ArsipPra-peradilan Kapolres Sarmi; Kawer: Aparat “Tangkap Tangan” Bendera Melanesia

Pra-peradilan Kapolres Sarmi; Kawer: Aparat “Tangkap Tangan” Bendera Melanesia

Kamis 2014-03-27 10:57:30

PAPUAN, Jayapura — Sidang lanjutan perkara pra-peradilan terhadap Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) Sarmi, yang diajukan para pengacara dari Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM, mewakili pemohon Edison Werimon (50) dan Soleman Fonataba (48), kembali digelar Rabu (25/3/2014) siang, di Pengadilan Negeri Klas IA, Jayapura, Papua, dengan agenda pemeriksaan saksi.

Efradus Sineri (33), saksi yang dihadirkan pemohon untuk perkara pra-peradilan Nomor: 02/PID.PRA/2014/PN-JPR atas nama Edison Werimon menjelaskan, pada tanggal 13 Desember 2013 saat berlangsung peristiwa penangkapan, penahanan, dan penggeladahan rumah dari pemohon Edison Werimon, dirinya berada di Kantor Bank Papua, yang jaraknya cukup dekat dengan rumah pemohon.

“Karena lampu terang, maka saya bisa lihat aparat datang ke rumah pak Werimon dengan tiga mobil. Ada yang berpakaian lengkap, dan premen, dan pegang senjata besar maupun kecil. Aparat juga saat itu kepung rumah pak Werimon, tapi saat itu pak Werimon sedang keluar, yang ada istrinya dan anaknya saja,” ujar Sineri.

Dikatakan, sebelum masuk ke dalam rumah, Wakil Kepala Kepolisian Resort (Wakapolres) Sarmi sempat mengetok pintu depan rumah agar pintu dapat dibukakan oleh pemiliknya.

“Yang bukakan pintu anaknya, Victor Werimon. Tapi beberapa aparat sudah ada di dalam juga, mereka masuk lewat pintu belakang. Saya sempat telepon pak Werimon kasi tau kondisi rumah, dan beliau datang ke rumah, dan ikut ditahan oleh aparat kepolisian,” ujarnya.

Selain membawa pemohon ke Polres Sarmi, menurut Sineri, ikut pula anak dan istrinya yang sedang berada di dalam rumah saat dilakukan penggeledahaan, penangkapan dan penahanan.

Beberapa jam kemudian, lanjut Sineri, empat orang aparat kepolisian yang dipimpin oleh Yusuf Monim, anggota Polres Sarmi dari Unit Intel datang ke kantor Bank Papua, dan melakukan penangkapan terhadap dirinya yang sedang bertugas malam itu.

“Saya malam itu bertugas jaga di kantor. Saya lihat pak Yusuf Monim dan anggota lain datang ke kantor, dan mengetok pintu, ketika saya buka pintu, saya dibentak oleh pak Yusuf untuk ikut ke kantor Polisi, ‘Selamat malam, selamat malam apa, cepat ikut kami ke atas (Kantor Polres),’ itu yang disampaikan pak Monim,” cerita Sineri.

Sesampainya di kantor Polres, Sineri mengaku di tahan di ruang Reskrim dari pukul 02.00 pagi, sampai jam 11.00 siang, tanpa dilakukan pemeriksaan, dan kemudian mulai dilakukan pemeriksaan pada pukul 11.00 siang oleh penyidik.

“Pemeriksaan baru berakhir pukul 01.00 malam. Saya ditahan sekitar 24 jam, setelah itu saya dibebaskan lagi,” ujar Sineri, yang mengaku sejak kejadian itu ia terus wajib lapor ke Polres, yakni, dalam seminggu dua kali.

Saksi dari pihak termohon, yakni, Kasat Intelkam Polres Sarmi, Iwan (33) menceritakan, sejak tanggal 11 Desember 2013 ia telah mengeluarkan surat perintah penyelidikan terhadap tersangka Edison Werimon, karena mendapat laporan intelijen terkait aktivitas yang bersangkuatan.

“Tim kami memang sudah melakukan pemantauan di rumah tersangka sejak tanggal 11 Desember 2013. Karena ada laporan anak buah saya di lapangan terkait aktivitas beliau, dan puncak penangkapan yang bersangkutan terjadi tanggal 13 Desember,” cerita Iwan.

Gustaf Kawer, SH, M.Hum, pengacara pemohon, sempat menanyakan barang bukti awal yang dijadikan acuan oleh Polisi, untuk menerbitkan surat perintah penyelidikan terhadap tersangka.

“Kami memang tidak memiliki alat bukti, tapi yang menjadi dasar kami ada laporan intelejen di lapangan,” kata Iwan.

Lanjut Iwan, dirinya pada tanggal 13 Desember 2013 ikut bersama dengan tim gabungan untuk melakukan penangkapan, penahanan dan penggrebekan rumah dari tersangka, Edison Werimo, yang terletak tidak jauh dari kantor Bank Papua, Cabang Sarmi.

“Sampai dirumah, saya yang ketuk pintu depan, dan yang bukakan pintu adalah anak pak Werimon. Di ruang tamu ada bendera Melanesia yang dipajang, dan bisa langsung kelihatan. Ketika saya suru anak pak Werimon tengkurap, beliau juga masuk dari pintu, dan menyatakan ia yang bertanggung jawab, setelah itu kami tahan mereka,” jelas Iwan.

Setelah itu, Iwan mengaku tidak mengikuti proses penggeledahaan yang dilakukan aparat gabungan, karena harus menuju ke Tempat Kejadian Perkara (TKP) tersangka Soleman Fonataba, yang jaraknya lima kilometer dari rumah tersangka Edison Werimon.

“Apakah setelah masuk ke dalam rumah, saudara saksi memberikan surat perintah penangkapan, surat penggeladahan, dan menunjukan surat perintah tugas sesuai bunyi KUHAP,” tanya Kawer kepada Iwan.

Kasat Intelkam Polres Sarmi ini mengaku, memang anggota tidak membawa surat-surat tersebut, karena kuatir barang bukti dihilangkna, juga karena takut tersangka melarikan diri.

“Memang kami tidak datang dengan surat itu, tapi bekerja berdasarkan sprindik yang saya keluarkan paa tanggal 11 Desember, ini menjadi dasar kami di lapangan,” katanya.

Kembali Kawer bertanya, pasal yang dikenakan kepada pemohon, yakni pasal 106 KUHP subside Pasal 110 ayat (1) KUHP Jo.53 KUHP jo 55 KUHP yang berbunyi soal dugaan tindak pidana ‘Pemufakatan jahat untuk melakukan maker’.

“Apakah saudara saksi saat datang ke rumah tersangka, melihat ada orang kumpul-kumpul di dalam rumah pak Werimon, sesuai dengan pasal dikenakan kepada pemohon, karena kalau bicara pemufakatan, berarti ada pertemuaan-pertemuaan, ada orang kumpul-kumpul, ada banyak orang di dalam rumah saat itu, nah, apakah ada aktivitas itu?” tanya  Kawer.

Saksi dengan tegas mengaku, bahwa memang aktivitas kumpul-kumpul tidak ada di dalam rumah tersangka, namun yang ada  hanya istri dan anaknya, Victor Werimon.

Saksi lain dari termohon, Suherman (32) yang merupakan anggota Polres Sarmi mengaku bahwa saat akan dilakukan penangkapan, penanahanan, dan penggeledahan, aparat tidak membawah surat-surat tersebut, dan baru diberikan pada tanggal 14 Desember 2013 pagi.

“Selain jarak waktu tanggal 13 ke 14 Desember yang begitu cepat. Juga karena kami berhasil menangkap tangan di rumah tersangka, dan memang kami menemukan barang itu, jadi kami kuatir terdakwa akan melarikan diri, dan menghilangkan barang bukti,” katanya di dalam persidangan.

Menurut Kawer, yang ditangkap di rumah tersebut sejak dilakukan penggeladahan adalah bendera Melanesia, bukan pemohon, karena beberapa menit kemudian pemohon baru sendiri datang dan menyerahkan diri, dan menyatakan siap bertanggung jawab atas perbuatannya.

“Kalau tangkap tangan, berarti saat tersangka ada di rumah dengan barang bukti bendera Melanesia. Tapi kan fakta persidangan menunjukan bahwa beliau tidak berada di dalam rumah, yang ada hanya istri dan anak beliau, karena itu polisi hanya tangkap tangan bendera Melanesia, bukan tangkap tangan pemohon,” tegas Kawer.

Mencermati jalannya persidangan, kesimpulan yang diambil kuasa hukum pemohon adalah, pertama, aparat tidak melakukan tangkap tangan seperti yang dituduhkan sejak awal; Kedua, jika tidak dilakukan tangkap tangan, maka sesuai bunyi KUHAP, aparat harus menunjukan surat perintah penangkapan, surat perintah penahanan, dan surat perintah penggeladahan atas ijin Ketua Pengadilan Negeri.

“Karena itu kami kembali ke permohonan kami dalam perkara ini, yakni, penangkapan, penahanan, dan penggeledahan rumah pemohon tidak sah, karena itu perkara harus dibatalkan atau tidak dilanjutkan,  demi tegaknya hukum dan keadilan di tanah Papua,” tegas Kawer.

Kuasa hukum termohon, yang dipimpin oleh Komisaris Besar Pol. Djoko Prihadi menyatakan tetap pada pendapatnya, yakni menolak permohonan pemohon dalam perkara pra-peradilan tersebut, dan menyatakan tindakan penangkapan, penahanan, dan penyitaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Setelah mendengarkan keterangan saksi pemohon maupun termohon, juga kesimpulan keduanya, Hakim Ketua Adrianus Infaindan, SH, menunda jadwal sidang, pada Kamis (26/3/2014) dengan agenda mendengarkan putusan hakim.

OKTOVIANUS POGAU

Terkini

Populer Minggu Ini:

Ini Keputusan Berbagai Pihak Mengatasi Pertikaian Dua Kelompok Massa di Nabire

0
Pemerintah daerah sigap merespons kasus pertikaian dua kelompok massa di Wadio kampung Gerbang Sadu, distrik Nabire, Papua Tengah, yang terjadi akhir pekan lalu, dengan menggelar pertemuan dihadiri berbagai pihak terkait di aula Wicaksana Laghawa Mapolres Nabire, Senin (29/4/2024) sore.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.