JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Kasus penyerangan terhadap massa aksi di Dekai, kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan, dua tahun lalu yang menyebabkan sejumlah orang jatuh korban, didesak segera diungkap para pihak terkait. Apalagi saat itu menewaskan dua warga sipil dan satu lainnya luka berat hingga kakinya diamputasi.
Elius Pase, ketua Himpunan Alumni se-Jawa Bali dan Sumatera (HA-JABASU) kabupaten Yahukimo, menjelaskan, dalam penyerangan terhadap warga sipil yang sedang aksi demonstrasi menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) pembentukan daerah otonom baru (DOB) di Ruko Simpang Tiga Pangkalan Cenderawasih Dekai pada 15 Maret 2022 lalu, terjadi beberapa jenis pelanggaran yang memenuhi kriteria kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dalam tragedi itu, kata Elius, 2 orang warga sipil tewas tertembak. Yakni Yakob Meklok (39) tewas karena luka tembak di bawah ketiak kanan, dan Esron Weipsa (19) tewas karena luka tembak di punggung kiri. Sedangkan, satu warga sipil lainnya luka parah terkena peluru hingga diamputasi kakinya.
Dua orang warga sipil ditangkap paksa pasca penyerangan terhadap kerumunan massa aksi. Selain itu, 2 orang warga sipil lagi dipersekusi hingga masuk daftar pencariaan orang (DPO).
“Aparat keamanan melepaskan tembakan dan tiga orang warga sipil terkena peluru. Yakob Meklok dan Esron Weipsa tewas tertembak peluru aparat. Kasus ini terjadi dua tahun lalu, tapi sampai sekarang belum ditangani. Kami tuntut, kasus penembakan itu segera diusut tuntas,” ujar Elius dalam siaran persnya, Senin (18/3/2024).
HA-JABASU bahkan mengecam sikap diam Kompolnas, Polri, Polda Papua, Polres Yahukimo dan Komnas HAM Papua atas tragedi penembakan itu.
“Mereka masih belum tangani untuk menyelidiki dan memastikan proses hukum para pelaku serta pemulihan untuk lima korban dan para keluarga korban dalam peristiwa dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan itu,” ujarnya.
Berdasarkan data, fakta dan beragam informasi yang berhasil dihimpun dan dianalisis, HA-JABASU menurut Elius menemukan dugaan kuat telah terjadi pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM berat berupa dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Dibeberkan dari hasil investigasi HA-JABASU, dalam insiden penyerangan itu diduga kuat terlibat Pasukan Huru-Hara (PHH), Brimob, Dalmas, dan Polisi.
Selain dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa penyerangan oleh aparat kepolisian terhadap warga sipil yang sedang melakukan aksi demo, dari investigasi HA-JABASU terdapat niat jahat atau mens rea.
“Peristiwanya bukan spontanitas belaka, apalagi sekedar disederhanakan menjadi dampak dan pelanggaran individu anggota polisi di lapangan. Niat yang melatarbelakangi serangan teridentifikasi dari pengerahan kekuatan berlebihan (excessive use of force), penggunaan senjata mematikan (berupa peluru tajam), penembak jitu. Fakta penting lainnya adalah warga sipil yang menjadi target serangan sama sekali tidak membawa alat tajam maupun senjata api,” urainya.
Tidak hanya kejahatan kemanusiaan, HA-JABASU juga mencatat pelanggaran hak-hak lainnya yakni pelanggaran hak atas rasa aman, pelanggaran rasa aman terhadap hak-hak anak, pelanggaran atas hak kesehatan, dan perusakan properti masyarakat setempat.
“Lebih dari itu, ketidakjelasan proses hukum dan terbengkalainya pemenuhan hak korban selama dua tahun terakhir ini harus dicatat sebagai bentuk pelanggaran HAM lanjutan yakni hak untuk mengakses keadilan dan ketiadaan penghukuman atau impunitas untuk pelaku.”
Lanjut Elius, tiadanya keadilan dan proses hukum lantaran Kompolnas, Polri, Polda Papua dan Polres Yahukimo sengaja tidak menindaklanjuti penanganannya. Demikian pula Komnas HAM yang justru menyederhanakan fakta dan solusi untuk para korban/satu orang amputasi kakinya rujukan dari RSUD Yahukimo ke Jayapura, pendekatan dialogis dan memperbaiki dampak kerusakan.
“Laporan pemantauan Komnas HAM pada hari Selasa 6 Juni 2022, dalam 49 halaman itu tidak ada kata penyelidikan lebih lanjut dan dugaan pelanggaran HAM atau pelanggaran HAM berat. Lembaga besar yang memiliki mandat penyelidikan terhadap kasus dugaan pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 26 tahun 2000, justru melihat fakta dan korban dalam peristiwa ini tidak lebih sebagai peristiwa biasa, dimana semua pihak baik warga, pemerintah dan DPRD Yahukimo dan DPR Papua sama-sama khilaf. Ini harus saling koreksi satu sama lain,” tuturnya.
Parahnya lagi, ujar Pase, tidak ada upaya lanjutan dari Komnas HAM terhadap para korban luka tembak, mereka yang trauma, kerugian masyarakat, serta dan keberlanjutan upaya pengobatan bagi korban yang mengalami luka serius.
“Situasi ini turut diperburuk dengan rendahnya komitmen Polri dalam memastikan proses hukum pidana terhadap anggotanya yang diduga kuat terlibat dalam kasus penyerangan tersebut,” kata Elius.
Pase mengaku hingga kini tak ada yang diproses hukum internal (etik) dan pidana terhadap anggota Polres Yahukimo, anggota Brimob yang terlibat dalam peristiwa itu saat bertugas dan kembali ke Surabaya. Belum diketahui juga upaya Propam dan Polda Papua terhadap para pelaku. Termasuk Kapolres Yahukimo tak memproses anak buahnya berupa hukuman pidana atau teguran tertulis dan etik.
Sehubungan dengan itu, HA-JABASU Yahukimo merekomendasikan tiga tuntutan.
Pertama, Komnas HAM RI Perwakilan Papua harus segera melakukan penyelidikan pro-yustisia, berdasarkan ketentuan UU nomor 26 tahun 2000. Hal ini penting untuk dilakukan sesegera mungkin mengingat dari fakta dan data awal yang berhasil dikumpulkan oleh HA-JABASU terdapat bukti permulaan yang cukup bahwa telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa penyerangan terhadap masyarakat sipil di Ruko Simpang Tiga Pangkalan Cenderawasih Dekai dan rangkaian peristiwa setelahnya.
Kedua, pemerintah kabupaten Yahukimo, DPRD Yahukimo dan DPR Papua Komisi I sesuai kewenangan dapat mendorong terlaksananya proses hukum serta serangkaian upaya lainnya terkait kasus ini.
Ketiga, Kepolisian RI dan Kompolnas secara khusus Polres Yahukimo dan Polda Papua bersama segenap pihak yang patut diduga kuat terlibat dalam penyerangan terhadap warga sipil di Dekai agar bekerjasama dengan baik terhadap segala bentuk pemeriksaan dan proses hukum sebagai bentuk akuntabilitas penegakan hukum.
Diberitakan media ini sebelumnya, jenazah Yakob Meklok dan Esron Weipsa dimakamkan di jalan Gunung, dekat kali Bonto, kampung Tomon Satu, distrik Dekai, Rabu (16/3/2022). Jenazah keduanya dimakamkan di pinggir jalan raya sebagai simbol perlawanan rakyat Papua menolak pemekaran provinsi baru yang terus dipaksakan Jakarta. []