumulan orang Papua terhadap nasib dan masa depan hidupnya.

Ancaman eksistensi orang Papua terjadi di segala lini kehidupan yang dalam UU Otsus dikategorikan 5 aspek pembangunan (pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial budaya dan infrastruktur) serta kasus-kasus pelanggaran HAM sampai kini menambah luka traumatis dalam hati dan jiwa orang Papua. Pelaku terhadap ancaman eksistensi orang Papua pun tidak hanya oleh militer, tetapi juga oleh pemerintah daerah yang bermental korup, (Tukan, 2009: 34-35).

Baca Juga:  Klasis GKI Sentani, Klasis Tertua dan Klasis Pertama di Seluruh Wilayah Uzv-Papua

Perhatian Gereja di Bidang HAM

Satu tantangan besar yang dihadapi Gereja Katolik Keuskupan Jayapura bersama gereja Kristen dan agama lain di Papua adalah persoalan pelanggaran HAM.

Sejak Papua diintegrasikan ke dalam NKRI pada 1969 terjadi banyak pelanggaran HAM dan korbannya adalah masyarakat asli Papua dari pihak militer Indonesia. Di antara tahun 1962-1998 sebelum rezim orde baru tumbang, Papua dijadikan daerah yang disebut operasi militer (DOM).

Menurut data kasus pelanggaran HAM berat, pihak kesatuan keamanan 12 kali melakukan operasi militer (DOM) berskala besar. Masing-masing operasi memiliki sebutannya sendiri-sendiri, (Oehring, 2009: 5). Kalau dirunut berdasarkan masa, maka dapat dikategorikan tiga periode.

Periode pertama adalah periode transisi (1963-1969), dimana pemerintah Indonesia memasukan ribuan aparat keamanan dan petugas pemerintah untuk memastikan bahwa rakyat Papua memilih untuk berintegrasi dengan NKRI. Pada masa ini terjadi penangkapan, intimidasi dan dan penahanan diluar hukum serta pembunuhan, (Drooglever, 2010: 511).

Periode kedua adalah masa perlawanan rakyat Papua memprotes hasil Act of Free Choice (1970-1984). Organisasi Papua Merdeka (OPM) dianggap simbol perlawanan rakyat Papua terhadap pemerintah, sehingga operasi militer patut diadakan demi membasmi basis OPM. Ribuan militer diterjunkan dan kebebasan rakyat dibatasi serta pembantaian terhadap rakyat dilakukan. Contoh operasi diantaranya: Kasus Jayapura (1970, 1980), kasus Biak (1970, 1980), kasus Wamena (1977) dan pembunuhan dua seniman Papua yang mengangkat lagu-lagu Papua, Arnold C. Ap dan Eduard Mofu (1984), serta hampir 12.000 penduduk mengungsi ke negara tetangga, Papua New Guinea.

Periode ketiga adalah lanjutan dari tahap penumpasan OPM secara khusus di wilayah pegunungan terutama penumpasan OPM pimpinan Kelly Kwalik yang dituduh menyandera para ilmuwan Barat di wilayah Mapenduma, pegunungan tengah (1985-1995). Drama penyanderaan itu menjadi alasan pihak keamanan melakukan operasinya dengan dalil pembebasan sandera di mana sekitar 35 penduduk sipil dibunuh, 13 perempuan diperkosa, 166 rumah penduduk serta 13 gereja di bakar, (Oehring, 2009: 6).

Kasus periode terakhir inilah yang menjadi titik balik pihak pimpinan Gereja Katolik Keuskupan Jayapura dalam menyuarakan HAM secara lantang. Pada tahun 1994/1995 uskup Jayapura, Mgr. Herman Munninghoff, OFM melancarkan protes terhadap tindakan militer yang amat tidak manusiawi itu karena beliau tidak percaya kasus penyanderaan itu murni oleh OPM. Tanggapan pimpinan Gereja atas kasus operasi militer yang mengorbankan ribuan nyawa manusia Papua dalam rentang waktu itu sedikit mengherankan karena suara itu muncul pada kasus periode ketiga. Sementara menjadi pertanyaan adalah pada masa operasi kedua yang diperkirakan korban jauh lebih banyak suara pimpinan Gereja tidak muncul.

Laporan karya misi GKJ dari pater Eddy dalam buku “Menjadi Gereja Yang Berjalan Bersama Papua: Narasi Historis 50 Tahun Terakhir Keuskupan Jayapura” terkait HAM tidak menarasikan situasi dan posisi pimpinan Gereja Katolik pada masa itu. Pater Eddy baru mulai dari periode ketiga (1995), ketika uskup Herman bersuara terkait kasus pembunuhan di Timika. Maka, Mgr. Muninghoff dikatakan pimpinan Gereja Katolik pertama yang mendorong Gereja di Papua melawan kekerasan dengan suara kenabian.

Selain itu, ada almarhum Pastor Nato Gobay (imam diosesan keuskupan Timika) dan kemudian muncul Pastor John Jonga (imam diosesan keuskupan Jayapura) yang juga cukup vokal dalam membela harkat dan martabat manusia yang dibunuh secara tidak manusiawi.

Dalam nada damai seturut semangat misi Kristus, almarhum Pastor Neles Tebay telah mengambil poros tengah untuk menawarkan dialog damai antara dua pihak yang bertikai guna mencari solusi secara damai, komprehensif dan bermartabat. Mereka membela dan berjuang berdasarkan ajaran Gereja tentang pribadi manusia yang harus dilindungi dan dihormati sebagai citra Allah, bukan karena motif politik.

Baca Juga: SAYA SIAP MATI UNTUK PAPUA: Revitalisasi Perjuangan Uskup Muninghoff dalam Advokasi HAM di Tanah Papua (Bagian Pertama)

Mendirikan SKP

Berdasarkan pengalaman itu kemudian pimpinan Gereja Keuskupan Jayapura mengambil kebijakan untuk mendirikan sekretariat yang menangani secara khusus bagian HAM yang disebut SKP (Sekretariat Keadilan dan Perdamaian) pada tahun 1997. Di sekretariat ini, diurus data-data korban pelanggaran HAM yang kemudian menjadi acuan dalam tindakan maupun suara provetis Gereja atas kasus-kasus pelanggaran HAM.

Menurut Theo van den Broek (mantan kepala SKP Jayapura), ada dua tujuan mendirikan SKP; Pertama, mendokumentasikan kasus-kasus pelanggaran HAM. Kedua, untuk menyuarakan persoalan masyarakat, karena itu juga merupakan persoalan Gereja.

Mengingat kasus pelanggaran HAM tidak hanya wilayah pelayanan Keuskupan Jayapura, melainkan di seluruh pelosok Papua, maka SKP Jayapura mencoba mengajak bekerja sama dengan keuskupan lain seperti keuskupan Agung Merauke, keuskupan Agats dan keuskupan Sorong untuk mendirikan SKP yang sama.

Pendirian SKP kemudian diikuti juga oleh Keuskupan Timika setelah dimekarkan dari keuskupan Jayapura pada 2004. Dengan demikian, hampir semua keuskupan di Papua (5 keuskupan) memiliki SKP walaupun Keuskupan Jayapura di kemudian hari menyerahkan SKP sepenuhnya kepada Ordo Fransiskan Papua. Itulah wujud perhatian yang serius dari Gereja terkait kasus-kasus pelanggaran HAM yang hampir sebagian besar korbannya adalah masyarakat asli Papua.

Baca Juga: SAYA SIAP MATI UNTUK PAPUA: Perjuangan Uskup Muninghoff dalam Advokasi HAM di Tanah Papua (Bagian Kedua/Habis)

Kerja Sama Para Pimpinan Gereja dan Agama

Di era Otsus, para pimpinan Gereja bersama dengan pimpinan Agama lain bergerak lebih maju dalam menyuarakan kasus-kasus pelanggaran HAM demi menciptakan Papua yang lebih aman dan damai. Hal ini didasari dari pandangan teologi Teosentris bahwa perdamaian merupakan kerinduan setiap orang apapun agamanya. Bahkan agama-agama mengajarkan dan berupaya menciptakan damai/syalom bagi manusia dan dunia. Agama menginginkan manusia hidup berdampingan secara damai dengan sesama yang lain sebagai sesama ciptaan Tuhan, (Knitter, 2008: 286-287).

Baca Juga:  Revisi UU TNI dan Papua

Namun kerinduan terdalam itu menjadi rusak karena konflik yang terjadi akibat keegoisan manusia untuk saling menguasai satu pada yang lain. Dan masyarakat Papua sedang mengalami itu sejak Papua diintegrasikan ke dalam NKRI, 1969 sampai pasca reformasi bahkan sampai sekarang ini, 2020. Keprihatinan itulah yang mendorong para pimpinan Gereja di Papua bersatu dan berjuang untuk menciptakan damai di Papua.

Menurut Uskup Leo, OFM pada tahun tahun awal reformasi (1998-2000) tindakan kekerasan, pelanggaran hukum dan HAM yang banyak terjadi di masyarakat mendorong para pimpinan Gereja bersatu dan bersuara bersama-sama untuk laporan kasus kekerasan dan seruan serta himbauan demi penegakkan hukum dan menjaga ketertiban. Maka pada awal 2002 dibentuklah forum Persekutuan Gereja Gereja di Papua (PGGP). Anggota dari persekutuan ini adalah Gereja Katolik keuskupan Jayapura dan Persekutuan Gereja Gereja Protestan wilayah Papua yaitu PGI, PGPI dan PII.

Persekutuan ini dibentuk dengan tujuan atau visi bersama yakni menjadikan “Papua Tanah Damai” dengan tiga pokok perhatian. Pertama, membahas hal-hal aktual dalam masyarakat dan menentukan sikap. Kedua, mencari cara kerja sama dengan pemerintah dan ikut serta dalam pembangunan masyarakat sesuai dengan visi khusus kami. Ketiga, membangun hubungan dan persahabatan antara kami sendiri dan antara umat sebagai perwujudan nyata dari damai sejahtera yang disampaikan oleh semua orang, (Tukan, 2009: 75; SKP: 2006: 92-96).

Selanjutnya disadari bahwa visi damai milik semua orang dan diperjuangkan bukan hanya oleh Kristianitas, tetapi oleh semua agama, maka para pimpinan Gereja (Katolik keuskupan Jayapura dan Kristen: PGI, PGPI dan PII) bersama pimpinan Agama-agama di Papua (Islam, Budha, Hindu) membentuk Forum Konsultasi Para Pemimpin Agama (FKPPA) pada 2006.

Menurut uskup Leo, yang menjadi visi dari FKPPA adalah “membangun Papua tanah damai”. Di mana damai itu bukan hanya tidak adanya perang dan konflik, tetapi adanya kenyamanan dan kesejahteraan hidup bersama dalam relasi yang baik, bersahabat dan harmonis baik dengan Sang Pencipta, dan dengan manusia maupun dengan seluruh alam ciptaan-Nya, (Tukan, 2009: ix).

Namun yang menjadi pertanyaannya adalah sejauhmana para pimpinan Gereja dan agama bersatu padu menyuarakan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua? Para pemimpin Gereja dan Agama ini tampaknya lebih memilih metode konsultatif ketika ada masalah dengan pihak-pihak terkait dan himbauan bersama dalam mencegah konflik. Sementara penyelesaian segala macam masalah yang terjadi secara komprehensip diajukan untuk diselesaikan melalui dialog nasional, (Tebay, 2017: 224).

Lagi-lagi muncul pertanyaan sejauhmana cara itu efektif meredam kasus pelanggaran HAM yang lima tahun terakhir ini cukup memprihatinkan? Situasi di lapangan memperlihatkan bahwa cara yang ditempuh para pimpinan Gereja dan Agama itu tidak membantu banyak dalam mengatasi konflik Papua yang melahirkan ribuan kasus pelanggaran HAM.

Tampaknya itulah yang melatarbelakangi tiga pimpinan Gereja di Papua: GIDI, Kingmi dan Baptis menarik diri dari PGGP dan membentuk “Forum Kerja Oikumenis Gereja-gereja Papua” yang kemudian tahun 2019 merubah namanya menjadi “Dewan Gereja Papua” untuk bersuara lebih tegas, (Gembala Kaum Tertindas).

Selain itu, suara enam uskup yang tergabung dalam komite eksekutif konferensi Uskup Katolik Oseania menuntut negara-negara Pasifik untuk tidak menghambat keinginan rakyat Papua bergabung dalam Melanesian Spearhead Groups, MSG. Uskup Agung Port Moresby, Mgr. John Ribat MSC (kini dipilih menjadi Kardinal PNG oleh Paus Fransiskus) menyerukan agar pimpinan MSG sungguh-sungguh mempertimbangkan permohonan orang Papua melalui United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Menurutnya, Indonesia juga dilibatkan dalam MSG sebagai observer supaya masalah HAM Papua dibahas dalam kerangka MSG, (Federasi Uskup Pasifik Minta Papua Tidak Dihambat Masuk MSG). Seruan-seruan para Uskup Pasifik itu merupakan wujud keprihatinan Gereja Katolik Pasifik terhadap situasi Papua di satu sisi dan pentingnya solusi yang lebih komprehensif di pihak lain melalui dialog damai.

Dialog  Papua-Jakarta demi Perdamaian Papua

Atas keprihatinan dari Gereja-gereja bersama Agama-agama di Papua, visi “Papua Tanah Damai” mulai dikampanyekan secara lebih strategis oleh Jaringan Damai Papua (JDP) yang dimotori duo almarhum Pater Dr. Neles Tebay dan Dr. Muridan S Widjojo bekerja sama dengan pihak LIPI.

Kini seruan dialog Papua Jakarta sudah didengarkan secara luas oleh publik Indonesia terutama kaum akademisi maupun di lingkungan Religion for Peace (RFP) Internasional.  Terbitnya buku “100 Orang Indonesia Angkat Pena Demi Dialog Papua”, Juli 2013, adalah wujud meluasnya dukungan dialog demi perdamaian Papua karena Papua dilihat masih bermasalah dan karenanya perlu solusi penyelesaian masalah yang menyeluruh. Dua guru besar berlatar belakang Katolik  yang satu ahli etika, Prof. Magnis Suseno dan yang lain ahli postmodern, Prof. Bambang Sugiharto, dalam buku tersebut mengungkapkan keprihatinan atas situasi Papua yang dituntut segera mencari jalan penyelesaiannya.

Dialog dilihat sebagai cara yang paling beradap dan demokratis, bahkan sejalan dengan semangat dasar negara, Pancasila. Dialog Papua dan Jakarta dilihat sebagai suatu keharusan karena Papua merupakan luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia yang semakin kian menjadi nanah yang memalukan di hadapan publik Internasional kritik dua filsuf itu (Sarapung, 2013: 23,266). Ancaman perendahan martabat bangsa Indonesia akibat ketidakberesan pemerintah dalam mengurus masalah Papua terkini sudah diwanti oleh Rahmat Thayib dalam tulisannya “Presiden Republik Indonesia ke-7 Ir. H. Joko Widodo Dipermalukan di Australia” saat melawat kunjungan kerja baru-baru ini 10-12 Februari 2020.

Meskipun tidak jelas mekanismenya, pemerintah pusat sendiri sebenarnya telah mengakui dan mengiyakan komitmennya menyelesaikan masalah Papua melalui dialog terbuka pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). “Dialog diantara pemerintah pusat dengan saudara kita di Papua itu terbuka. Kita mesti berdialog, dialog terbuka cari solusi dan opsi mencari langkah paling baik selesaikan masalah Papua,” ujarnya saat membuka rapat kabinet di kantor Presiden Jakarta, 9/11/2011.

Baca Juga:  Ketika Lumbung Kebudayaan dan Hutan Hujan Tropis Dunia Terancam Serius di Tangan Indonesia

Di bawah pemerintahan Jokowi usulan dialog menjadi semakin jelas dan mengerucut pada dialog sektoral. Pada 18 Agustus 2017, 14 orang perwakilan Papua baik dari pihak Gereja, akademisi, LSM, maupun tokoh adat termasuk almarhum Pater Dr. Neles Tebay bertemu Presiden Jokowi di Istana Presiden, Jakarta. Dalam pertemuan itu, Jokowi menunjuk Pater Neles sebagai penanggungjawab dialog sektoral bersama Jenderal Wiranto selaku Menko Polhukam serta Tenten Masduki selaku kepala staf kepresidenan untuk mempersiapkan dialog dimaksud. Namun niat baik pemerintah menyelesaikan masalah Papua melalui dialog sektoral mendapat penolakan secara luas oleh masyarakat Papua yang menginginkan dialog politik yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral. Bagi mereka, dialog sektoral tidak dapat menyelesaikan akar persoalan yang membuat Papua berkonflik sejak 1962 sampai sekarang.

Memang dapat dimengerti penolakan oleh masyarakat Papua terutama organ-organ perjuangan Papua merdeka yang bersatu dalam wadah persatuan yang disebut ULMWP, karena wacana dialog yang ditawarkan JDP sejak awal bukan dialog sektoral. JDP masih menyertakan OPM sebagai mitra dialog yang perlu dilibatkan bersama 8 aktor yang lain. Namun ketika dialog mengerucut pada dialog sektoral yang akan didialogkan adalah persoalan kesejahteraan masyarakat Papua baik dari aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur, maka secara otomotis aktor dasar yang berseberangan selama ini “OPM” dapat tersingkir.

ULMWP meskipun secara organisasi persatuan perjuangan belum menyatakan penolakan dialog sektoral yang dimaksud pemerintah pusat, namun secara pribadi beberapa anggota ULMWP menyatakan sikap menolak seperti Buchtar Tabuni ketua PNWP dan dewan komite ULMWP, Andy Ayamiseba dewan komite dari faksi WPNCL. Victor Yeimo ketua KNPB yang juga anggota tim kerja ULMWP di dalam negeri menegaskan bahwa ULMWP tidak berjuang untuk dialog dengan pemerintah Indonesia, tetapi mendorong hak penentuan nasib sendiri.

Baca Juga: Dialog Sektoral Papua: Apakah Itu?

Meskipun tawaran dialog sektoral menjadi pro kontra diantara masyarakat Papua yang menginginkan hak penentuan nasib sendiri melalui referendum ataupun perundingan dengan pemerintah Indonesia, namun masih ada harapan kalau tujuan utama dari perjuangan itu adalah untuk kebebasan dan perdamaian secara utuh sebagaimana yang diperjuangkan oleh Gereja yakni damai dengan Tuhan, sesama manusia dan alam ciptaan-Nya. Hal ini akan sejalan dengan apa yang dicetuskan oleh Gereja dan agama-agama di Papua dalam visi “Papua Tanah Damai” di mana semua orang apapun latar belakang hidup aman, damai dan sejahtera dalam satu pulau yang disebut Papua kalau dialog sektoral itu kemudian menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang dapat menguntungkan kedua bela pihak dan diwujudnyatakannya secara konsisten.

Baca Juga: Dialog Sektoral: Epen kah?

Meskipun dapat diakui secara mekanisme berat karena prinsip dialog yang dimaksud Gereja yakni soal pengakuan, penghargaan, serta kesetaraan tidak dapat terjadi kalau dialog itu tetap top down tanpa duduk sama tinggi sama rendah sebagaimana halnya dengan pemberian Otonomi Khusus. Konsistensi dalam implementasi penting mengingat pemberian Otsus tahun 2001 yang merupakan win-win solution atas aspirasi rakyat Papua dalam menentukan nasib sendiri diwakili oleh Tim 100 kepada Presiden Habibie, 1999, sampai sekarang implementasinya tidak jelas bahkan dapat dikatakan gagal.

Itulah sebabnya harapan besar dalam dialog sektoral itu adalah bahwa mesti ada jaminan implementasi dari kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan dan berpuncak pada dialog politik status Papua yang diperdebatkan sampai saat ini supaya apa yang dicita-citakan terutama perdamaian secara menyeluruh itu dapat diwujudnyatakan di Tanah Papua.

Penutup

Panggilan Gereja Katolik adalah melaksanakan misi Keselamatan Allah bagi manusia di dunia. Maka apapun situasi dan kondisinya, Gereja mesti dapat mengusahakan sedapat mungkin untuk terlibat dalam misi Allah menyelamatkan manusia dari dosa dan kejahatan dunia.

Gereja Katolik Papua sedang melaksanakan misi keselamatan itu ditengah konflik Papua antara orang Papua yang pro merdeka “M” dengan pemerintah Indonesia yang diwakili pihak keamanan mempertahankan Papua tetap dalam NKRI. Di tengah konflik itu, Gereja Katolik hadir untuk membawa misi perdamaian dengan mengupayakan dialog dengan semua pihak yang berkepentingan baik pemerintah daerah, pimpinan militer maupun kerja sama dengan gereja-gereja dan agama-agama di Papua. Gereja bermain pada poros tengah. Artinya Gereja tidak berpihak kepada masyarakat Papua yang pro “M” maupun pemerintah Indonesia yang berupaya keras mempertahankan Papua dalam NKRI dengan kekerasan. Yang Gereja mau dan perjuangkan adalah terciptanya damai di Papua baik dengan Sang Pencipta (Tuhan), dengan sesama manusia maupun alam ciptaan-Nya.

Namun peran Gereja Katolik di poros tengah itu dirasa belum cukup oleh sejumlah pihak terutama oleh orang Papua yang berada pada pihak korban. Kalau Gereja dipanggil untuk menciptakan damai yang merupakan wujud dari terciptanya Kerajaan Allah, maka Gereja diharapkan lebih berpihak kepada keadilan, kebenaran dan hak hak asasi manusia.

Sambil mengakui karya misi besar Gereja Katolik di Papua baik dalam aspek pewartaan iman maupun kehidupan kemasyarakatan seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, Gereja Katolik diharapkan bersuara lantang terkait pembelaan terhadap HAM supaya Gereja sungguh-sungguh hadir seperti yang diamanatkan oleh Konsili Vatikan II atas bisikan Roh Kudus yang dengan jelas dan tegas dirumuskan dalam Gaudium et Spes: “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga (GS, 1).”

)* Penulis adalah Imam Diosesan Keuskupan Jayapura

Artikel sebelumnyaGaji Enam Guru di Yalengga Terancam Dihentikan
Artikel berikutnyaPemberhentian Ketua KPU Yahukimo Tak Hambat Pilkada 2020