ArtikelCatatan Advokat PapuaOAP Sibuk Persoalkan Diskriminasi Hak Politik, Misi Eksploitasi SDA Papua Makin Gencar

OAP Sibuk Persoalkan Diskriminasi Hak Politik, Misi Eksploitasi SDA Papua Makin Gencar

Oleh: Emanuel Gobay, SH, MH*
)* Penulis adalah direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua

Situasi Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 telah mampu mengantarkan kondisi sosial politik Papua yang sangat memprihatinkan karena mayoritas hak politik praktis Orang Asli Papua (OAP) terkebiri. Situasi ini tentunya telah membuka mata beberapa pihak yang dulunya dengan suka ria mendukung Jakarta untuk mendorong perubahan Undang-undang Otonomi Khusus (Otsus) dan program DOB (daerah otonom baru), namun akhirnya dalam Pemilu 2024 tereliminir dari daftar anggota legislatif maupun lembaga kultur.

Fakta banyaknya poster calon anggota legislatif non OAP yang menguasai emperan jalan raya di seluruh kota besar maupun daerah pelosok di Tanah Papua telah membangkitkan pandangan protes dalam diri OAP, sehingga dalam aktivitas sehari-hari baik di dunia nyata maupun dunia maya nyaris penuh dengan pembahasan diskriminasi hak politik OAP yang tidak berujung.

Di beberapa tempat bahkan diwarnai dengan aksi massa yang dilakukan beberapa pihak yang intinya menuntut hak politik praktis bagi OAP kepada KPU daerah pasca perayaan Pemilu kemarin.

Di tengah situasi itu, publik Papua juga dikagetkan dengan fakta pemerintah pusat secara sepihak mempromosikan sumber daya alam (SDA) Papua dalam program pelelangan tanpa sepengetahuan masyarakat adat Papua. Seperti yang dilakukan dalam kasus pelelangan Blok Agimuga I dan Blok Agimuga II di kabupaten Mimika, provinsi Papua Tengah, dan kasus pelelangan Blok Bobara di kabupaten Kaimana, provinsi Papua Barat, beberapa waktu kemarin.

Semua aktivitas itu berjalan tanpa ada pantauan dari pihak lembaga negara yang dibentuk untuk melindungi hak masyarakat adat Papua, seperti DPR dari kursi Otsus dan MRP lantaran anggota kedua lembaga itu sedang sibuk dengan pemilihan anggota kedua lembaga legislatif. Di kedua lembaga itu mengakomodir kelompok adat, sehingga tentunya juga menyeret lembaga adat seperti LMA, DAP dan wadah adat lainnya ke dalam pusaran perebutan kursi adat dalam lembaga kultur dan kursi Otsus sembari menutup mata terhadap hak-hak masyarakat adat lainnya, seperti kondisi sumber daya alam Papua yang menjadi incaran semua investor nasional dan internasional.

Di tengah OAP yang terjebur dalam pusaran perebutan kursi yang dibayangi kekesalan politik yang berkepanjangan tanpa berujung, situasi demikian rupanya yang dijadikan sebagai jalan lebar bagi pemerintah pusat untuk mengembangkan segala kepentingan ekonomi di atas wilayah dan SDA Papua. Sebab kemungkinan menurut mereka tidak adanya satupun anggota lembaga negara maupun non negara yang dapat dimintai pertanggungjawabannya oleh OAP dalam konteks perlindungan hak masyarakat adat Papua.

Fakta rencana Ground Breaking Smelter Nikel dalam Proyek Strategis Nasional Jokowi yang mulai dibahas oleh kementerian terkait bekerja sama dengan Pemprov Papua Barat Daya bekerjasama dengan sebuah perusahaan swasta di daerah menjadi fakta pemanfaatan situasi ketidakfokusan OAP dalam memikirkan hak masyarakat adatnya. Pembahasan yang dilakukan di tengah publik Papua sedang disuguhi berita tentang perdebatan pengkebirian hak politik OAP dalam percaturan politik praktis yang dikendalikan oleh partai politik nasional tanpa partai politik lokal yang telah dihapus nafas legalnya oleh Undang-Undang nomor 2 tahun 2021 tentang Otsus Papua itu menjadi sebuah fenomena pemanfaatan kondisi oleh pemerintah pusat yang memang memiliki ambisi untuk mengeksploitasi SDA Papua tanpa memikirkan eksistensi masyarakat adat Papua dan hak-haknya.

Pembahasan rencana Ground Breaking yang direncanakan pada Juni 2024 mendatang itu hanya dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi Papua Barat Daya dan perusahaan swasta lokal tanpa melibatkan masyarakat adat Papua pemilik tanah air dan sumber daya alam dalam bentuk Nikel yang dijadikan target eksploitasi serta dimurnikan dalam Smelter Nikel yang akan dibangun itu bertentangan dengan ketentuan kewajiban pemerintah untuk melibatkan masyarakat adat Papua dalam pembahasan ekonomi yang akan memanfaatkan hak ulayat masyarakat adat Papua sesuai perintah Pasal 42 ayat (3) UU nomor 2 tahun 2021.

Berdasarkan uraian itu, sudah dapat menunjukan fakta bahwa dalam rangka mewujudkan pengolahan sumber daya alam Papua, pemerintah pusat dan provinsi akan terus melanggar ketentuan pemerintah provinsi wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak masyarakat adat sesuai perintah Pasal 43 UU nomor 2 tahun 2021.

Cerdiknya lagi adalah misi ekonomi politik pemerintah pusat dilakukan dengan memanfaatkan ketidakfokusan OAP dalam melindungi hak-hak adatnya. Fakta itu menunjukkan praktik perdata internasional yang buruk oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan perusahaan asing maupun nasional hingga daerah atas sumber daya alam milik masyarakat adat Papua.

Di tengah praktik hukum perdata internasional atas eksploitasi SDA Papua tanpa sepengetahuan masyarakat adat Papua itu apakah eksekutif, legislatif dan DPD serta lembaga kultur hasil Pemilu 2024 dapat menyelamatkan masyarakat adat Papua beserta hak-haknya termasuk SDA Papua?. Semoga akan ada pemimpin marga pemilik SDA Papua yang akan mencontohi pimpinan marga Woro menggugat pemerintah pusat dan pemerintah provinsi terkait adanya pelanggaran hak masyarakat adat Papua dengan cara mempraktikkan hukum perdata internasional atas SDA Papua tanpa melibatkan masyarakat adat Papua.

Akhirnya perlu ditekankan bahwa UU nomor 2 tahun 2021 telah memberikan ruang lebih kepada pemerintah pusat untuk mengelola SDA Papua. Proyek DOB hanyalah jalan untuk memanfaatkan investor pada SDA Papua di setiap sudut wilayah adat Papua, sehingga apapun kondisi yang akan diciptakan di atas Tanah Papua hanyalah bagian dari upaya pengalihan untuk mempermudah investor untuk menguasai SDA Papua di setiap sudut wilayah adat Papua.

Dengan dasar itu, maka sudah seharusnya OAP tidak terlena dengan segala macam cipta kondisi yang sedang dipraktikkan baik dengan cara memanfaatkan kemarahan OAP atau dengan cara memanfaatkan ketakutan OAP maupun dengan cara memanfaatkan kemauan OAP. (*)

Jalan Percetakan Jayapura, 17 Maret 2024

Terkini

Populer Minggu Ini:

KPK Menang Kasasi MA, Bupati Mimika Divonis 2 Tahun Penjara

0
“Amar Putusan: Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara 2 tahun dan denda Rp200 juta subsidair 2 tahun kurungan,” begitu ditulis di laman resmi Mahkamah Agung.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.