ArsipSalahi Prosedur, Kapolres Sarmi Dituntut Pra-Peradilan

Salahi Prosedur, Kapolres Sarmi Dituntut Pra-Peradilan

Kamis 2014-03-20 11:08:30

PAPUAN, Jayapura — Sejumlah pengacara yang berhimpun di dalam Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM, siang tadi, Kamis (20/3/2014) melakukan pra-peradilan terhadap Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) Sarmi, AKBP Nurhabi, di Pengadilan Negeri Klas IA, Abepura, Jayapura, Papua.

Sidang pra-peradilan dengan agenda pembacaan permohonan digelar atas tindakan penahanan dan penangkapan sewenang-wenang dua warga sipil, Edison Werimon (58) dan Soleman Fonataba (47), yang dilakukan aparat Kepolisian, pada 13 Januari 2014 lalu di Kabupaten Sarmi.

Gustaf Kawer, S.H, M.Hum, salah satu penasehat hukum kedua tersangka menerangkan, tindakan yang dilakukan aparat kepolisian telah jelas-jelas menyalahi ketentuan UU No. 8/198 tentang KUHAP.

Yang mana, dalam KUHAP mengatur bahwa, sebelum dilakukan penahanan atau penangkapan, surat ijin tertulis harus diperlihatkan kepada tersangka, dan juga kepada keluarga tersangka.

“Polisi telah bersikap seperti preman, karena juga sempat melakukan penodongan senjata  kepada anak klien kami. Polisi juga telah melakukan penggeledahan seisi rumah tanpa ijin tertulis pengadilan. Dan ini tidak dibenarkan, makanya kami mencari  keadilan melalui pra-peradilan ini,” tegas Kawer kepada media ini.

Dikatakan, saat melakukan penggeledahan seisi rumah tersangka, barang-barang yang tidak ada sangkut pautnya dengan perkara juga ikut disita ke Mapolres Sarmi.

“Esoknya harinya beberapa barang dikembalikan, dan surat perintah penahanan justru keluar satu hari setelah ditahan, kemudian surat pemberitahuan untuk keluarga juga dititipkan lewat anak dari salah satu tersangka.”

“Ini jelas-jelas menyalahi aturan, dan tidak dibenarkan. Karena surat perintah penahanan harus diperlihatkan saat akan menangkap, dan ditunjukan kepada keluarga saat itu juga, bukan satu hari setelah dilakukan penahanan,” tambah Kawer.

Kawer menambahkan, secara garis besar pemohon meminta agar Ketua Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura membatalkan perkara kedua kliennya, dan dinyatakan tidak sah.

“Juga kami minta agar mereka dibebaskan dari tahanan. Dan termohon, dalam hal ini Kapolres Sarmi  harus merehabilitas nama baik mereka di media massa di Sarmi dan Kota Jayapura selama tiga hari berturu-turut,” pungkasnya.

Robert Korwa, S.H, pengacara yang juga mendampingi Kawer dalam persidangan tadi menambahkan, pra-peradilan dilakukan agar tersangka dan keluarga mendapat rasa keadilan, juga demi penegakan hukum dan HAM di tanah Papua secara menyeluruh.

“Karena jika tidak diproses, maka kepercayaan masyarakat Papua terhadap hukum akan semakin menurun. Ini kita lakukan juga sebagai fungsi kontrol terhadap kinerja polisi agar ke depannya jangan lakukan cara-cara yang keliru terhadap masyarakat.”

“Mereka kan pelindung, pengayom masyarakat sehingga harus melakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan kapasitas mereka sebagai aparat penegak hukum,” kata Korwa.

Istri Soleman Fonataba, membenarkan kejadian yang menimpa keluarganya. “Polisi masuk ke rumah dan kami punya surat-surat berharga satu kopor, 3 buah parang, kampak kecil diambil semua, ” kata ibu separuh baya ini.

Ketika ditanya alasan penggeledahan, pihaknya mengaku tidak tahu. Hanya saja, uang Rp.1.600.000, ijasah anak-anaknya juga diambil tetapi telah kembalikan pada 24 Desember lalu.

Hal yang disesalkan istri Fonataba adalah cara pihak kepolisian masuk ke rumahnya, yakni melalui jendela rumah dan setelahnya dikasih “police line” di sekeliling rumah.

Setelah mendengar keterangan pemohon, Hakim Ketua Adrianus Infaindan, S.H mengagendakan sidang berikutnya, pada Jumat (21/3/2014), pukul 14.00 Wit, dengan agenda mendengarkan tanggapan termohon.

MIKHA GOBAY/OKTOVIANUS POGAU

Terkini

Populer Minggu Ini:

Nasionalisme Papua Tumbuh Subur di Tengah Penjajahan

0
Ternyata pendidikan dan pengajaran Pancasila, P4 dan sejarah Indonesia yang diajari oleh para guru di bangku sekolah tidak menghapus nasionalisme Papua merdeka. Justru anak-anak muda Papua ini semakin memahami jati diri mereka, identitas mereka, juga memahami dengan baik penjajahan Indonesia yang sedang terjadi di atas Tanah Papua dari tahun 1960-an.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.