Selasa 2013-03-26 09:38:00
Bagai petir di siang bolong, demikian munculnya ide pameran keberhasilan Otsus di Jakarta. Rakyat Papua yang telah menyatakan Otsus gagal kaget lalu bertanya, keberhasilan apa yang mau dipamerkan? mengapa harus di Jakarta? Bukankah itu memboroskan uang pembangunan? Tidak bisakah pemerintah pusat diundang ke Papua saja? dll.
Protes pun dilayangkan oleh berbagai elemen masyarakat Papua bahkan secara individu lewat media cetak, radio dan media online kepada pemerintah Propinsi.
Banyak kalangan juga menilai bahwa pameran keberhasilan Otsus di Jakarta itu tidak fair jika tidak melibatkan rakyat yang nota bene telah menyatakan Otsus gagal. Rakyat juga menilai bahwa pameran itu tak memberi manfaat bagi orang Papua.
Namun demikian, pemprov memilih diam, mereka bahkan bersiap diri untuk menyukseskan rencana kegiatan itu.
Â
Apa kata Masyarakat, Pimpinan Gereja, Para Elit dan Pengamat?
Kritik yang pertama disampaikan oleh Pdt. Herman Awom salah satu anggota Presidium Dewan Papua (PDP). Menurutnya, sangat bermartabat dan terpuji jika Pameran Otsus dilakukan di Papua supaya orang Papua yang merasakan, menikmati dan yang tidak menikmati itu sama-sama hadir melihat pameran itu (http://tabloidjubi.com/?p=13575)
Selanjut, Ketua Wirya Karya Provinsi Papua, Denny Patty berpendapat bahwa sebaiknya Pameran Otsus dilaksanakan di Papua. Sebab masyarakat Papua tidak akan tahu keberhasilan Otsus sampai dimana. Bahkan jika itu dilakukan di Jakarta akan menghabiskan banyak dana, sehingga akan lebih baik bila dilakukan di Jayapura,yakni di Expo perumnas I yang sudah dibangun Pemerintah (http://tabloidjubi.com/?p=16195).
Kemudian, Lamadi de Lamato Direktur La Keda Institute menyatakan pameran Otsus hendaknya berimbang. Katanya, Banyak masyarakat mempunyai data bahwa Otsus ini gagal, hal ini penting untuk diakomodir karena Papua ini harus dikelola bukan saja dengan model-model lips service atau Asal Bapak Senang tapi harus dikelola oleh seluruh elemen itu, kemudian dibuka seluas mungkin sehingga publik mengetahui sejauhmana kebaikan dan kemajuan Otsus dan titik-titik kelemahannya. (http://tabloidjubi.com/?p=16025).
Ketua MRP Timotius Murib pun angkat bicara. Menurutnya, Pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua belum berjalan secara maksimal, karena rakyat hanya bisa mendengar jumlah dana triliunan rupiah yang datang ke Papua, tetapi belum merasakan dampaknya secara baik, sehingga pelaksanaan pameran Otsus juga harus menampilkan kegagalannya. Ia juga menyampaikan bahwa pameran Otsus di Jakarta itu pemborosan anggaran rakyat. (http://tabloidjubi.com/?p=16240&fb_source=pubv1)
Kritikan berikutnya disampaikan oleh warga masyarakat melalui dialog publik yang diselenggarakan oleh pro satu RRI Jayapura pada Senin18 Maret 2013. Banyak penelpon yang menolak kegiatan ini dilakukan di Jakarta dan mengusulkan supaya dilakukan di Jayapura. Misalnya, Monce dari Ifar Gunung Sentani. Ia tidak setuju pameran Otsus di Jakarta, karena pelaku dari otsus ada di Papua. “Bukan menghambur-hamburkan uang rakyat sampai ke Jakarta. (http://tabloidjubi.com/?p=16262)
Berikutnya, kritik datang dari Yan Mandenas Ketua Fraksi Pikiran Rakyat DPRP. Dia berpendapat bahwa Jika memang mau menyelenggarakan pameran otsus, tempatnya bukan di Jakarta tapi di Papua, biar semua pihak bisa datang melihat langsung kondisi Papua selama pelaksanaan otsus. “Orang Jakarta mana tau indicator keberhasilan Papua, jadi seharusnya dilaksanakan di Papua agar mereka bisa datang dan melihat kondisi riilnya. Pemerintah mestinya menjadi mediator untuk terselenggaranya dialog Papua-Jakarta, agar situasi damai di Papua benar-benar dapat diwujudkan. Namun yang terjadi, pemerintah malah malas tau, sambungnya. (http://bintangpapua.com/index.php/lain-lain/k2-information/halaman-utama/item/2788-otsus-harusnya-dievaluasi-bukan-dipamerankan
Direktur LP3BH Manokwari, Yan Cristian Warinussy juga ikut mengomentari rencana kegiatan yang hendak dibuat Pemda di Jakarta itu. Katanya, tindakan tersebut juga bisa dikatakan inkonstitusional dengan melanggar secara substansial pasal 78 Undang Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua sebagaiman dirubah dalam Undang Undang Nomor 35 Tahun 2008. Kenapa demikian? Karena, sekali lagi perlu diingat dan disadari sungguh oleh Pjs.Gubernur Papua Drh.Constan Karma dan Gubernur Papua Barat Abraham Octavianus Atururi bahwa mandat untuk melakukan evaluasi total atas penyelenggaraan kebijakan Otonomi Khusus yang diberlakukan dengan kedua undang- undang negara tersebut diatas adalah di tangan seluruh elemen rakyat Papua baik di Propinsi Papua maupun Papua Barat. (http://tabloidjubi.com/?p=17061)
Sementara Para Pimpinan Gereja dalam jumpa pers yang dilakukan pada 6 Maret 2013 pun menolak rencana pameran Otsus di Jakarta itu. Ketua Sinode Kingmi Papua, pendeta Benny Giay mengatakan, keberhasilan Otsus yang hendak di pemerkan oleh Pemerintah Papua adalah keberhasilan pemekaran Provinsi, pemekaran kabupaten tanpa pelibatan masyarakat. Keberhasilan lain adalah memamerkan kasus korupsi yang tidak terungkap ke permukaan. Pada waktu yang sama, Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua, Socrates Sofyan Yoman menuturkan, pameran yang hendak dilakukan adalah bargening politik. Karena, Otsus Papua lahir atas tuntutan ‘Papua Merdeka.’ Sebaiknya pemerintah tak melakukan pameran Otsus karena Presiden Susilo Bambang Yudoyono sendiri telah mengakui Otsus Papua gagal. Pemerintah Amerika Serikat juga mengakui kegagalan Otsus. (http://tabloidjubi.com/?p=16195)
Pernyataan gagalnya Otsus juga disampaikan oleh Walikota Jayapura Benhur Tomi Mano. Jujur saya katakan, saya tidak melihat hasil yang nampak atas pelaksanaan Otsus di Kota Jayapura, tidak ada. Kemungkinan rencana evaluasi Otsus yang akan diselenggarakan, Kota Jayapura mungkin akan membawa gambar atau foto saja, bahkan grafik. Sebab tidak ada seperti pembangunan rumah atau pemberian fasilitas di Kota Jayapura menggunakan dana Otsus. “Kita akan bawa apa ke pameran di Jakarta nanti, mungkin grafik-grafikkah dibawa kesana. (http://tabloidjubi.com/?p=15431).
Walaupun rakyat bahkan beberapa elit di tanah Papua tidak sepaham dengan ide ini, namun Pemerintah propinsi tetap akan melakukan kegiatan itu. Lalu kita bertanya, Mengapa Pemerintah propinsi tetap berniat menyelenggarakan kegiatan itu? Bagi saya ada dua hal:
Upaya Jakarta Menghidari Kritik Pendonor
Hal yang bisa kita garis bawahi dari proses ini adalah pernyataan dari para pimpinan gereja di Tanah Papua diatas. Mereka menyatakan bahwa dalam pertemuan mereka dengan para petinggi negara (dalam dan luar) di Jakarta, pemerintah Jakarta bahkan duta besar Amerika, Inggris, dll telah mengakui bahwa Otsus gagal dilaksanakan di Tanah Papua.
Perluh diketahui bahwa Amerika dan beberapa negara Eropa adalah donatur tetap penyuplai dana pembangunan di Papua dan dana Otsus adalah salah satunya. Ketika Otsus dinyatakan gagal, otomatis negara-negara donor itu meminta pertanggungjawaban Pemerintah Indonesia. Pertanyaannya, apakah negara sudah mempertanggungjawabkan itu kepada para donor ini?
Setahu saya, sampai saat ini negara belum mempertanggungjawabkan keberhasilan pelaksanaan Otsus di Papua. Para donor ini justru disuguhkan suara Otsus gagal oleh rakyat Papua yang nota bene menjadi sasaran dari Otsus itu. Melihat realitas seperti itu, otomatis para donor ini marah (walaupun tidak dinyatakan ke publik). Wujud kemarahan para donor ini kemudian dinyatakan dengan dukungan mereka terhadap ide rakyat Papua untuk dialog dengan Jakarta.
Sampai disini saya menilai bahwa negara terutama presiden SBY sedang berada dibawah tekanan luar negeri terutama oleh negara-negara pendonor Otsus itu. Sehingga mau atau tidak pertanggungjawaban harus diberikan. Dalam situasi itu, Pemerintah Jakarta justru mempersalahkan pemerintah daerah. Kemudian, Jakarta juga membentuk UP4B dan memaksakan keberadaannya di Papua walaupun ditolak masyarakat Papua. UP4B ini dibentuk karena rasa tidak percaya Jakarta terhadap Pemerintah daerah di Papua. Saya melihat ini semua sebagai upaya untuk menyelamatkan diri dari kritikan dan tekanan. Karena bagi Jakarta menyelamatkan wajah negara lebih penting dari pada menyelamatkan rakyat yang menderita akibat kekerasan struktural.
Upaya Jakarta Hambat Dialog Jakarta-Papua
Setelah Otsus dinyatakan gagal dilaksanakan di tanah Papua, banyak kalangan mengusulkan perlunya dialog antara Jakarta dan Papua untuk menghidupkan ide yang sudah lama diusulkan rakyat Papua.
Dalam Mubes rakyat bersama MRP, rakyat Papua telah mengeluarkan 11 rekomendasi yang salah satunya adalah dialog Jakarta-Papua yang dimediasi pihak ketiga yang netral. Proposal rakyat ini tidak ditanggapi oleh Jakarta. Hal itu membuat para Pimpinan gereja bersama rakyat turun ke jalan lalu mereka membacakan Deklarasi Teologia dihadapan pimpinan dan anggota DPRP.
Kemudian, Pater Neles Tebay membuat buku tentang dialog Jakarta-Papua serta membentuk lembaga yang diberi nama Jaringan Damai Papua (JDP). Lalu pada 5-7 Juli 2011 JDP bersama rakyat telah menggelar konferensi perdamaian dengan tema “Mari Kitong Bikin Papua jadi Tanah Damaiâ€. Akhir dari kegitan ini rakyat bersama JDP sepakat mendukung dialog Jakarta-Papua lalu mengeluarkan sebuah deklarasi perdamaian Papua. Sebagai tanda serius rakyat, dalam deklasi itu rakyat menunjuk Rex Rumakiek, Dr. John Otto Ondawame, Benny Wenda, Octovianus Mote, dan Leoni Tanggahma sebagai orang-orang yang akan mewakili mereka untuk bicara satu meja dengan Jakarta.
Namun dalam perkembangannya tak ada keseriusan pemerintah pusat menanggapi usulan dialog rakyat Papua itu. Jakarta justru takut dan mencurigai niat baik orang Papua itu. Kemudian untuk menghindari ide itu, Jakarta justru mengeluarkan UP4B dan mengajak pemerintah Propinsi Papua dan Papua Barat untuk menggelar pameran Otsus di Jakarta. Saya melihat ini sebagai upaya Jakarta memperlambat bahkan menghidari dialog Jakarta-Papua yang didesak oleh rakyat Papua dan dunia Internasional.
Sikap Jakarta seperti ini yang oleh Wibawanto Nugroho menyebutkan sebagai degenertive public policies and politics in Papua. Kebijakan publik dan pandangan-pandangan politik serta anggapan-anggapan yang melumpuhkan dan memperburuk kondisi masyarakat Papua yang dilakukan pemerintah Indonesia di Tanah Papua selama 50 tahun terakhir (The Jakarta Post/10/VII/12).
*Naftali Edoway adalah pemerhati masalah sosial di tanah Papua