ArtikelRencana Bangun Ibu Kota Provinsi PBD Ancam Hilangnya Hutan dan Tanah Masyarakat...

Rencana Bangun Ibu Kota Provinsi PBD Ancam Hilangnya Hutan dan Tanah Masyarakat Adat Moi di Kabupaten Sorong

Oleh: Ambo Klagilit)*
)* Penulis adalah aktivis masyarakat adat suku Moi

Meskipun mendapat penolakan dari masyarakat Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan pemerintah pusat tetap bersikeras menetapkan Rancang Undang-undang tentang pembentukan provinsi Papua Barat Daya (PBD) menjadi Undang-undang pada Rapat Paripurna DPR RI ke-10 masa persidangan I tahun sidang 2022-2023 pada tanggal 17 November 2022.

Pemerintah menetapkan RUU Provinsi PBD tanpa mempertimbangkan aspirasi rakyat Papua yang tidak setuju dengan kebijakan tersebut. Kebijakan pemerintah hanya akan berdampak pada konflik berkepanjangan di Tanah Papua. Aksi-aksi penolakan yang dilakukan hingga menelan korban jiwa adalah bentuk nyata bahwa rakyat Papua tidak menghendaki kebijakan negara yang terkesan sepihak dan sarat kepentingan tersebut (Baca, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-60719171).

Beberapa waktu sebelumnya DPR bersama pemerintah juga telah menetapkan tiga UU pemekaran daerah otonomi baru yaitu provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan (Baca, https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/39597/t/DPR+Sahkan+3+UU+Provinsi+Baru%2C+Puan%3A+Jaminan+Hak+Rakyat+Papua+dalam+Pemerataan+Pembangunan) dengan dalil untuk pemerataan pembangunan di Tanah Papua.

Setelah sahkan provinsi PBD pada 17 November 2022 lalu, saat ini tim pemekaran masih terus berupaya mencari lokasi untuk membangun perkantoran yang akan menjadi pusat pemerintahan Provinsi PBD. Ada beberapa tempat yang kini dalam pembahasan oleh tim pemekaran, diantaranya di Kabupaten Sorong pada wilayah perbatasan Sorong dan Sorong Selatan (wilayah Sub Suku Moi Salkhma) dan juga di wilayah Salawati (wilayah Sub Suku Moi Sigin).

Wilayah cakupan provinsi PBD, terdiri dari Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Tambrauw, Kabupaten Maybrat, dan Kota Sorong. UU PBD yang telah disahkan tersebut menetapkan ibu kota Provinsi PBD berkedudukan di Kota Sorong (Baca, https://news.detik.com/berita/d-6411911/uu-papua-barat-daya-sah-ini-profil-hingga-peta-wilayah-provinsi-ke-38), sehingga apabila rencana tim pemekaran mencari wilayah di luar Kota Sorong untuk dijadikan ibu kota provinsi, maka dengan sendirinya mereka telah melanggar UU tentang Provinsi PBD tersebut.

Rencana pembangunan ibu kota provinsi PBD telah mendapat penolakan dari masyarakat adat Moi Salkhma di wilayah Sayosa Raya, yang terdiri dari Distrik Sayosa, Distrik Sayosa Timur, Distrik Maudus, Distrik Sunok, Distrik Klawak, Distrik Konhir, Distrik Salkma, dan Distrik Wemak.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Adapun beberapa hal yang melatarbelakangi penolakan mereka. Pertama, dengan tegas mereka menyatakan bahwa wilayah adat mereka merupakan pusat pendidikan adat bagi suku Moi terutama sub suku Moi Salkma, sehingga harus dilindungi oleh semua pihak. Kedua, pembangunan ibu kota provinsi PBD akan mengancam ruang hidup, termasuk tanah dan hutan adat mereka.

Masyarakat adat di kampung persiapan Garma, Distrik Sayosa Timur, Kabupaten Sorong pada 27 November 2022 telah mengadakan diskusi untuk merespons rencana tim pemekaran PBD dan pemerintah yang hendak menjadikan wilayah adat mereka sebagai lokasi ibu kota Provinsi PBD. Mereka juga dengan tegas menyatakan menolak rencana tersebut karena wilayah adat mereka adalah pusat pendidikan adat suku Moi, sehingga tidak bisa diperuntukan untuk pembangunan lain.

Ketersediaan sumber daya manusia juga menjadi alasan lain mengapa mereka menolak. Penduduk kampung persiapan Garma merupakan warga yang berasal dari kampung Sailala dan kampung Kladuk Kabupaten Sorong.

Lebih lanjut pembahasan mengenai lokasi pusat perkantoran Provinsi PBD sama sekali tidak melibatkan masyarakat adat Moi yang adalah subjek hukum sebagaimana Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong. Masyarakat adat Moi sebagai subjek hukum mempunyai hak untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum untuk melindungi hak-haknya serta mendapat perlakuan yang adil dan tidak diskriminatif oleh pemerintah dan pihak-pihak lain.

UU Otsus Papua Pasal 38 ayat 2 dan Pasal 42 juga menegaskan bahwa masyarakat adat Papua berhak menentukan bentuk pembangunan (ekonomi) seperti apa yang mereka butuhkan. Sehingga pemerintah dalam merencanakan sebuah pembangunan harus melibatkan masyarakat adat sejak awal perencanaan hingga tahap pelaksanaan agar masyarakat adat mendapat manfaat dari kebijakan tersebut. Yang paling penting adalah pemerintah harus tunduk pada prinsip-prinsi FPIC.

Baca Juga:  Operasi Militer: Kejahatan HAM dan Genosida di Papua

Pemerintah terus menggunakan cara-acara lama untuk merampas tanah masyarakat adat. Tim pemerkaran berencana untuk bertemu dengan Dewan Adat distrik Salawati, distrik Moi Sigin, dan distrik Segun guna membahas lokasi yang akan dijadikan pusat pemerintah provinsi baru itu. Mereka rencanakan di wilayah Salawati. Pada dasarnya Dewan Adat bukan pemilik tanah, sehingga mereka tidak dapat mewakili marga-marga pemiliki tanah adat untuk membuat kesepakatan denagan pemerintah.

Lokasi ibu kota Provinsi PBD yang mereka rencanakan di Salawati (Moi Sigin) merupakan wilayah eks PT Inti Kebun Lestari (IKL). PT IKL merupakan perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit yang izinnya telah dicabut oleh Bupati Sorong pada 2021 lalu. Status tanah pada wilayah ini belum jelas, apakah sudah menjadi milik masyarakat adat atau masih dikuasai oleh pemerintah. Karena itu, pemerintah harus terlebih dahulu menjelaskan status tanah tersebut.

Perampasan tanah adat akan terus terjadi. Pemerintah yang diberi kewajiban untuk melindungi masyarakat kini menjadi aktor utama merampas tanah dan hutan masyarakat adat Papua. Program transmigrasi oleh pemerintah Indonesia telah merampas sebagian besar tanah adat masyarakat adat Moi di Sorong.

Selain transmigrasi, tanah dan hutan masyarakat adat Moi juga telah dikuasai oleh berbagai izin perusahaan (korporasi). Perusahaan HPH, Mancaraya Agro Mandiri menguasai tanah masyarakat adat Moi seluas ± 97. 820 hektar. Ada juga perusahaan perkebunan kelapa sawit yang telah menguasai hutan dan tanah adat suku Moi, diantaranya PT Hendrison Inti Persada (HIP) memiliki izin usaha perkebunan seluas 32.546,30 hektar, PT Inti Kebun Sejahtera (IKSJ) memiliki izin usaha perkebunan seluas 38.300 hektar, PT Inti Kebun Sawit (IKS) memiliki izin usaha perkebunan seluas 37.000 hektar.

Ada juga dua perusahaan perkebunan kelapa sawit yang baru-baru ini telah menang gugatan atas Bupati Sorong, yakni PT Papua Lestari Abadi (PLA) memiliki izin usaha perkebunan seluas 15.631 hektar, dan PT Sorong Agro Sawitindo memiliki izin usaha perkebunan seluas 40.000 hektar (Lihat,  https://auriga.or.id/cms/uploads/pdf/related/4/6/laporan_hasil_evaluasi_perizinan_en.pdf). Selain itu juga ada Kawasan Ekonomi Khusu (KEK) yang akan mengambil alih tanah masyarakat adat Moi seluas 523,7 hektar (https://kek.go.id/kawasan/KEK-Sorong), dan perusahaan pertambangan batu bara dengan luas ratusan hektar. Pemekaran juga diperkirakan akan mengambil alih puluhan ribu hektar tanah masyarakat adat Moi di Kota dan Kabupaten Sorong.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Suku Moi kini diambang kehancuran. Jika ingin berdaulat di atas negeri sendiri, pastikan wilayah adat kita tidak diambil alih oleh korporasi. Kita akan menjadi kuat jika kekuasaan atas tanah, hutan dan sumber daya alam lainnya ada dibawah penguasaan kita. Jangan berharap akan menjadi tuan di negeri sendiri jika masuk dalam sistem politik yang hari ini telah merampas tanah dan hutan adat kita. Ini penting kita semua ketahui, bahwa sistem negara hari ini telah menciptakan ketergantungan. Kita dibuat tidak berdaya hingga tidak ada pilihan, selain bergabung menjadi penindas dengan sistem yang mereka ciptakan. Jangan bermimpi merdeka untuk menjadi tuan di negeri sendiri jika kita masih terbelenggu dan tidak mau menentang sistem negara yang tidak adil.

Pemerintah berdalih bahwa pemekaran dilakukan untuk pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Pemekaran menurut mereka sebagai upaya pemerintah mengatasi ketimpangan sosial di Papua. Rakyat Papua justru melihatnya dari sudut yang berbeda bahwa mereka menilai pemekaran adalah politik pemerintah Indonesia untuk menguasai seluruh tanah dan kekayaan alam Papua, dan pemekaran akan mendatangkan migran dalam jumlah yang besar.

Masyarakat adat membayangkan nasib mereka akan sama seperti suku Aborigin di Australia dan banyak tempat lainnya, dimana masyarakat pribumi terpinggirkan dan hidup dalam penderitaan. Kebudayaan baru yang masuk beriringan dengan kedatangan para migran akan mendominasi hingga menghilangkan kebudayaan masyarakat pribumi. Akhirnya masyarakat pribumi akan kehilangan jati diri mereka sebagai masyarakat adat, dimana tanah, hutan, dan adat istiadat mereka tidak lagi ada. (*)

Terkini

Populer Minggu Ini:

Mantan PM Fiji Frank Bainimarama Dipenjara

0
“Negara telah mengajukan banding atas pembebasan mereka di mana Penjabat Ketua Pengadilan, Salesi Temo kemudian membatalkan keputusan Hakim dan menyatakan keduanya bersalah sebagaimana didakwakan. Kasus ini kemudian dikirim kembali ke Pengadilan Magistrat untuk dijatuhi hukuman.”

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.