ArsipGroup Mambesak: Bintang Timur yang Selalu Bersinar

Group Mambesak: Bintang Timur yang Selalu Bersinar

Sabtu 2016-04-29 21:02:17

Menyanyi Untuk Hidup Dari Dulu, Kini dan Nanti. Dulu, generasi Alm. Arnold Ap dkk. telah Menyanyi dan Menari. Kini, kami juga Menyanyi dan Menari. Nanti, anak-anak kami juga akan terus Menyanyi dan Menari, karena ini Sabda Alam, Sabda Budaya, sehingga tak satupun di dunia yang bisa membelenggu nyanyian dan tarian kami.

Oleh: Max Binur

 

 

Menyanyi untuk hidup kini, esok dan nanti.  

 

Itulah semboyan Grup Mambesak yang lahir di Jayapura 15 Agustus 1978, yang mengangkat pesan-pesan ritual serta adat rakyat Papua. Menurut (Alm) Arnold Clemens Ap, Ketua Group Mambesak, sang seniman Papua yang juga Martir Papua itu, komposisi lagu-lagu Mambesak diperoleh dari semua daerah di Papua. Lagu-lagu itu dikirim lewat laut, lembah, melewati udara, juga gunung, dengan harapan agar semua lagu tidak ditambah ataupun dikurangi, tetapi biarkan semua tetap dipertahankan ciri khasnya.

    

Namun meski tenggelam hampir delapan belas tahun lamanya diterjang badai Militerisme dan Orde Baru, Group Mambesak tetap menjadi cermin jiwa raga serta ratapan rakyat Papua kepada roh-roh leluhur mereka dan sang pencipta. Ratapan jiwa ini adalah akumulasi akibat eksploitasian dan pengrusakan segala sumberdaya alam rakyat Papua disertai pelanggaran HAM yang luar biasa, tanpa batas perikemanusian yang terus terjadi di negeri kaya mineral ini.

 

Bukan sekedar untuk mengenang kejayaan dan keberhasilan Group Mambesak dalam mempersatukan nada dan irama suku-suku di Papua, tetapi sekaligus bertujuan membangun pendidikan kritis budaya kepada masyarakat adat pewaris aktif kebudayaan Papua. Melalui Mambesak, kita diajak menjawab sejauhmana pewaris kebudayaan Papua memahami pentingnya Budaya sebagai Identitas jati diri kita.

 

Peringatan Mambesak atau hari kematian Arnold Ap bukan acara seremonial belaka, apalagi bila ada pihak-pihak tertentu yang melihatnya sebagai tindakan makar. Hal itu sama sekali tidak benar, sebab yang sangat penting bagi kami adalah budaya Papua sebagai satu persoalan yang unik, dengan kacamata ilmiah, sebagai aset budaya dunia yang sering terabaikan dan ditindas.

 

Hal-hal besar yang sebagaimana telah dilakukan di Uncen dengan FGD, Unipa (Antropologi) dengan Gelar Panggung Mambesak, AMP di kota studi Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Jakarta, adalah satu impian dari rakyat Papua: anak-anak, muda-mudi maupun orang tua di tanah ini bahwa inilah harga diri orang Papua dan tanah air Papua!.

 

Sebagaimana kita ketahui bersama dimasa lalu, begitu lagu “Mambesak” berkumandang di udara Papua, orang Papua terasa terlepas; seolah-olah memperoleh semangat hidup baru, dan semangat baru itupun timbul untuk memulai hidup baru lagi.

 

Disamping itu, orang Papua merasa lagu ini bila dinyanyikan akan sampai pada relung-relung hatinya yang terdalam. Juga kadang-kadang lagu-lagu ini berubah menjadi doa bersama orang Papua, yang diangkat ke langit yang tinggi, sebagai permohonan pada moyang-moyang penciptanya agar melepaskan orang Papua dari penindasan.

 

Pendek kata, untuk orang-orang Papua lagu-lagu Mambesak menjadi penyelamat hidup, keluhan atas derita hidup, doa agar terlepas dari belenggu penderitaan, protes terhadap harga diri yang telah direndahkan dan dihina.

 

Orang Papua rasa demikian karena meskipun dia hidup, di tanahnya sendiri, di buminya sendiri, namun penguasa dan pengusaha melihatnya sebagai suatu makluk yang “aneh“, yang hina, sehingga diperlakukan sebagai manusia yang tidak punya harga diri. Dan dari kesemuanya ini, yang menjadi pertanyaan kita adalah: ”Apa yang harusnya dibuat?”

 

Selama ini ketika penguasa dan pengusaha hendak letakkan kekuasaan di wilayah ini, maka budaya bangsa yang dikuasainya itu ia matikan. Membunuh bahasanya khusus keseniannya serta lagu-lagu setempat. Sebagai penggantinya, penguasa masukan budaya instan dari luar atau memaksakan budaya luar untuk diterima oleh masyarakat adat setempat; sedangkan budaya setempat dihina, direndahkan, disepelekan dan dimatikan dengan segala cara.

 

Orang dari daerah yang dikuasai, harus mempelajari budaya penguasa, bahasa, seni tari dan seni lagu. Bahasa penguasa harus dipelajari dipahami sampai pada hal-hal yang sekecil-kecilnya, walaupun tanah airnya tidak dipahaminya dengan baik.

 

Seni tari dan lagu adalah bagian dari adat suatu bangsa. Adat dapat memberi suatu kekuatan dan semangat hidup serta jati diri bagi pemiliknya. Itulah sebabnya, penguasa ingin menghilangkan adat dari kelompok masyarakat yang dikuasainya. Lebih dari itu, penguasa melakukan semua ini karena mereka tahu bahwa adat adalah harga diri, sekaligus martabat serta eksistensi diri suatu kelompok masyarakat.

 

Mengapa di waktu lalu Arnold C. Ap dibunuh? Hal itu hanya karena Group Mambesak mengangkat harga diri rakyat Papua dengan menghidupkan budaya orang Papua, khusus dalam bidang seni lagu dan seni tari Papua Beliau dibunuh dengan harapan gerakan Mambesak untuk menyanyi dari dulu, kini dan nanti dengan sendirinya akan padam.

 

Kita bisa menjawab: Tidak! Sekali lagi: Tidak! Karena Nyanyian, Musik dan Tari sudah menembus jagat raya alam semesta dan telah tumbuh benih-benih dan tunas Mambesak di Gunung, Lembah, Pesisir, Pulau baik di Tanah Papua maupun luar Papua saat ini.

 

Saatnya orang Papua bersatu dalam nada, irama Mambesak untuk mengangkat seni dan budaya Papua, yang berarti mengangkat harga diri bangsa Papua, sekaligus penegasan jati diri dan melestarikanya.

 

“Sesungguhnya kita harus bersyukur bahwa Pulau Papua yang terbentang dari Sorong sampai Samarai yang dihuni hampir lebih dari kurang lebih (1000) suku bangsa yang mendiami suku bangsa itu, maka dengan Parade lagu Mambesak kiranya hal itu bisa menjadi perekat untuk menyatukan semua etnis yang ada. Sebab untuk menghancurkan suatu bangsa, maka kebudayaannya dulu yang pertama kali dihancurkan,” kata Valcoff Presiden Cekoslovakia.

 

Dengan parade musik budaya Mambesak seperti ini, maka secara langsung orang Papua mengatakan kepada dunia bahwa orang Papua ada, dan kebudayaan itu merupakan suatu perekat dengan menghargai setiap perbedaan yang terdapat pada masing-masing suku; dan lewat lagu dan tari tersebut secara langsung menggambarkan keterwakilan semua suku dan etnis yang ada dan hidup dari Sorong sampai Samarai. Tanpa kebudayaan, maka bangsa itu mati dan kalau tidak ada kebudayaan berarti kita tidak bisa katakan dengan bangga bahwa saya adalah anak Papua. Dan dengan berkumpulnya masyarakat yang banyak ini menandakan suatu kebangkitan baru yaitu sebuah semangat baru telah terjadi di negeri ini terutama anak-anak kecil yang duduk di depan panggung ini pasti secara perlahan-lahan spirit ini juga roh Mambesak yang merupakan cermin nasionalisme Papua telah masuk pada mereka dan pasti mereka-mereka ini akan lebih hebat dari pada kita-kita yang ada ini yang tadinya tercerai-berai kita berkumpul dan kalian anak-anak yang ada di depan panggung ini adalah anak-anak pengganti kami di masa depan. (John Rumbiak, 2002).

 

Mambesak lahir dan berusaha memberikan ruang untuk membangun kebudayaan Papua lewat lagu dan tari, membuat budaya Papua eksis agar di kemudian hari generasi Papua saat ini kini dan nanti tetap punya pegangan hidup serta kebanggaan budaya sebagai anak Papua.

 

Menyanyi Untuk Hidup Dari Dulu, Kini dan Nanti. Dulu. Generasi Alm. Arnold Ap dkk (Group Mambesak) telah Menyanyi dan Menari. Kini. Kami Juga Menyanyi dan Menari. Nanti. Anak-anak kami juga akan terus Menyanyi dan Menari, karena ini Sabda Alam, Sabda Budaya, sehingga tak satupun di dunia (individu, kelompok, negara) yang bisa membelenggu nyanyian dan tarian kami.

 

 

Penulis adalah pengasuh di Belantara Papua.

Terkini

Populer Minggu Ini:

Aksi Penghijauan di Grasberg Dalam Rangka Peringatan Hari Lingkungan Hidup 2024

0
“Kami berharap melalui berbagai program lingkungan tersebut dapat menciptakan ekosistem yang baik bagi lingkungan untuk generasi mendatang,” ujar Tauran.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.