Oleh: Victor Yeimo*
*) Juru Bicara Internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB)
Apa yang kita saksikan dari kebrutalan pemaksaan Otonomi Khusus (Otsus), pemekaran dan Pemilihan Umum (Pemilu) kolonial 2024 di Tanah Papua adalah sekedar buah dari kelanjutan perilaku kejam kolonial, kapitalis dan militernya yang mengakar sejak Perjanjian New York hingga Pepera 1969.
Yang berbeda, dahulu dilakukan oleh aktor Amerika Serikat, Belanda dan Indonesia, sekarang justru dilakukan bersamaan dengan elit-elit politik orang asli Papua dan segala perangkatnya. Otak bangsa Papua diracuni oleh cara-cara busuk dan brutal ala demokrasi kolonial yang halalkan segala kejahatan demi kekuasaan ekonomi politik.
Suara rakyat dipasung dalam segala bentuk rekayasa. Politik uang menjadi senjata utama para elit, merajai panggung politik dengan memupuk kekuasaan tanpa rasa malu. Budaya ini tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat yang semestinya menikmati hak-hak politiknya. Demokrasi yang seharusnya menjadi panglima keadilan dan kesetaraan terhempas oleh keangkuhan dan keserakahan para elit kolonial.
Belum lagi ancaman serius akibat dominasi warga penjajah yang secara aktif merampas dan mengendalikan panggung politik di Tanah Papua. Ironisnya, setelah sekian lama memegang kendali ekonomi Papua, warga penjajah kini memanfaatkan posisi tersebut untuk menguasai penuh arena politik.
Dominasi ini menandai sebuah periode gelap di mana partisipasi politik orang Papua semakin terpinggirkan dan hak-hak mereka terancam kehancuran. Kekuasaan ekonomi yang sebelumnya dipegang oleh warga penjajah digunakan sebagai alat untuk merentangkan kendali politik, menciptakan ketidaksetaraan yang semakin memperlebar jurang antara warga Papua dan penguasa kolonial.
Rakyat Papua yang merana tanpa daya terjebak dalam konflik sesama bangsa, menjadi korban dari agenda kolonial yang taktis merancang kekacauan untuk mengamankan dominasinya. Dalam kekacauan tersebut, demokrasi yang seharusnya menjadi fondasi berbangsa dihancurkan, memberikan celah bagi kolonial untuk dengan mudah menguasai Tanah Papua.
Keadaan yang diatur sedemikian rupa oleh elit politik kolonial membiarkan rakyat Papua terombang-ambing, terperangkap dalam ketidakpastian dan konflik internal yang semakin merusak keberlanjutan masyarakat. Pemecah belah di kalangan rakyat Papua bukan hanya menyuburkan pertentangan antarindividu, tetapi juga merusak semangat persatuan dalam mencapai tujuan bersama.
Kolonial dengan liciknya mengincar kelemahan demokrasi, memanfaatkannya sebagai alat untuk menyusun peta politik yang mendukung kepentingannya. Rakyat yang seharusnya menjadi agen perubahan terjebak dalam lingkaran konflik yang memakan korban tanpa henti. Kondisi ini sesungguhnya menciptakan arena ideal bagi kolonial untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan lebih mudah, sambil tetap mempertahankan kedok demokrasi yang semu.
Kita perlu sadari bahwa Otsus, pemekaran dan Pemilu konvensional hanyalah instrumen kejam yang digunakan untuk mengamankan kekuasaan kolonial. Rakyat Papua perlu bersatu dan menyuarakan hak-haknya agar dapat meraih kembali demokrasi yang sesungguhnya, tanpa terperangkap dalam jebakan kolonial yang menguntungkan pihak tertentu.
Dalam perjuangan demokratik rakyat Papua untuk merdeka, budaya demokrasi kolonial yang harus dihancurkan karena mencederai hak-hak dan kebebasan rakyat. Salah satu aspek yang krusial adalah hegemoni politik yang dibangun oleh pihak kolonial, yang secara sistematis merampas hak rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri.
Demokrasi kolonial telah menciptakan ketidaksetaraan dalam partisipasi politik, dengan mereduksi suara rakyat Papua dan memberikan dominasi kepada kekuatan-kekuatan eksternal. Rakyat Papua tidak hanya menjadi saksi, tetapi juga korban dari kebijakan yang diambil tanpa melibatkan mereka secara langsung. Perjuangan ini bertujuan untuk menghancurkan model demokrasi yang seolah-olah memaksakan kehendak dan kepentingan luar, tanpa memperhatikan aspirasi dan kebutuhan rakyat Papua.
Selain itu, budaya demokrasi kolonial juga menciptakan ketidaksetaraan ekonomi yang signifikan. Penguasaan sumber daya alam dan ekonomi di Tanah Papua diarahkan untuk keuntungan penjajah, sedangkan rakyat Papua sendiri terpinggirkan. Dalam perjuangan kemerdekaan, tujuannya bukan hanya untuk menghancurkan struktur ekonomi yang merugikan, tetapi juga untuk membangun sistem yang adil dan memberdayakan rakyat bangsa Papua.
Selain itu, demokrasi kolonial juga melibatkan praktik-praktik represif yang menghancurkan hak asasi manusia. Kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berorganisasi dibungkam dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi sejati. Dalam perjuangan kemerdekaan, kita rakyat Papua mesti berusaha untuk mengakhiri era penindasan ini dan membangun budaya demokrasi yang menghargai kebebasan individu dan kolektif.
Dengan menghancurkan budaya demokrasi kolonial ini, perjuangan demokratik rakyat Papua bertujuan untuk pembebasan yang melibatkan setiap elemen masyarakat dalam pengambilan keputusan yang adil dan partisipatif. Tujuannya adalah membangun fondasi demokrasi yang mencerminkan nilai-nilai bangsa Papua, menjunjung tinggi keberagaman, dan memberikan hak suara kepada semua warga Tanah Papua. Dalam konteks ini, perjuangan kemerdekaan menjadi simbol harapan untuk membangun masyarakat yang lebih adil, demokratis, dan berdaulat di Tanah Papua.
Hanya melalui kemerdekaan, rakyat Papua dapat memiliki kendali penuh terhadap nasibnya dan membangun demokrasi yang sesuai dengan nilai-nilai kemerdekaannya. Langkah ini menjadi titik terang menuju pemulihan hak-hak politik yang dihormati dan mewujudkan masyarakat yang mampu menentukan arah dan masa depannya sendiri. (*)