Oleh: Soleman Itlay)*
Pada 2021 besok, masa UU No. 21/2001 Tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi provinsi Papua dan Papua Barat akan berakhir. Bukan tidak mungkin. Perdebatan—pro kontra paling akan terjadi dimana-mana. Potensi demonstrasi dan kerusuhan sangat besar. Jangan sampai itu akan menumpahkan darah orang yang tak berdosa hingga menghilangkan nyawa orang yang tidak bersalah atas nama jargon “NKRI harga mati”, Papua Merdeka harga hidup dan Kamtibmas (Rust en Orde). Untuk menghindari hal-hal yang kita semua tidak inginkan dalam perdebatan Otsus 2021 butuh dialog Jakarta-Papua.
Polemik Otsus akan menguras energi, pikiran, waktu, biaya dan konsep. Semua pihak terkait meski tidak hanya berdebat sana sini. Namun lebih penting adalah harus memikirkan konsep, dan format tertentu dari jauh sebelumnya guna menghindari perdebatan yang nantinya tentu saja akan memakan korban jiwa. Hal ini sangat penting, karena pada 2021 besok, Papua akan sibuk dengan PON XX yang ditunda pada tahun ini akibat Covid-19 saat ini. Tidak hanya itu. Pada saat yang sama, masalah kekerasan dan kejahatan politik; kesehatan, KLB, gizi buruk, kematian ibu dan anak dibawah umur; bencana alam dan lainnya akan mewarnai 2021.
Oleh karena itu, semua stakeholder harus memikirkan, menyiapkan dan merumuskan strategi dan konsep yang relevan sebagai jalan tengah. Salah satu pendekatan yang tepat untuk menyelesaikan status Otsus dan polemiknya, adalah melalui dialog Jakarta-Papua. Terserah mau gunakan konsep dialog seperti apa. Namun bagaimanapun juga, dialog Jakarta-Papua sangat dibutuhkan dalam polemik Otsus 2021. Berikut ini beberapa catatan dari penulis terkait polemik Otsus Papua. Semoga bermanfaat bagi semua pihak terkait.
Dialog Jakarta-Papua ala JDP
Dialog Jakarta-Papua bukan segala-galanya. Tetapi bagaimana pun juga, terlepas dari pro dan kontra terhadap JDP pada belakangan ini, dalam konteks pembahasan yang nantinya akan menimbulkan perdebatan panjang pada 2021 besok membutuhkan sebuah dialog. Dialog yang solusif, bermartabat, beradab, demokratis dan benar-benar untuk melahirkan kesepakatan-kesepakatan damai melalui perundingan damai dari kedua kubu yang menjadi pro dan kontra—saling berseberangan dan berbeda pandangan nanti.
Dialog Jakarta-Papua sangat relevan dan bisa dijadikan sebagai salah satu solusi untuk menghindari kerusuhan, kekerasan, pertumpahan darah, dan pelanggaran HAM yang akan diakibatkan oleh aparat keamanan dan militer, termasuk milisi kolonial Indonesia yang berpotensi akan berbenturan langsung dengan tindak ekspresi ketidakpuasan dari kalangan kaum budak pribumi West Papua akibat perdebatan dan perbedaan pendapat satu sama lain. Namun, konsep dan format dialog harus disiapkan dari jauh-jauh hari sebelum memasuki 2021melalui sebuah tim khusus yang independen, profesional dan berkompeten.
Otsus Butuh Konsep Dialog JDP
JDP memang bukan lembaga resmi setingkat PBB yang diakuai, dipercaya dan diterima oleh semua negara—orang. Ruang lingkup kerja dan jaringan kerja JDP sangat terbatas. Namun perihal konsep dan strategi untuk mencapai perdamaian total yang universal di Papua, tidak perlu diragukan. Jargon sebagai “mediator atau fasilitator” pantas dialamatkan kepadanya. Boleh berkata ini dan itu dengan keterbatasan ruang lingkup dan jaringan kerja yang cenderung di Indonesia dan tanah Papua, bahkan dengan keterlibatan oknum tertentu yang mencurigakan dalam JDP. Namun soal konsep dan strateginya, pada satu pihak tidak perlu diragukan lagi.
Konsep dan format dasar JDP dalam polemik Otsus 2021 sangat relevan. Secara umum memerlukan konsep dan format dialog seperti yang dipublikasikan oleh Pater Neles Tebai dkk. Dimana dalam dialog tersebut membutuhkan partisipasi dari semua pihak terkait. Namun dalam dialog ini tidak membutuhkan peran dari semua elemen. Cukup diwakili oleh elemen kunci yang terpenting dari kedua belah pihak yang saling berseteru dan berbeda pandangan selama ini. Misalnya, pihak kolonial Indonesia dan TPNPB/OPM bersama ULMWP. Dan ini harus dimediasi oleh tim khusus atau pihak ketiga yang paling netral.
Dialog Hindari Kerusuhan dan Pertumpahan Darah
Dalam perdebatan Otsus 2021, masing-masing pihak akan mempertahankan sikap, prinsip dan argumentasi yang egosentris. Hal itu barang tentu akan mengakibatkan proses ulur waktu, bahkan berpotensi akan menimbulkan keresahan sosial dalam skala yang lebih besar. Orang akan berusaha keras untuk meredakan sekaligus mengkondusifkan situasi, namun itu akan jauh lebih sulit tak kalah kepentingan dari multi dimensi senantiasa melekat langsung dalam dinamika yang akan terlanjut mencair—mempengaruhi psikologi dan emosial masyarakat sipil diaatas—dibawah kepentingan semua pihak yang sedang memasang kuda-kuda saat ini guna mengendalikan situasi pada 2021 mendatang.
Jika itu yang terjadi, bukan tidak mungkin, kekerasan politik etis atas nama Otsus bisa menimbulkan ketidakstabilan politik, ekonomi dan lain sebagainya. Paling fatal adalah jika proses yang molor tersebut mengakibatkan pertumpahan darah hingga menelan korban jiwa masyarakat sipil yang tidak tahu apa-apa. Hal ini bisa saja terjadi kalau pemerintah kolonial Indonesia maupun kelompok budak nasionalis mempertahankan argumen, enggan berpikir sehat, menempuh jalan yang damai dan bermartabat.
Bukan mustahil lagi. Persoalan Otsus di atas akan diperparah dengan momentum PON 2020 yang ditunda ke 2021; kekerasan politik ideologi yang sarat dengan kepentingan penegakan wibawa, kekuasaan, penduduk dan ekonomi; pengungsi operasi militer, kematian ibu dan anak dibawah umur yang penuh dengan gizi buruk; KLB; ksploitasi sumber daya alam dan lain sebagainya. Barang tentu ini akan menguras energi, waktu, pikiran dan biaya.
Mode dialog Jakarta-Papua seperti ini sangat penting dan perlu dipikirkan dari sekarang. Tujuannya tidak lain. Adalah untuk menghindari kerusuhan, kekerasan, pertumpahan darah, dan pelanggaran HAM yang akan diakibatkan oleh aparat keamanan dan militer, termasuk milisi kolonial Indonesia yang berpotensi akan berbenturan langsung dengan tindak ekspresi ketidakpuasan dari kalangan kaum budak pribumi West Papua akibat perdebatan dan perbedaan pendapat nanti.
Langkah-Langkah Solusif
Dalam rangka upaya meminimalisir dan menyelesaikan polemik Otsus 2021, semua pihak yang berkepentingan mulai sekarang harus memikirkan langkah-langkah, menyiapkan strategi yang strategis dan merumuskan segala kebutuhan dari segala aspek yang dibutuhkan, terutama hal-hal yang mempunyai hubungan langsung dengan polemik Otsus. Barangkali pemerintah pusat, kolonial Indonesia dan pemerintah provinsi (Papua dan Papua Barat) sudah memikirkan tentang ini. Hal ini bisa dilihat sindiran ataupun pernyataan resmi dari pemerintah pusat dan daerah yang tersebar di media masa.
Pemerintah provinsi Papua sendiri telah mengantongi draf Otsus plus. Draf ini pernah diusulkan ke Jakarta, namun hingga saat ini belum masuk di dalam Proglegnas DPR RI. Draf Otsus plus ini bisa menjadi salah bahan negosiator. Namun itu sangat bergantung pada respon, sikap, pilihan dan keputusan masyarakat budak asli pribumi West Papua. Kalau mereka terima atau dukung draf Otsus plus, ya kolonial Indonesia mau tidak mau dan suka tidak suka harus mempertimbangkan—menerimanya. Atau kolonial Indonesia merombak draf Otsus plus seperti dia bikin (rubah draf Otsus yang pertama pada 2000, yang dibuat oleh orang Papua sendiri menurut kepentingannya di tanah koloni modern).
Atau kolonial akan menolak dan akan menawarkan kebijakan politik etis baru, seperti Otsus atau yang lebih baru, yang tidak diketahui oleh masyarakat budak nasionalis. Tentu ini bisa saja terjadi dan tidak. Namun, yang jelas kolonial Indonesia sekarang sedang memikirkan, merumuskan dan menyiapkan bahan dan argumen tandingan seperti Otsus plus, atau lebih untuk melakukan amandemen terhadap UU Otsus dan sejenisnya. Jika benar, ini akan menyiksa semua orang, menimbulkan pro kontra, perselisihan dan pertumpahan darah.
Potensi Penolakan Kebijakan Pemerintah
Bukan hal sepeleh. Ini sangat berbahaya. Bahayanya kalau kolonial Indonesia maupun pemerintah provinsi Papua merancang Otsus plus atau sejenisnya secara sepihak—hanya melibatkan kaum opurtunis dan burjuis—tanpa partisipasi dari kaum budak yang menjadi sasaran dari draf kebijakan politik etis tersebut. Pendekatan seperti itu bukan solusif. Tetapi justru akan menimbulkan perdebatan dan penolakan, yang akhirnya akan mengulur-ulur waktu, menguras energi, memakan korban jiwa serta melanggar HAM.
Bukan Dialog Konstruktif dan Sektoral
Oleh karena itu, entalah setuju atau tidak, dialog Jakarta-Papua yang didorong oleh JDP atau tidak, intinya, demi menghindari kekerasan dan kejahatan kemanusiaan, konsep maupun dialog Jakarta-Papua sangatlah dibutuhkan dalam kaitan dengan Otsus 2021. Karena dialog itu solusi damai yang paling efektif dan demokratis. Tapi juga bisa melahirkan kesepakatan-kesepakatan damai dan bermartabat, tanpa harus memakan korban jiwa dalam kekerasan politik keamanan dan militer atau dari masyarakat sipil (budak).
Dialog Jakarta-Papua yang dimaksud disini beda. Barangkali konsep dialognya mirip dengan konsep dialog yang didorong oleh JDP. Namun dialog Jakarta-Papua dalam konteks polemik Otsus ini tidak membutuhkan dialog yang bersifat konstruktif, seperti yang dikatakan oleh SBY untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dan masalah lainnya e tanah koloni modern. Dialog Jakarta-Papua in juga tidak relevan, jika mendorong dialog sektoral yang diusulkan oleh Jokowi, Luhut Panjaitan, Wiranto dan lainnya bersama JDP.
Perlu Membentuk Tim Perundingan Segitiga Otsus 2021
Yang paling penting adalah konsep dasar dialog Jakarta-Papua dalam konteks Otsus harus beda, disusun baik dan disiapkan dari jauh-jauh hari oleh orang atau lembaga yang profesional dan berkompeten. Bila perlu, menjelang masa akhir 2021 besok, kolonial Indonesia dengan perwakilan dari kaum budak West Papua harus duduk bersama. Kalau bisa sama-sama sepakat mencari pihak-pihak yang netral, independen, profesional dan berkompeten. Kemudian membentuk tim khusus semacam tim dialog Otsus Jakarta-Papua atau tim perundingan segitiga (Otsus).
Kolonial Indonesia maupun kaum budak Papua harus memberikan kepercayaan penuh kepada pihak yang profesional, berkompeten dan independen. Yang dimaksud disini adalah pihak ketiga yang netral. Bila perlu PBB atau lembaga internasional lain yang netralah yang dapat baru itu mengakomodir kedua belah pihak. Mereka tetap membutuhkan peran dan kerja sama dari kedua belah pihak yang berselisih dan berbeda pandangan—kolonial Indonesia dan kaum budak patriotis yang nasionalis. Kedua pihak harus dilibatkan dalam tim ini oleh pihak ketiga.
Mereka yang akan menjadi anggota tim khusus ini adalah memang benar-benar bagian dari orang-orang yang memang representasi dari elemen-elemen yang selama ini berseberangan dan tentu saja akan berseberangan pula dalam pembahasan Otsus pada tahun besok. Di dalam tim baru, atau misalkan tim perundingan segitiga ini, pokoknya harus menjalankan tugas secara optimal. Dia harus mampu merumuskan konsep dan format perundingan segitiga dengan jangka waktu yang disepakati bersama.
Tim khusus segitiga atau sejenisnya harus mampu memetakan masalah, menyiapkan format dialog, menentukan peserta, pihak mana saja yang perlu hadir; tempat (lokasi) dan waktu pelaksanaan perundingan segitiga. Kemudian, tim khusus ini juga harus mampu melakukan sosialisasi sekaligus konsolidasi vertikal atau pun meningkatkan komunikasi horizontal yang efektif menjelang perundingan segitiga atau dialog Jakarta-Papua mendatang, termasuk soal keamanan, ketertiban dan perdamaian di seluruh Papua dan Indonesia—tempat dimana perundingan akan berlangsung.
Tim khusus tersebut harus mampu menciptakan suasana yang harmonis dan bersahabat dalam rangka mencapai kesepakatan-kesepakatan dan perdamaian secara demokratis, beradab dan bermartabat. Yang paling penting untuk diperhatikan adalah dalam dialog atau perundingan segitiga itu, posisi kolonial dan kaum budak Papua harus duduk setara—sama tinggi sama rendah—satu meja satu ruangan dalam pengawasan pihak ketiga yang paling netral dan independen. Tidak boleh ada kesan chauvinistik terselubung di dalam itu.
Perundingan ini cukup mewakili orang atau organisasi dari kedua kubu yang bisa dipercaya, diakui dan diterima oleh masyarakat dari kedua belah pihak. Dari pemerintah kolonial harus membentuk tim sendiri. Di dalamnya bila perlu melibatkan presiden RI, Mendagri, Menkopolhukam, Dirjen Otonomi Daerah, Komnas HAM dan lainnya. Dari kaum budak Papua, cukup diwakili oleh TPNP/OPM bersama ULMWP. Kemudian, perundingan segitiga atau sejenisnya dalam polemik Otsus cukup dilakukan dengan mereka. Pendekatan seperti ini akan jauh lebih efektif.
Akhiri Polemik Otsus Melalui Perundingan Segitiga
Jalan seperti ini atau sejenisnyalah yang harus ditempuh untuk menghindari pro dan kontra, demonstrasi, kerusuhan, penembakan, anarkisme, pertumpahan darah dan pelanggaran HAM. Pemerintah kolonial Indonesia, jangan lagi melempar kebijakan atau pernyataan yang kontroversial menjelang 2021. Karena itu akan berdampak buruk pada stabilitas keamanan, politik dan ekonomi di Papua. Kemudian, kaum budak lagi jangan membangun paradigma yang miring-miring menjelang masa Otsus berakhir, yang sarat memancing emosi kolonial Indonesia. Menjelang 2021 ini, semua orang harus menciptakan suasana damai.
Ciptakan Suasana Damai Jelang Perunding Segitiga
Harus meningkatkan komunikasi yang efektif dan efisien. Tetap menjaga tanah koloni modern yang bebas dari kekerasan politik, ekonomi dan pelanggaran HAM, agar tidak menimbulkan ketidakstabilan Kamtibmas yang akhirnya mengganggu tim khusus, memperkeruh hubungan kedua belah pihak dan mempersulit proses dialog Jakarta-Papua atau perundingan nasional—internasional—perundingan segitiga atau sejenisnya. Pasca perangi Covid-19, baiknya pemerintahan kolonial Indonesia dan organisasi perwakilan dari kaum budak West Papua (TPNPB/OPM—ULMWP dan pihak ketiga yang, PBB dan lembaga internasional lain harus duduk bersama.
Tujuannya untuk membentuk tim khusus dialog Jakarta-Papua atau tim khusus perundingan segitiga internasional. Supaya tim ini segera mengalahi pokok pikiran kedua belah pihak yang substansial, menyusun draf perundingan segitiga, sosialisasi dan konsolidasi ke seluruh stakeholder. Bukan mustahil. Hal ini akan membantu kedua belah pihak secara efektif, efisien dan optimal. PBB, juga semua pihak terkait dari kedua belah pihak harus memikirkan ini. Jangan memikirkan atau membentuk tim tiba-tiba seperti pepatah “tiba momen tiba akal”.
Dialog merupakan komunikasi dan cara yang efektif, efisien, demokratis, beradab dan bermartabat guna guna menghindari kekerasan politik yang selalu erat dengan kepentingan ekonomi—meminimalir pertumpahan darah dan korban jiwa. Dialog juga merupakan sebuah jalan perdamaian universal guna mencapai perdamaian dunia. Dialog bukan anti demokrasi. Dialog itu percikan dari perundingan. Dialog mampu menentukan nasib dan masa depan kaum budak maupun kolonial dengan cara yang elegan, santun, adil, dan berwibawa. Tepat jika Polemik Otsus diselesaikan melalui dialog atau perundingan dengan melibatkan pihak ketiga yang paling netral dan independen.
)* Penulis adalah masyarakat Papua di Jayapura