Mama Bless, perwakilan penjual pinang di depan toko Elin menyampaikan aspirasinya, Senin (6/2024) di pasar Boswesen, kota Sorong. (Maria Baru - Suara Papua)
adv
loading...

SORONG, SUARAPAPUA.com — Mama-mama pedagang Papua di Papua Barat Daya (PBD) menuntut keadilan kepada pemerintah daerah dengan segera menyediakan pasar khusus pedagang mama-mama asli Papua saat konferensi menjaring aspirasi yang digelar di pasar Boswesen, kota Sorong, Senin (6/5/2024).

Tuntutan itu disampaikan oleh ratusan pedagang asli Papua, korban penggusuran paksa pasar Boswesen yang datang dari berbagi titik lokasi jualan seperti pulau Soup, Ram, Surya, Jembatan Puri, Dom, dan pasar modren Rufei.

Dalam konferensi yang dihadir para undangan serta simpatisan lainnya, mama-mama penjual mencurahkan isi hati dan dinamika perdagangan sehari-hari mereka setelah terpencar ke berbagai lokasi agar tetap eksis demi kehidupan sehari-hari dalam rumah tangga dan kebutuhan anak sekolah.

Mama-mama Papua menuntut pemerintah kota Sorong dan pemerintah provinsi PBD untuk dapat menyembuhkan luka batin para pedagang asli Papua semenjak pasar Boswesen dibongkar paksa.

Yakoba Fakdawer, penjual dari pulau Ram, mengungkapkan, belakangan ruang untuk mencari makan dan minum sedikit sulit ketika pasar dibongkar. Mereka kesulitan mencari tempat untuk berjualan. Ketika ke pasar Remu, mereka ditolak oleh pedagang lainnya di sana.

ads

“Pasar Boswesen tadinya di sini, tapi dipindahkan ke Rufei. Itu bikin kitong dari pulau Ram tidak bisa jualan lagi. Susah kalo tidak jualan, kitong punya anak-anak mau sekolah dapat uang dari mana? Bingung juga, kitong setengah mati,” tutur mama Fakdawer.

Baca Juga:  Pusaka Launching Buku Laporan Advokasi Gelek Malak Kalawilis Pasa
Para pedagang menghadiri konferensi bersama aktivis LSM, mahasiswa, tokoh Gereja dan lain-lain menuntut adanya pasar khusus pedagang asli Papua, Senin (6/5/2024) di bekas pasar Boswesen, kota Sorong. (Maria Baru – Suara Papua)

Sementara, Marta Bame, penjual di pasar modern Rufei, melihat tidak ada persatuan diantara mama-mama Papua pasca pembongkaran paksa pasar Boswesen. Mereka terpencar ke mana-mana, sehingga ia minta dibangun pasar khusus untuk pedagang mama-mama Papua.

Mama Bame akui jumlah mama-mama Papua di pasar modern Rufei tidak banyak. Rata-rata mereka tetap berjualan di pondok dan menggunakan seng bekas.

“Mulai keluar dari pasar Boswesen, kami pedagang mama-mama Papua berhamburan. Tadinya kami berkumpul bersama di pasar Boswesen yang orang Belanda bangun, tapi kami dipaksa pindah. Kami tidak tahu teman-teman yang lainnya di mana? Mama-mama Papua di pasar modern bisa dihitung dengan jari saja. Lainnya orang pendatang semua. Mereka di tempat yang bagus. Kami mama-mama Papua duduk dengan tenda dan seng bekas. Kami minta bangun pasar khusus pedagang mama-mama Papua supaya kami bersatu kembali seperti dulu,” cerita mama Marta.

Selain itu, ia persoalkan kucuran dana Otonomi Khusus (Otsus) yang semestinya digunakan untuk bangun pasar khusus mama-mama Papua. Menurutnya, pemanfaatan dana Otsus sekian tahun tidak dinikmati para pedagang asli Papua. Ia menduga dana Otsus diberikan kepada pendatang juga, sehingga dianggap lucu karena orang non Papua turut menikmati darah OAP yang mati karena Papua.

Baca Juga:  Parpol Harus Terbuka Tahapan Penjaringan Bakal Calon Bupati Tambrauw

“Dana Otsus banyak. Dana itu buat apa? Bisa pakai bangun pasar untuk mama-mama Papua. Dana yang banyak turun tidak hanya orang Papua saja. Itu amber juga makan, dong makan orang Papua pu darah. Kami punya anak-anak kebutuhan sekolah, kami kerja keras sendiri agar mereka bisa bersekolah. Tolong anak-anak lihat kami yang setengah mati. Apakah kami setengah mati terus sampai Tuhan datang baru selesai ka?” kesal mama Bame.

Mama Selly Bless, penjual di ruas jalan Surya, menyebut kebijakan mantan Walikota Sorong adalah tindakan tidak adil dan tidak menghormati hak-hak mama Papua. Ia menilai kebijakan tersebut membunuh perempuan Papua yang kemudian kesulitan mencari ruang untuk berjualan.

Mama Bless menuturkan situasi kala itu mantan Walikota tidak melakukan koordinasi bersama para pedagang di pasar Boswesen. Para pedagang hanya dipaksa pindah setelah gedung pasar modern diresmikan.

Baca Juga:  Perda Pengakuan dan Perlindungan MHA di PBD Belum Diterapkan

“Bongkar tanpa hormat. Pada saat bongkar itu berlinang air mata. Mama-mama menangis tidur di tanah sambil pegang barang dan truk. Pemerintah hanya datang bongkar saja. Kami mama-mama menderita sampai sekarang. Waktu bongkar, harusnya bapak Lambert Jitmau datang dan duduk bersama mama-mama. Bapak tanya kami mama-mama Papua sebelum bongkar pasar Boswesen dan bangun pasar modern Rufei. Itu baru pemimpin yang bijaksana untuk semua orang, bukan karena pengusaha besar punya uang lalu lupakan masyarakatnya sendiri,” ujar mama Selly Bless.

Diakuinya, kota Sorong adalah pintu masuk perdagangan di Tanah Papua. Sumber kekayaan alam berlimpah per tahun mulai dari kayu, minyak, tambang, gas, dan sawit yang bisa digunakan untuk bangun pasar khusus mama-mama Papua.

Karena itu, mama Selly juga setuju, pasarnya dibangun kembali di pasar Boswesen, tidak di tempat lain.

“Sorong pintu masuk, kenapa tidak bangun pasar mama-mama Papua? Sorong punya penghasilan sumber daya alam besar. Kami tidak mau ke mana-mana. Kami minta tetap bangun kembali pasar mama-mama Papua di sini [pasar Boswesen]. Pasar Boswesen ini pasar diberkati Tuhan. Telah menjadi berkat untuk banyak orang,” tandasnya. []

Artikel sebelumnyaJuara Grup F, Persipani Paniai Laju ke Babak 32 Besar
Artikel berikutnyaLBH Papua Soroti Penangkapan Pelajar dan Interogasi Guru Akibat Mencoret Pakaian Seragam Bermotif BK